Di sebuah kamar besar berukuran 12×10 meter. Seorang anak perempuan, duduk di atas tempat tidurnya. Ia menengok kanan dan kiri, dilihatnya tempat tidur berderet rapi seperti barisan.
Ya. Itu adalah ruangan pasien. Tapi bukan ruangan untuk pasien biasa, setiap tempat tidur di sana hampir punya pemilik masing-masing.
Hana.
Nama anak perempuan itu, terpampang di papan nama bagian depan tempat tidurnya.
Hana berjalan turun dari tempat tidurnya. Ia membaca setiap papan nama dari tempat tidur di ruangan itu.
"Gabby, Leon, Abraham, Jacob, Vanesa, Naomi, George, Cindy, Howard, Hana..."
Ucapnya dalam hati, lalu berhenti kembali ke tempat tidurnya.
Semua nama yang dia sebut, adalah nama anak dengan pasien penderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Tidak menular, tapi dapat membunuh mereka sewaktu-waktu.
Semua pasien di ruangan itu berumur kurang dari lima belas tahun.
Malam itu, saat semua pasien tertidur. Hana mendengar seorang dokter dan beberapa perawat, mengunjungi salah satu pasien.
"Bertahan lah! Kami akan terus berusaha!"
Suara dokter yang sudah tidak asing lagi, menggema di ruangan yang hening. Lalu terdengar samar-samar, seperti sebuah tangisan seorang pasien di ruangan itu.
Seseorang telah divonis.
Keesokan paginya, ruangan tampak sepi. Mungkin karena sebagian sedang jalan-jalan di sekitar rumah sakit.
Hana turun dari tempat tidurnya, menatap keluar jendela.
"Sudah enam bulan aku di sini."
Gumam nya dalam hati.
"Hana!"
Pemilik nama itu, menoleh ke arah asal suara yang memanggilnya.
Itu adalah ibunya. Beliau baru saja mendapat kabar buruk, bahwa umur Hana divonis kurang dari satu tahun lagi.
Ibunya hanya bisa menangis sambil terus memeluk Hana.
"Hiks...aku ingin pulang bu! Aku tidak ingin tinggal di sini lagi!"
"Tidak! Kau harus tetap di sini, nak! Sampai waktu mu tiba!"
Ibunya pergi begitu saja setelah mengatakan kenyataan pahit itu.
"Ibu!! Bawa aku pulang!"
Hana terus menangis. Dia berpikir, rumah sakit sudah seperti penjara baginya. Bahkan ibunya, sudah tidak perduli dan meninggalkannya di tempat yang kelam itu.
Mendengar dirinya telah divonis, Hana tidak bisa lagi menggunakan akal sehatnya. Ia berjalan ke luar ruangan, menuju atap rumah sakit.
Hana mencoba mengakhiri hidupnya. Baginya sama saja, dia mati sekarang atau nanti.
"Maaf! Tapi melompat ke sana adalah ide yang buruk!"
Seseorang mengagetkan Hana. Dia muncul dari belakang, dan membuatnya menurunkan kaki yang hampir naik ke pagar.
"Siapa kau?"
Seorang anak laki-laki dengan kaos hitam, terlihat sebaya atau lebih tua beberapa tahun dari Hana. Duduk dengan santai di dekat penampungan air.
"Tidak penting siapa aku! Tapi percayalah, jika kau naik ke pagar dan melompat sekarang, kau akan menyesal!"
"Aku tidak perduli!"
Hana hendak mencoba menaiki pagar lagi.
"Hidup itu sangat singkat!"
Anak itu kembali menahan Hana dengan perkataannya.
"Alangkah baiknya, selama sisa hidup yang singkat ini, kita melakukan hal yang bermanfaat!"
Sambungnya sambil mendekat beberapa langkah.
Hana terdiam. Dia memperhatikan wajah anak laki-laki itu dari dekat, mata yang indah, senyum yang manis, hidung mancung dan bentuk wajahnya yang oval. Seperti pernah lihat di suatu tempat.
"Mungkin bagi sebagian orang, hidupnya sangat berat dan penuh masalah. Lalu mencoba mengakhiri hidupnya, tanpa menyelesaikan masalah."
Anak ini banyak bicara.
Hana bahkan kurang mengerti, dengan apa yang dibicarakan anak laki-laki itu.
"Tapi bagi kita...."
Hana langsung memfokuskan pikirannya, saat mendengar kata 'kita'.
"...bisa hidup satu hari lebih lama saja, sudah termasuk golongan orang yang beruntung."
Dia terus bicara dan melangkah mendekat, sedikit demi sedikit. Hingga Hana dapat melihat jelas sosok anak laki-laki itu.
"Oh aku baru ingat! Kau juga pasien di ruangan ku, bukan?!"
"Kau mengenal ku?"
"Ya! Ah..tidak! Aku tidak ingat siapa namamu!"
Sambil menatap wajahnya, Hana berusaha mengingat nama anak itu.
"Hahaha! Biasanya aku tidak banyak bicara seperti in."
"Ya, aku tahu kau sangat pendiam. Bahkan lebih pendiam dari ku."
Celetuk Hana agak kesal, karena masih belum bisa mengingat namanya.
Dia tersenyum dengan manis pada Hana.
"Hana...!"
Oh bahkan anak itu, mengenal Hana yang baru beberapa bulan tinggal di rumah sakit.
"Aku sudah divonis! Umur ku hanya tinggal beberapa bulan lagi!"
"Kau juga?"
Hana baru ingat, semalam dia mendengar suara isakkan tangis seorang anak, setelah mendengar hasil vonis nya. Ternyata anak ini.
Rasanya seperti, menemukan orang yang mengerti perasaanya dengan tiba-tiba, hanya karena mereka berdua memiliki nasib yang sama.
"Kau tahu Hana?! Jangan sampai kau menyesal seperti anak itu!"
"Anak itu?"
"Beberapa waktu lalu, sebelum kau datang ke sini...ada seorang anak melompat melewati pagar!"
Hana tertegun dan kaget mendengar kabar itu. Keringat dingin dari tubuhnya mulai bercucuran.
"Manfaatkan sisa hidupmu dengan baik, karena hidup sangat singkat! Jadi lakukan hal yang paling kau inginkan, sebelum kau pergi!"
Hal yang ingin Hana lakukan, yaitu membuktikan pada ibunya, kalau dia bisa melewati semua ini.
Anak itu berhasil membuat Hana mengurungkan niat awalnya, saat pertama kali datang ke atap rumah sakit.
"Tunggu....!"
Ada kejanggalan di waktu yang sedang berjalan saat ini.
"Kenapa kau tidak melakukan hal yang sama, seperti yang kau lakukan pada ku?"
Benar. Harusnya anak laki-laki ini bisa mencegah orang yang sebelumnya datang, untuk melompat dari pagar.
"Dan...darimana kau tahu, kalau anak yang baru saja melompat tadi menyesali perbuatannya?"
Anak laki-laki dengan kaos hitam itu, melihat ke arah pagar.
"Jangan-jangan....!"
Hana menyadari sesuatu, lalu menghampiri pagar. Dia melihat sorang anak laki-laki tergeletak berlumuran darah di bawah sana.
Dengan baju, dan ciri-ciri yang sama dengan anak laki-laki, yang baru saja berbicara padanya.
Hana kembali menoleh ke belakang, memastikan sosok anak laki-laki tadi. Dia masih di situ!
"Kau...?"
Tanpa sadar, air mata keluar membasahi pipi Hana.
"Aku ingat namamu! Leon!"
Anak laki-laki bernama Leon itu, mulai transparant. Sosoknya seolah menghilang perlahan terbawa angin.
Dia tersenyum sambil melambaikan tangannya pada Hana. Seolah berkata...ingat! jangan sampai kau menyesal seperti ku!
"Aku akan menjalani sisa hidupku dengan baik! Melakukan hal yang ingin aku lakukan, menciptakan kenangan indah untuk sekitarku dan untuk diriku sendiri!"
Beberapa saat, sebelum Leon melompati pagar di atas atap rumah sakit, dia memdapat pesan dari ponselnya.
Bahwa vonisnya tadi malam, adalah sebuah kesalahan rumah sakit. Pasien yang divonis adalah Hana saja, sedangkan Leon berpotensi sembuh dari penyakitnya.
Setelah membaca pesan itu, Leon mengurungkan niatnya untuk melompat. Namun, takdir berkata lain. Leon tergelincir saat berbalik, lalu terjatuh dari atap tanpa sengaja.
~tamat~