Malam kelabu yang di penuhi kabut tebal tak satu pun bintang terlihat di langit biru kelam, di sana ada seorang gadis memakai pakaian kimono sedang menyusuri sungai yang biasa dia lewati.
"Untung ada cahaya lentera ini bisa menerangi jalan" Bersyukur kalimatnya keluar dari mulut gadis berambut hitam.
"Terang adalah hukum pertama Tuhan" Sambut seorang pria yang berbaring melihat ke arah langit.
Gadis tersebut merasa kaget lenteranya menyinari wajah pria tersebut "Ah.. Indah sekali wajah pria tersebut" Berdegup setelah melihatnya berdetak kencang merasakan hal itu untuk pertama kalinya merasa aneh dan heran terasa mukanya panas merona, lalu dia bertanya dalam hati "Apa yang sedang aku rasakan? Takut? Apa jangan-jangan ini adalah cinta..."
Cinta pertama terjadi hanya sekali dalam seumur hidup semua orang pasti merasakannya dan tidak pernah terlupakan hingga akhir hayat, gadis polos itu baru merasakannya dia mendekat kepada pria yang berbaring menanyakan sesuatu.
"Sedang apa malam-malam berbaring di sini, tersesat? Kalau begitu biar saya yang menerangi jalan" Seraya ucapannya keluar gadis itu mengulurkan tangannya.
"Kamu.. Tidak bisa memegang lentera untuk menerangi jalan orang lain tanpa menerangi jalan diri sendiri" Pria tersebut menolak tawarannya dengan menepikan jari gadis dengan lembut.
Gadis tersebut pun dengan sopan pergi meninggalkan pria tersebut di malam yang sunyi. Keesokan harinya banyak rumor yang beredar bahwa di sekitar sungai yang gadis lewati tersebut banyak perempuan yang menghilang setelah senja berlalu para warga sekitar pun di wajibkan untuk tidak pulang larut malam terutama perempuan.
Gadis dengan mata berwarna biru itu sama sekali tidak mengindahkan perkataan warga tersebut dia sibuk memikirkan hatinya yang berdenyut terkenang akan sosok pria yang berbaring di sungai, pikirannya selalu memikirkan soal perasaan begitu rawan bagi seorang gadis dalam masa pertumbuhan terlena kedalamnya.
Dia selalu bertanya-tanya "Ada yang bilang cinta itu seperti sungai yang dapat menenggelamkan buluh perindu, Ada yang bilang cinta itu seperti silet yang dapat membuat jiwamu bercucuran darah, Ada yang bilang cinta itu seperti rasa lapar sebuah rasa sakit yang tak berkesudahan, Aku bilang cinta seperti bunga dan kau hanyalah benihnya"
Gadis itu kembali dari berjualannya di pasar hingga larut malam berharap bisa kembali melihat pria tersebut dan repot-repot membawa sebuah bekal makanan.
Saat malam berubah menjadi terlalu sunyi dan jalan yang dilalui menjadi panjang dan gadis itu berpikir bahwa cinta hanyalah ditunjukan untuk orang yang beruntung dan kuat.
Ingatlah di musim dingin jauh di balik lapisan salju yang pahit.
Terbaringlah benih, yang tumbuh dengan sinar matahari kasih sayang, di musim semi akan menjadi bunga mawar.
Beruntung gadis itu bertemu dengannya hanya dengan beralasan mempunyai makanan lebih dia duduk di samping melihat langit kelabu.
"Apa yang sedang anda lihat tidak terlihat apapun di atas sana" Katanya sambil menondongkan makanan pada pria tersebut.
"Lihat dengan seksama bintang di atas sana begitu indah" Lagi-lagi pria itu menolak tawarannya.
"Tidak ada sama sekali.. " Menundukkan kepalanya bahkan tidak melihat sama sekali ke langit yang dia tunjukan, wajahnya sedikit sedih.
"Kita adalah bintang-bintang di langit yang sama, banyaknya cahaya adalah harapan orang seluruh dunia"
Gadis itu tidak lagi terdengar setelah malam berlalu rumor tersebut telah berubah menjadi fakta bahwa "Iblis menculik seorang gadis perawan" Ironi sekali bahwa cinta pertamanya akan menjadi akhir hidupnya pula.
"Kita bisa memilih dengan siapa kita bicara, tapi kita tidak bisa memilih dengan siapa kita bertemu"
***