Jaga dia baik baik, sebaik aku pernah mencintainya. Jangan sakiti dia, sedalam dia pernah menyakitiku.
Dia sudah memilihmu yang memaksakan diri merebutnya. Bukan salah kamu dan dia. Salahku saja yang tidak menyadari hal-hal uang sedang kamu dan dia rencanakan.
Kini, semua sudah baik-baik kembali. Tetaplah menjadi dua orang bahagia. Seperti saat begitu bahagianya kamu dan dia. Melihat betapa terlukanya aku
Dulu"
Aku mengatakan kalimat itu kepada lelaki yang merebutmu dariku. Tiga tahun lebih setelah pernikahan kalian. Tiga tahun lebih setelah hari bahagiamu dan dia. Saat ketika aku membawa diriku jauh mengembara. Aku lontang-lantung di kota yang asing mencari diriku yang tidak lagi kukenali waktu itu. Sebab seseorang yang kukira sepenuh hati mencintaiku ternyata sedang mengatur siasat licik untuk mencampakkanku.
"Aku tidak bisa mencintai lelaki sepertimu. Hidupmu tidak jelas. Kau pikir menjadi pemain film terkenal itu, mudah? Sudahlah, jangan lagi, mengharapkanku."
Kau tidak hanya menghancurkan perasaanku waktu itu. Kau juga meremehkan impianku. Ternyata, semua dukungan yang kau berikan selama ini hanyalah sebuah kepalsuan besar yang tidak kusadari,Sri Wartini. Kau sama sekali tidak pernah benar-benar menerimaku seutuh-utuhnya. Kau hanya menerima sebab kau tidak punya pilihan lain. Lalu, setelah kau bertemu dengannya, lelaki yang kini kau pilih itu, kau mulai mengatur rencana bagaimana menyingkirkan aku secepatnya.
Dan, yang aku tidak habis pikir. Lelaki yang kini bersamamu itu juga dengan sengaja merebutmu. Dia bahkan tahu kalau waktu itu kamu masih menjalin hubungan denganku. Karena dia juga menginginkanmu. Dia menjadi lelaki yang sama sepertimu. Tidak hanya menghancurkanku, tetapi juga meremehkan impianku.
"Hei, bung. Lelaki sepertimu tidak pantas mendampingi Sri Wartini. Kau miskin sekali saat ini, Bung. Kau hanya punya bualan terlalu tinggi. Mau jadi pemain film? Haha....Uang untuk makan saja susah." Ucapan itu kutelan mentah-mentah dengan sabar. Hingga dia melanjutkan omongannya .
"Lihat orangtuamu. Tidak punya apa-apa. Otulah alasan Sri Wartini tidak memilihmu. Kau dari keluarga yang tidak bisa diperhitungkan,Bung. Kau hanya rumput liar pinggir jalan. Mana mungkin kau bisa mendampingi bunga di tengah taman. Dan, kau harus tau, Sri Wartini, butuh aku. Dia butuh pendamping yang jelas. Aku yang pantas memagari bunga seperti Sri Wartini. Sudahlah, kalau orangtuamu dari keluarga miskin, jangan banyak berharap!"
Aku memukul hidung lelaki itu sampai berdarah. Sungguh, aku tidak pernah menerima satu orang pun, siapa pun dia. Jika dia meremehkan orangtuaku. Dia sedang berhadapan dengan masalah besar dalam hidupnya. Dia boleh saja Dia boleh saja meremehkan dan merendahkan apa yang aku miliki. Tapi, tidak akan kubiarkan merendahkan orangtuaku.
Itulah mengapa saat pernikahan kalian, hidung lelakimu agak sedikit memerah. Aku tahu, dia pasti mengatakan itu sebab kecelakaan kerja. Tidak ada yang salah dengan alasan apa pun yang dia berikan kepadamu.
Setidaknya, itu menjadi bukti bahwa saat kamu membohongiku dengan menyembunyikan dia di belakang kisah kita, dia juga sudah membohongimu-bahkan di hari pertama pernikahan kalian
Aku masih ingat hari itu. Aku memilih berlari meninggalkan kota kelahiranku. Membawa rasa sakit yang tak pernah ku ingini. Menenangkan perasaan yang kamu hancurkan tiba-tiba. Ini bukan sekadar rasa patah hati biasa.
Aku benar-benar tidak pernah menduga secepat itu kamu melupakan segalanya. Aku berangkat hanya dengan uang yang cukup untuk ongkos bus. Sisanya hanya doa orangtuaku, terutama kesedihan yang begitu jelas dari mata Ayahku.
Hari itu, selain menyadari bahwa cintamu tidak pernah tulus, aku juga menyadari satu hal. Bahwa beberapa cinta di dunia ini bisa di beli dengan uang, dengan harta, dengan jabatan, dan satu di antara cinta itu, adalah milikmu, Sri Wartini. Semua ucapanmu yang mengatakan cinta bisa menerima apa adanya diriku ternyata hanya kebohongan besar. Kamu menggadaikan apa yang aku rasakan kepada lelaki yang memiliki lebih banyak materi daripada aku hari itu. Dan, itu cukup membuatku tahu: Bahwa kau tidak lebih dari benalu.
Aku duduk di sebuah jembatan Kota Besar di Ibu Kota Negara ini. Kupikir, waktu itu aku harus mengakhiri semuanya. Aku harus mengakhiri hidupku yang menyedihkan ini. Kamu akan bahagia dengan lelaki pilihanmu itu. Biarlah rasa sakit ini hilang bersama tubuhku. Hancur bersama hancurnya tulang belulangku. Membaur ke bumi bersama tubuhku yang menjadi tanah itu. Biar saja kesedihan ini habis di makan cacing tanah. Sungguh, semuanya tidak lagi mudah.
Aku menatap kebawah jembatan, dan kulihat kematian yang begitu dekat denganku. Sepertinya patah hati dan kematian memiliki tali persaudaraan. Aku menimang dengan sangat, apakah aku harus mengakhiri hidupku akibat hatiku dipatahkan. Semakin kulihat dasar yang bisa kulompati dari jembatan ini, semakin aku ingin melepaskan perih dalam dadaku.
Namun, tiba-tiba aku ingat seseorang yang membuatku tidak jadi melakukannya. Dialah Ayahku, lelaki yang mengajarkan aku banyak hal. Aku ingat pesan ayah saat aku hendak berangkat meninggalkan Kotaku. Saat dia melepasku dengan sedih. Dia bahkan merasa tidak bisa menenangkan lagi hatiku. Aku meneyesal patah hatiku telah menciptakan raut sedih yang begitu dalam di tatapannya. Seolah dia Ayah yang gagal sedunia.
"Kau tidak bolah mati sebelum mencapai cita-citamu," Pesannya
Lelaki empat puluh tahun lebih itu memeluk tubuhku. Kurasakan sedih yang lebih dalam di dadanya. Kurasakan duka paling duka di setiap detak jantungnya.
"Ayahmu boleh saja gagal menjadi orang kaya, seperti ayah-ayah yang lain. Tapi, ayahmu ini tidak boleh gagal memiliki anak yang berhasil mencapai cita-citanya. Sekarang Pergilah yang jauh. Kejar apapun yang ingin kau kejar. Kemana pun itu, berangkatlah. Ikutlah pepatah orang Minangkabau, yang dulu juga pergi merantau sebab iba hati di tanah negri ini. Jangan pulang sebelum sukses! Kau harus tahan banting. Kau harus melewati tahun-tahun sedih dan sakitmu. Ayah selalu bersamamu. Kamu akan selalu dalam doa baik Ayah" Dia memelukku denfan erat ,sebelum akhirnya melepaskanku.
Aku menarik kakiku dari pinggir jembatan. Meski waktu itu aku tidak tahu harus melangkah kemana. Tidak punya tujuan yang jelas sama sekali. Setidaknya, aku tidak melangkah pada arah kematian. Terhindar dari satu kematian buruk. Kata seorang teman lamaku, Kematian paling menyedihkan di dunia ini adalah kematian sebab bunuh diri dengan alasan patah hati.
"Kalau kau mati bunuh diri sebab patah hati, kau tidak hanya sedang meremehkan dirimu. Kau juga sedang meremehkan Tuhanmu" Begitu kata temanku itu.
Aku melangkahkan kaki. Meninggalkan jembatan yang membuatku sempat berpikir untuk mengakhiri hidupku. Aku bersumpah pada diriku sendiri. Semua penghinaan yang kamu dan dia berikan kepadaku adalah hal-hal yang akan menyiksa hidupmu sepanjang usia nanti. Kau akan merasakan bagaimana rasa sedih menyeru ketidakbahagian. Rasa sedih yang kau berikan ini suatu hari akan lelah bergelantung di tubuhku. Ia akan mencari siapa yang mengirimnya kepadaku. Dan, tentu rasa sedih ini akan menemukan kamu dan dia.
❤
Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Aku baru pulang dari rentetan pekerjaan yang dua tahun ini kugeluti. Aku memang belum menjadi pemain film seperti yang kuimpikan. Namun, sudah cukup lebih baik daripada pengangguran. Setelah malam menyedihkan di jembatan itu, aku bertemu seseorang teman sekampung seperantauan yang menampungku di kota asing ini.
Kamu benar, aku memang tidak akan bisa menjadi pemain film. Semua terlalu tinggi untuk saat ini. Namun, setidaknya, Impian itu belum benar-benar mati. Aku harus realistis memang. Hidup di Ibu Kota tidak semudah yang aku bayangkan. Namun, rasa sedih itu semakin hari semakin berkurang. Kini, hari-hariku kuhabiskan dengan membantu mengelola satu kedai kopi di pinggiran Jakarta. Teman lamaku menjadi penanam modal untuk usaha itu
"Kau tunda dulu jadi pemain filmnya. Sekarang kau butuh makan." Ucapannya sebelum memberiku pekerjaan di kedai kopi miliknya.
Aku merebahkan diri. Mengambil ponsel. Mengirim pesan singkat kepada ayahku. Mengabari bahwa aku masih-masih baik-baik saja. Aku belum mati sebab aku belum mencapai cita-citaku seperti yang ayahku pinta. Seperti biasa, pesan singkat itu akan dibalas pagi hari oleh ayahku, saat aku masih tidur. Dua tahun berjalan, aku belum juga pulang ke kotaku. Ayah benar, aku tidak boleh pulang sebelum sukses. Aku harus bekerja lebih keras. Selain bekerja di kedai kopi milik temanku, aku mengisi waktuku dengan menulis sebuah novel. Entahlah, sebenarnya menulis novel ini hanya bentuk keisengan. Aku sama sekali tidak latar pendidikan di bidang tulis-menulis.
Temanku yang menyarankan. Katanya, menulis itu baik untuk menenangkan perasaan. Kupikir tidak ada salahnya. Karena itu, setiap malam aku meluangkan dua hingga tiga jam di depan laptop yang dipinjamkan temanku. Laptop itu sebenarnya untuk urusan mengelola kedai kopi, tetapi dia juga tidak melarangku jika ingin menggunakan untuk menulis, atau apapun yang ingin kulakukan dengan laptop itu. Selama tidak mengganggu pekerjaanku.
Dua tahun belakangan, hidupku memang sangat monoton. Aku menghabiskan waktu hari-hariku benar-benar seperti robot. Aku bangun pukul 9 pagi. Lalu, menonton film di laptop yang dipinjamkan itu hingga pukul 11 siang. Aku masih ingin belajar menjadi pemain film. Jadi, kupikir satu-satunya caraku untuk terus belajar adalah dengan menonton film. Pukul 11, aku beberes karena harus sampai di kedai kopi jam 12 siang hingga pukul 12 malam. Aku bekerja dua belas jam.
Jika kuhitung hampir setiap hari aku menghabiskan lebih dari 17 jam untuk bekerja. Menonton film dua jam. Mengelola kedai kopi 12 jam. Menulis dua sampai tiga jam. Aku hanya punya jam istirahat tidak lebih dari empat jam. Dan, itu kulakukan selama dua tahun lebih. Kecuali satu hari, setiap hari minggu, aku libur bekerja dan memilih duduk di taman kota sembari membaca buku-buku. Hanya hari minggu aku bisa memperhatikan kehidupan manusia dari sisi lainnya.
Kau tahu kenapa aku begitu gila kerja? Sebab aku tidak tahu lagi cara membunuh sedihku. Selain menyerahkan diriku pada kesibukan yang begitu banyak. Setidaknya, jika pun aku mati karena terlalu sibuk bekerja, itu bukan kematian yang menyedihkan sebab bunuh diri dari patah hati. Aku masih akan merasa lebih terhormat. Sebab, bekerja adalah ibadah. Dan, sepertinya, dua tahun terakhir aku sudah terlalu banyak melakukannya.
Ternyata, bekerja sepanjang tahun melelahkan juga, dan menyita pikiranku. Rasa patah hati itu sepertinya sudah benar benar hilang. Bahkan, saat kembali teringat kamu, aku merasa tidak sesakit dulu. Belakangan, beberapa teman lamaku iseng mengirimkan foto mesramu bersama suamimu melalui pesan media sosial. Aku hanya membalas dengan emotikon senyum. Sebab, aku tidak perlu menjelaskan apa-apa. Kepada teman-teman yang tidak mengerti apa-apa seperti mereka.
Mungkin bagi mereka, patah hatiku hari itu tetap bisa menjadi bahan bercanda. Entahlah, sebagian teman memang tidak paham bagaimana menjadikan dirinya, merasakan apa yang teman mereka rasakan. Aku hanya memiliki sedikit orang teman yang cukup paham. Satu diantara yang sedikit itu, barangkali adalah temanku yang memberikan pekerjaan mengelola kedai kopi miliknya.
Kau ingin berhenti bekerja?".
"Tidak".Jawabku
Entah apa yang ada di pikirannya, ketika dia mengucapkan pertanyaan itu padaku. Apakah pekerjaanku mulai tidak baik. Ataukah dia memang sudah bosan memakai jasaku untuk mengelola kedai kopinya. Aku mencoba menerka apa yang ada di dalam kepala temanku itu. Dia menatapku dengan teduh. Tatapan seorang sahabat yang tulus. Sama seperti dua tahun lalu. Saat dia menemukanku lontang-lantung di pinggir jalan Ibu Kota. Dia menyelamatkan aku dan memeberikan aku pekerjaan yang membuatku tetap menjadi manusia.
"Apa aku melakukan kesalahan? Atau, kau merasa pekerjaanku kurang maksimal? Aku bisa menambah jam kerjaku. Jika selama ini aku masih belum maksimal". Aku menawarkan jam tambahan untuk bekerja. Sungguh, aku serius untuk hal itu. Lagi pula, empat sampai lima jam yang sebelumnya kuhabiskan untuk menonton film dan menulis bisa kupakai untuk fokus mengelola kedai kopi ini.
"Kau harus meneruskan impianmu". Dia menepuk bahuku.
Aku masih belum mengerti maksudnya.
"Dua tahun ke belakang, kau sudah bekerja sangat keras. Kau bahkan hampir tidak menyisakan waktu untuk dirimu sendiri. Kau terlalu sibuk mengurusi kedai kopi ini. Kau bukan karyawanku. Kau temanku, pekerjaanmu sangat baik. Jika berbicara urusan bisnis, aku tentu tidak akan melepaskanmu. Tapi, sebagai teman, aku tahu, kau bisa mendapatkan hal yang lebih dari ini. Kau masih punya impianmu. Kau harus mengejar semua itu", jelasnya kepadaku. Masih dengan tatapan yang meneduhkan.
"Kamu ingin aku berhenti bekerja?" Tanyaku memastikan. Aku masih belum mengerti maksudnya.
"Aku ingin kau meraih apa yang benar-benar kau cita-citakan. Aku tahu, menjadi seorang pengelola kedai kopi bukan imianmu. Kejarlah impianmu yang sesungguhnya".
Aku tidak membalas ucapannya. Aku memeluknya. Selain ayahku, barangkali dia adalah orang yang tulus kepadaku.
"Maaf, beberapa hari lalu, aku membaca draf naskah novelmu. Kupikir, itu akan membuka jalan untukmu".Ucapnya.
"Itu hanya cerita biasa". Sahutku. Aku merasa tidak istimewa.
"Tapi, apa yang kau lakukan dengan hati, akan sampai ke hati. Jangan berhenti sampai di titik ini saja". Ucapnya lagi.
Dia memang tidak pernah berhenti menyemangatiku.
"Semua yang kau butuhkan, kau boleh bilang kepadaku. Kau sudah teramat berjasa pada kedai kopi ini. Dua tahun yang kau bahkan tidak menerima gaji yang lebih dari yang aku tawarkan di awal. Sementara kau bekerja melebihi apa yang aku mampu bayar. Sekarang saatnya kau mengejar jalanmu sendiri". Dia meneguk kopi di meja itu.
Aku benar-benar seperti menemukan malaikat di dalam diri temanku. Dia bahkan tetap memberiku gaji meski aku tidak lagi memebantu mengelola kedai kopinya. Sampai beberapa bulan, aku merasa tidak enak sendiri.
❤
Pukul empat sore satu setengah tahun setelah hari itu. Aku duduk di sebuah kedai kopi. Sebuah novel terletak di meja di depanku. Ini bukan kedai kopi tempat aku bekerja dulu. Kedai kopi yang lain. Cerita yang kutulis itu ternyata menarik perhatian orang banyak. Semua terasa begitu cukup cepat, setelah kerja keras yang cukup panjang itu. Lima bulan setelah aku berhenti bekerja, novelku terbit. Aku bahkan merasa heran saat salah satu penerbit buku Ibu kota menelponku dan mengajakku bertemu.
Aku merasa tidak pernah mengirim naskah yang kupunya ke penerbit. Namun, setelah kubaca drafnya, itu benar cerita yang kutulis. Selidik demi selidik, sahabatku pemilik kedai kopi itulah yang mengirimkannya. Semuanya di luar dugaan. Impian itu terasa seperti hadiah yang tak pernah kuduga.
Aku menelpon Ayahku.
"Tumben kau menelpon pukul empat sore begini?". Ucapnya dibalik telepon.
"Aku sudah tidak bekerja lagi. Aku bulan depan akan pulang". Ucapku.
"Apa kau putus asa". Tanya Ayahku.
Aku tersenyum mendengar pertanyaan ayahku itu.
Tiga tahun lebih berlalu dengan perasaan yang terasa begitu pajang. Dan, dia masih mengucapkan kalimat yang membakar semangatku
"Tidak". Jawabku.
"Kalau begitu, pulanglah. Jangan terlalu pegang ucapan Ayah saat kau pergi. Kau tetap boleh pulang meski belum sukses", ucapnya.
Lagi-lagi aku tersenyum.
"Baik, Ayah. Aku tidak akan mengecewakanmu lagi". Ucapku.
Telepon kututup. Aku melirik novel yang ada di meja. Secangkir kopi yang menyisakan ampas. Dan,sebundel skenario film dari novel itu. Bulan depan, aku akan pulang ke kotaku. Memerankan tokoh yang ada di novel itu. Novel yang kutulis hampir dua tahun lamanya. Novel yang membuatku tidak ada dunia lain, selain menghabiskan waktu untuk bekerja. Sudah satu tahun lebih setelah novel tersebut terbit. Kini, ia akan menjelma ke medium lain : Menjadi film.
Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap nanti. Jika ternyata bertemu denganmu lagi. Beberapa hari lalu, aku mendengar kabar dari seorang teman yang sering mengisengiku dengan mengirim foto-fotomu bersama suamimu di pesan media sosial. Namun, hari itu dia tidak memperlihatkan kemesraanmu dengan suamimu. Dia mengirim fotomu yang berwajah memar. Lalu, menuliskan: Sri Wartini dipukul suaminya hingga babak belur. Sekarang sedang berurusan dengan pengadilan.
Aku menarik napas dalam membaca pesan itu. Sungguh, aku sebenarnya tidak ingin tahu apa pun lagi tentangmu. Hidupku sudah mulai membaik kembali. Tetapi, biar bagaimanapun, aku merasa sedih membaca pesan dari temanku itu. Tentang masalah yang menimpamu.
Di kedai kopi cepat saji Ibu Kota itu, aku mengambil draf skenario film pertamaku. Film yang diangkat dari cerita yang kutulis sendiri. Aku tidak hanya menjadi pemain film itu, tetapi juga orang yang menulis untuk film itu. Kubuka lembar-lembar skenario itu. Lalu, mulai menghafal dialog yang harus kuperankan nanti.
"Jaga dia baik-baik, sebaik aku pernah mencintainya. Jangan sakiti dia, sedalam dia pernah menyakitiku.
Dia sudah memilihmu yang memaksakan diri merebutnya. Bukan salah kamu dan dia. Salahku saja yang tidak menyadari hal-hal yang sedang kamu dan dia rencanakan.
Kini, semua sudah baik-baik kembali. Tetaplah menjadu dua orang bahagia. Seperti saat begitu bahagianya kamu dan dia melihat betapa terlukanya aku.
Dulu"
❤
Selesai