Sriningsih Hutomo, "What Happened In Bali"
Senja berkilauan namun kian pudar dijemput malam yang bungkam, aku tertegun melihat sepintas bayang lelaki yang masih bertahta penuh di hati, padat dan sulit untuk mencair. Memori ku berkelana kembali padanya, wajahnya terus berdesakan dalam kepalaku. Pening di kepala namun hati ingin tetap melanjutkan lamunan itu. Mengingat ekspresi teduh darinya membuat mataku tertuju pada satu titik yang realita nya itu hanya sebuah tembok bisu. Hatiku enggan keluar dari lamunan itu, selaku ingin menerjemahkan bahwa ia masih disitu. Tembok putih penuh cipratan cat kanvas yang hari-hari menemani ruangan itu sebagai sahabat setia, menorehkan segala jenis rupa dan bentuk, seorang pelukis yang memiliki pandangan seluas samudera dan hati penuh surga, seakan diberi tugas yang sangat sebentar untuk menemani hari- hariku selama bekerja di Bali.
Tiba- tiba sebuah bolpoin terjatuh dilantai membuyarkan lamunanku. Bolpoin ungu mudah dengan ukiran namaku " Dena", warna yang langka yang kini menandakan kesendirianku, aku tahu itu kepunyaannya, yang selalu ia pakai ketika harus mencatat memo pesanan lukisan.
Memori ku langsung berubah warna. Kini ruangan ini dan segala tentangnya adalah hitam. Aku memberanikan diri untuk masuk namun sulit kembali, aku terjebak pada tangisan yang tak ada henti di ruang itu. Ya, bertemu dengannya pertama kali di sini. Tempat yang paling ia sukai adalah ruangan ini. Memori kecupan sayang di pagi hari, sarapan bersama bertiga bahkan celoteh-celoteh kecil kami bertiga di pagi hari sebelum aku harus pergi keluar kota untuk beberapa hari setelah itu karena tuntunan pekerjaanku sebagai seorang fotografer.
“Aaaaaaaa!!!!” Aku berlari membabi buta keluar dari ruangan itu, Hatiku tidak kuat lagi, aku membayangkan dia ada di sini meski otak waras ku menolak.
Mataku terasa panas, memutar kembali memori kelam masa itu ketika sebilah pisau menusuk dadanya dan ia bersimbah darah.
Aku memandang ke sekeliling, masih dengan perasaan kalut, gelap menyelimuti semua suasana sekalipun petang belum habis.
Aku tersandung, kemudian bangkit dan berlari keluar dari ruangan. Dan makin jelas ingatanku, kala itu ku tatap mayat yang terbujur kaku di depanku. Aku bergidik, merangkak menjauh dengan perasaan kalut menjauh dari ruangan itu. Seakan kembali pada ingatan lalu, tangan dan tubuhku mulai bergetar ketika sosok wajah yang bersimbah darah di depanku adalah Genta.
Tempat ini benar-benar memberikan kesan yang sangat indah namun sangat pula mengerikan bagiku, hingga selamanya aku akan membenci diriku sendiri. Ada waktu nya bagiku untuk merasa takut dan kalut melihat semua ini karena seharusnya aku sudah tahu akan seperti ini jadinya, namun aku tetap datang ke rumah ini. Seakan mengulangi lagi memandang sekali lagi pada mayat yang tergeletak berlumuran darah di depanku dan sosok pembunuhnya persis didepannya memegang sebilah pisau, dan Ia adalah aku.
Aku berjalan terseok dengan pandangan kosong. Pukulan, dan keputus-asaan membayangi benakku, mengejar rasa bersalah bertubi-tubi dan 10 tahun jeruji penjara memakan segala mimpi dan harapanku.
Aku memutuskan keluar dari rumah itu, menguncinya dari luar, dan sejenak duduk di kursi teras berwarna putih berjejer dua yang dipisahkan oleh sebuah meja bundar yang pula berwarna putih, biasa aku gunakan untuk membersihkan lensa kamera sebelum aku pergi bekerja, namun sore itu justru pemandangan sampah- sampah kanvas yang berserakan terlihat usang dan lampau. Tembok teras yang mengelupas basah dan berjamur terlihat sekali bahwa rumah ini telah lama ditinggalkan pemiliknya.
Aku ingin bergegas pergi dan tak ingin berlama-lama disini. Rasanya, berdiri pun terasa susah payah, apalagi berjalan dan pergi, karena tujuan hatiku sebenarnya adalah aku kemari untuk hal terakhir.
Entah mengapa waktu menarik ku pada sebuah perjalanan lain yang wahib kudatangi. Aku memutuskan untuk pergi karena sebuah janji harus aku tepati. Telepon berdering, Dewinta anak perempuanku yang telah menungguku disebuah kafe di Jimbaran.
Sejauh kakiku bergerak pergi, sebanyak itu pula mataku terus menangkap bayangan Genta di rumah itu. Sosok yang teramat disayangi oleh Dewinta walau bukan ayah kandungnya.
Mungkin telah menjadi sebuah falsafah hidup, ketika seseorang telah tiada keberadaannya justru baru terasa. Kenangan itu ku simpan sendiri, untuk suatu saat ku ceritakan pada Dewinta kemana sosok ayah sambungnya sehingga ia harus hidup di Jakarta bersama ayah kandungnya "Dirga" hingga menyelesaikan kuliah bisnisnya. Dan kemana kepergian ibunya selama ini? mengapa baru sekarang baru menemuinya setelah bertahun-tahun tidak menjumpainya.
Saking bahagianya, akan bertemu dengan anak gadis yang dulu ku tinggalkan rasanya baru beranjak ABG, kini dia telah dewasa dan menjadi seorang pebisnis Real estate.
Supir taksi online mengantarkan aku pada alamat yang dikirim oleh Dewinta , setiba di kafe itu rasanya ingin segera menerobos masuk, namun rasa hati yang berkecamuk takut, masih kuat menguasai ku.
Sebuah pelukan menjemput yang sebelumnya tak ku bayangkan, namun sejenak leher ku terasa tercekik, kelumpuhan seakan menyerang seluruh anggota tubuhku. Namun senyum merekah di depanku dan obrolan yang bertubi-tubi datang padaku seakan memberikan sebuah jawaban bahwa semua baik-baik saja. Mungkin ayahnya telah memberikan penjelasan logis padanya seiring kedewasaannya. Dewinta hanya ingin bersua dan membayar semua waktu yang direnggut paksa untuk kami berdua.
Aku berkelamaan memandangnya. Ia berpura-pura seakan tak mengerti dengan apa yang telah terjadi. Obrolan kami seperti obrolan anak dan ibu yang lama tidak bertemu. Didalam hatiku berkata" Kau tau nak?Aku kemari untuk bunuh diri, mengubur segala kisah kelam hidupku, agar kau tak perlu tau, semua demi menebus dosa-dosa ibu padamu".
Aku memandangi wajahnya tak sedetikpun beralih walau berderet makanan di meja untuk kami berdua. Terus menerus memandangi wajahnya, menyelami matanya tanpa sadar mataku telah digenangi air mata. “Kenapa ibu?" Air mataku mengalir, Ia memelukku dengan erat, seakan takdir kedewasaan ditukar oleh malaikat. Ia menenangkan aku dan terus-menerus menenangkan aku sembari berkata, "ibu berbagilah denganku jika ingin berbagi, jika tidak sekarang, kita masih punya banyak waktu untuk bersama".
Tangis yang tak bisa ku bendung dan beberapa menit setelah itu Dewinta bergegas pergi ke kasir untuk membayar.
Aku menyesali apa yang baru saja ingin kulakukan sebelum menemui anakku, aku tak pantas dipanggil ibu ketika aku memutuskan akan mengakhiri hidupku dan memberikan ia luka berkelanjutan.
Aku melihat isi tas ku ada sebuah amplop putih, isi amplop itu ku ambil dan ku remas lalu kemudian ku buang pada sebuah tong sampah dekat tempat dudukku, amplop itu berisi secarik kertas, surat perpisahan yang berisikan sebuah pengakuan dan surat terakhirku pada anakku sebelum aku bunuh diri.
Dear: Dewinta
Maafkan ibu nak, tak bisa menjadi ibu yang baik buatmu, semoga surat ini menjemput sebuah maaf untukku darimu nak.
"Ayah berusaha melindungi ibu dari tusukan pisau yang diarahkan ke dada ibu oleh seorang perampok, bukan ibu yang menusukkan pisau itu kepadanya, namun ibu kalah di persidangan karena tak ada bukti, dan kesalahan terbesar ibu adalah kekalutan yang menguasai ibu, hingga mengalahkan logikaku, dan saat persidangan itu ibu kalah dan dinyatakan bersalah, karena rasa bersalah yang begitu besar, mengapa harus ayah yang tertusuk, harusnya ibu yang terkena tusukan itu, maafkan ibu membuatmu kehilangan sosok Ayah Genta, dan maafkan ibu telah membuatmu malu, karena dianggap sebagai anak seorang nara pidana nak, semoga kepergian ibu membayar semua kesalahan, selamat tinggal Dewinta, semoga kamu selalu berada dalam lindungan Tuhan, amin.