Saat jam istirahat usai dan waktunya kembali ke kelas, ada saja barangku yang hilang. Kali ini, buku tugas matematika. Aku yakin benar sudah meletakkan benda tersebut di atas meja. Namun aku tidak melihat buku bersampul anime itu.
Aku berusaha mencari buku tadi di laci, bahkan di bawah kolong. Tiba-tiba, seisi kelas tertawa. Karena rasa heran, aku menjulurkan kepalaku dari bawah kolong meja.
"Kamu sedang apa, Sari?"
Aku terkejut saat melihat siapa yang bertanya padaku.
"Mmm ... itu, Bu Widya, maaf. Saya sedang mencari buku tugas saya."
"Bukannya kamu sudah mengumpulkan? Ibu lihat di meja guru dan kosong semua. Maksudnya apa?"
Aku berdiri karena terkejut. Bukuku? Sudah dikumpulkan? Kapan?
Kemudian Bu Widya menunjukkan sebuah buku yang kukenali di tangannya.
"Ini bukumu, betul?"
Aku mengangguk, karena memang buku itu milikku. Namun aku yakin betul, bahwa aku sudah mengerjakan semua tugas-tugas itu. Lagi-lagi teman-teman menertawaiku.
"Belum ngerjain tugas, bergaya. Dasar cupu!" Kata-kata pedas itu terdengar menusuk gendang telingaku. Kemudian aku melihat seorang gadis berambut sebahu dengan pita bermotif kotak-kotak, yang kulihat seperti kain lap di rumahku. Ia tersenyum sinis kepadaku. Ia juga terkenal dengan sikap yang buruk, menindas dan mengganggu orang lain.
Aku tidak memedulikannya, karena aku tahu betul siapa dia. Kutundukkan wajahku di hadapan Bu Widya.
"Maaf, Bu. Saya yakin sekali, sudah mengerjakan semua. Bahkan saya masih hafal semua cara dan jawaban."
"Baik. Kalau begitu, coba kamu tulis di papan tulis, jawaban nomor satu dan dua!"
Aku menerima kembali buku tadi dari tangan Bu Widya. Sungguh tidak menyangka bahwa beberapa halaman bukuku terlihat seperti disobek. Berusaha mencari pelaku penyobekan, kuedarkan pandanganku. Beberapa anak perempuan kulihat tertawa mengejek. Namun ekspresi menantang terlihat dari si bando kotak-kotak itu lagi.
"Sari, kenapa diam? Ayo kerjakan di papan tulis!" Suara Bu Widya mengagetkanku.
"Iya, Bu."
Aku berhasil mengerjakan dua nomor di papan tulis dengan baik. Bahkan Bu Widya mengangguk puas dengan hasil pekerjaanku.
Saat jam istirahat ke dua, aku berdiri di depan kelas menunggu si Bando Kotak-kotak. Tanganku terlipat di depan dada. Saat aku melihatnya keluar kelas, kuhalangi jalannya.
"Kamu yang sobek buku tugasku?" tanyaku tegas sambil membetulkan kacamataku yang melorot.
"Kalo iya, kenapa?"
"Oh, begitu. Jangan salahkan aku, jika aku sudah mulai tidak sabar!" kataku dengan nada serius.
Namun perempuan berbando kotak-kotak itu tertawa.
"Memangnya apa yang bisa kamu lakukan?" Kemudian perempuan itu mendekatkan wajahnya ke wajahku, "Dasar, Cupu!"
Merasa kesal, aku menyembur mukanya dengan ludahku. Rasakan!
Tentu saja ia begitu marah dan memaki-makiku. Aku tersenyum puas.
Di sekolah ini, aku memang sengaja tidak membuka identitasku yang sebenarnya. Dengan gaya cuek dan santai, serta kacamata bulat besar di wajahku, orang-orang menganggapku bukan siapa-siapa. Tidak ketinggalan sebutan aneh-aneh dari mereka pun biasa kudengar. Ini tahun pertamaku di SMA ini.
Seringkali beberapa di antara mereka mem-bully-ku. Hanya karena aku malas bergaul dengan mereka. Aku lebih sering menghabiskan waktuku di perpustakaan atau di belakang sekolah membaca beberapa buku kesukaanku.
Bukan tidak ada alasan aku bersikap seperti itu, hanya karena aku tidak suka dengan kelakuan mereka. Memuja orang yang kaya atau terpandang dan menindas yang lemah. Sangat menyebalkan!
Dering ponsel mengagetkanku. Aku merogoh saku rok seragamku dan mengeluarkan benda pipih itu.
"Sayang, kamu jadi ikut makan malam perusahaan, 'kan?" Suara Mamah terdengar seperti memelas dari seberang sana. Memang sudah bertahun-tahun aku menolak untuk datang ke acara tersebut, tetapi mengingat kejadian tadi, aku tersenyum usil.
"Ya, Mah. Tentu saja! Mamah atur saja, Sari bakal nurut."
"Sip, Cantik. Gitu dong!"
Setelah memutus sambungan telepon aku kembali ke kelas. Kali ini, aku sudah tidak bisa menolerir lagi. Isi tasku berhamburan ke mana-mana.
"Siapa? Siapa yang lakukan ini?" teriakku sambil memandang sekeliling.
Sekarang kulihat perempuan berbando itu berdiri di sebelah kekasihnya. Mereka menertawaiku. Aku menghampirinya, mencengkeram kerah baju perempuan tersebut.
"Aku sudah peringatkan tadi!"
Laki-laki di sebelahnya berusaha melepas tanganku, aku kesal, dengan keras kutendang percabangan pahanya. Laki-laki itu meringis kesakitan. Teman laki-laki yang lain berusaha membantunya dengan mencoba meringkusku. Aku mendorong perempuan berbando tadi dan melayani mereka.
Mereka tidak tahu, siapa sebenarnya diriku. Sabuk hitam karate, aku belajar bela diri itu sejak aku bisa berjalan! Ya, pamanku pemilik sebuah "Dojo"!
Dengan sekali libas, aku merobohkan mereka semua. Siswa lain melongo melihatku. Memang ini pertama kalinya aku seperti ini. Namun siapa peduli?
Sekali lagi aku menunjuk wajah perempuan berbando itu.
"Lihat saja! Kamu akan menyesal."
Saat jam pulang sekolah, aku berjalan menyusuri jalan kecil di samping sekolah. Pada ujung jalan itu, sudah terparkir sebuah mobil pabrikan eropa berwarna hitam.
"Kenapa sih, Non? Kok Mamang harus jemputnya di sini?"
"Nggak apa-apa, Mang. Biar aku keringatan dikit, jalan dulu gitu."
"Non mah ada-ada aja. Tadi Nyonya suruh bawa Non ke butik B."
"Oh, ya sudah, ke sana aja langsung."
Suasana makan malam perusahaan begitu megah dan mewah. Sebenarnya, aku merasa malas di tempat seperti ini. Namun, aku bersedia ikut untuk memberi surprise kepada seseorang.
Saat ini, aku melihatnya memakai bando bunga berwarna biru. Aku tidak mengerti kenapa seleranya seperti itu. Ia datang ke pesta ini seperti dugaanku. Bersama kedua orang tuanya.
Aku berdiri di antara Mamah dan Papahku yang menyambut tamu. Ya, Papahku adalah seorang presdir, pemilik perusahaan terkenal di kota ini.
Si Bando Kotak-kotak, eh bukan, bando bunga-bunga, menghampiri keluargaku dengan kedua orang tuanya. Ia terlihat begitu terkejut saat memandangku.
"Mah, ini kenalkan, Pak Presdir bersama istri dan anak semata wayangnya." Laki-laki itu, papah si Bando Bunga-bunga, menyalami kami bertiga dengan hormat.
Mata teman sekelasku yang suka memakai barang aneh di kepalanya itu, melotot kepadaku.
Aku tersenyum, melambaikan tangan kepadanya. Kemudian, aku berbasa-basi sebentar dan menarik gadis berbando itu ke sudut ruangan.
"Sekarang kamu lihat, 'kan? Kalau aku mau, aku bisa saja mengadu pada Papahku dan menendang Papahmu dari perusahaan!" Aku melipat kedua tangan di dadaku.
"Ma—maafkan aku, Sari!" ucapnya.
"Lain kali, kenali lawanmu! Aku hanya malas terlihat mencolok di sekolah, bukan berarti aku lemah atau tak berdaya! Kamu ingat tadi siang? Ya, aku juga pemegang sabuk hitam karate. Sebenarnya, gadis semacam kamu, bukan hal yang berat buatku."
"Sungguh ... aku minta maaf."
"Aku memaafkanmu, tapi ingat suatu hal! Kalau kamu tidak berubah dan masih menindas teman-teman yang lain juga, aku tidak akan tinggal diam!" Aku menggerakkan tanganku di leher seperti gerakan memotong.
"Oh iya, katakan pada pacarmu juga. Untuk tidak arogan!" kataku sebelum pergi meninggalkannya.
***
Keesokan harinya, di sekolah, aku melihat gadis berbando itu menunduk saat melihatku. Ia bahkan berkata kepada teman-temannya yang suka menggangguku untuk melepaskanku. Aku tersenyum sambil melambaikan tangan pada si Bando Kotak-kotak itu. Ah, ya! Aku baru ingat namanya, Sesilia.