Brak!
Tabrakan keras itu tidak terhindarkan. Tubuh gadis itu terpental di jalan dan jatuh berlumur darah. Orang-orang datang mendekat untuk mencoba memberi pertolongan. Tidak berapa lama, sebuah ambulans datang dan membawa pergi tubuh gadis tersebut.
Orang-orang tersebut tidak menyadari kehadiran seorang gadis berambut panjang yang sedari tadi mengamati. Sosok bergaun putih tiba-tiba menghilang dari antara mereka.
***
Nadya berdiri di pemakaman. Di sampingnya ada tiga sahabatnya, Doni, Marsha, dan Andi. Dulu mereka selalu berlima bersama Yura, tetapi sekarang jumlah mereka berkurang karena Yura meninggal tertabrak mobil semalam.
Marsha masih terus terisak.
"Mengapa ini terjadi pada kita? Ini pasti hukuman atas perbuatan kita. Kalian ingat 'kan apa yang dikatakan Yura sebelum kecelakaan itu? Dhea terus muncul dan mengganggu dia," ucapnya sembari menyeka air mata.
Nadya menggeleng.
"Itu semua hanya ketakutan Yura. Dhea sudah meninggal. Tidak mungkin dia bisa kembali menemui kita," tegasnya.
"Bagaimana ... bagaimana kalau itu arwah Dhea dan dia kembali untuk membalas dendam pada kita?" ucap Marsha lagi. Raut wajahnya memperlihatkan kalau dia benar-benar ketakutan.
"Sha, ini sudah tahun 2020 dan kau masih percaya takhayul tidak masuk akal semacam itu? Biar kutegaskan padamu, tidak ada yang namanya hantu, arwah penasaran, atau semacam itu! Semua itu hanya akal-akalan orang untuk meraih popularitas dan keuntungan!" ujar Nadya dengan suara keras.
Nadya merasa kesal dan nyaris kehilangan kesabaran. Semenjak kematian Dhea, pembicaraan tentang gadis itu di antara mereka berlima tidak pernah berhenti. Pertama Yura dan sekarang Marsha. Padahal mereka berniat menyingkirkan Dhea agar bisa hidup tenang, tetapi sekarang malah seperti ini.
"Bagaimana kalau itu memang arwah Dhea? Kita dulu sudah begitu jahat padanya," gumam Marsha lagi.
***
"Nadya! Aku ikut denganmu, ya?" tukas Dhea siang itu sepulang kuliah.
"Nggak enak nih sendirian di kos, sepi."
Nadya memasang wajah kesal. Selalu saja seperti ini. Dhea selalu berusaha sok akrab dengannya, hanya karena mereka pernah menjadi sahabat waktu kanak-kanak. Baginya, sekarang semua berbeda, dia memiliki kehidupan dan teman-teman sendiri. Pergaulan dengan anak-anak populer di kampus yang tidak mungkin dimasuki oleh gadis culun seperti Dhea.
"Aku cuma pergi sebentar, kok. Udah deh, kamu di sini aja," kelit Nadya sembari bergegas hendak keluar.
"Ya udah, nggak pa-pa. Aku di rumah aja kalau gitu," jawab Dhea pelan sambil tersenyum.
'Dasar munafik! Bilang aja kalau kamu marah! Pakai senyum-senyum segala!" gerutu Nadya. Dia tidak tahu sejak kapan dirinya mulai membenci Dhea. Mungkin karena gadis itu selalu saja membuat dia iri. Dhea terlahir dari keluarga yang mapan dan harmonis. Bertolak belakang dengan dirinya yang berasal dari keluarga berantakan. Orang tuanya bercerai sejak dia masih kecil dan dia hanya tinggal dengan ibunya.
Bagi Dhea, hidup memang tidak adil. Entah kesalahan apa yang dia buat, sehingga berada di keluarga yang tidak utuh. Amarah tersebut semakin besar saat dia melihat Dhea yang begitu beruntung. Memiliki keluarga utuh dan menyayanginya.
***
"Benar kamu satu kosan sama Dhea culun?" tanya Andi saat Nadya datang.
"Kamu tahu dari mana?"
"Ya tahulah. Ada yang beritahu aku," sahut pemuda itu.
"Beneran tuh?" timpal Yura.
"Kalau aku sih nggak batal betah. Liat wajah dia di kampus tiap hari aja aku enek. Apalagi sampai ketemu juga di rumah."
"Iya, kok bisa kamu serumah sama dia? Jangan-jangan kamu sebenarnya sahabatan sama dia?" tukas Marsha sembari tertawa dan melirik Nadya. Doni ikut mengangguk.
"Ya, nggak mungkinlah!" sergah Nadya cepat.
"Sebenarnya malah aku muak banget sama dia. Kalau bisa, aku pingin nyingkirin dia."
"Ide bagus tuh. Kita kerja sama singkirkan dia. Bikin sepet mata aja," sahut Doni sembari tersenyum pada Nadya. Gadis itu langsung mengangguk setuju. Dia memang sudah lama ingin membuat Dhea keluar dari hidupnya.
***
Hidup tidak selamanya mudah untuk Dhea. Terlahir dari keluarga kaya tidak membuat dia mudah untuk bergaul. Teman-teman kampus bahkan tidak mau malas mengobrol dengannya, karena dia terlampau pendiam dan serius.
Sejak kecil, gadis itu memang dididik keras oleh ayahnya. Beliau berharap putri semata wayangnya itu bisa meneruskan perusahaan yang telah dirintis dari bawah. Satu-satunya sahabat yang dia miliki adalah Nadya dan sekarang teman masa kecilnya itu juga menjauh darinya. Tentu saja semua itu karena teman-teman baru sahabatnya itu. Kini Nadya akrab dengan mereka.
"Hai," sapa seseorang pada Dhea. Gadis itu menoleh dan melihat Kevin, kakak kelasnya yang diidolakan banyak mahasiswa tersenyum ramah padanya.
***
Tangan Nadya meremas kesal. Di pelataran kampus, dia melihat Kevin mengobrol akrab dengan Dhea. Mereka sesekali tertawa bersama. Sama seperti kebanyakan gadis lainnya di kampus ini, Nadya juga mengidolakan Kevin. Lebih dari itu, dia telah menaruh hati kepada pemuda berparas rupawan tersebut.
Keempat sahabatnya masih asyik mengobrol, tetapi Nadya tidak lagi peduli. Rasa amarah telah menguasai. Dia harus membuat Dhea tersingkir juga dari kampus.
"Kamu kenapa, Nad?" tegur Marsha. Gadis berambut ikal tersebut lalu mengikuti arah tatapan Nadya.
"Ih, dasar kecentilan banget sih Dhea itu! Sok dekat-dekat sama Kak Kevin!" tukasnya.
"Dasar nggak punya perasaan!" timpal Yura.
"Udah tahu kamu naksir, eh diembat juga."
"Bantu aku! Bantu aku menyingkirkan Dhea. Selamanya," desis Nadya geram.
***
Nadya dan Dhea berjalan beriringan di malam itu.
"Kita mau ke mana, Nad?" tanya Dhea untuk kesekian kali. Tadi dia senang Nadya mengajaknya. Gadis berkacamata itu berpikir hubungan dengan sahabatnya itu kembali membaik.
Namun yang terjadi selanjutnya justru kebalikan. Nadya dan keempat sahabatnya menghina dan memukul gadis malang itu. Tubuh Dhea yang ringkih sejak kecil tidak kuat menahan siksa dan meninggal. Kelima sahabat itu ketakutan dan membuang tubuh gadis itu ke dalam hutan yang berada tidak jauh dari situ.
Tidak puas karena masih dikuasai amarah, Nadya bahkan mengajak keempat sahabatnya memutilasi tubuh Dhea dan menguburkan di tempat-tempat berbeda dalam hutan. Yang lain menurut saja karena mereka juga membenci Dhea.
Tidak lama setelah itu, Yura mulai ketakutan dan bercerita bahwa dia melihat penampakan Dhea dengan gaun putih berlumur darah. Semua menertawakan dan tidak percaya.
***
Yura berjalan mempercepat langkah. Belakangan dia selalu merasa ketakutan. Paranoid terutama di saat malam tiba, karena dia terus saja melihat sosok Dhea. Gadis itu tahu teman-temannya tidak percaya, tetapi gadis yang telah mereka bunuh dengan kejam tersebut selalu menghantui dia.
Angin dingin yang meniup tengkuk membuat bulu kuduk Yura berdiri. Dia masih terus berjalan. Rumahnya tidak jauh lagi. Namun, sosok Dhea tiba-tiba berdiri di hadapannya. Bau anyir dan busuk langsung menusuk hidung Yura. Wajah pucat dengan rambut panjang dan tatapan mata kosong tersebut mendekat.
"Arggghhh!"
Yura menjerit ketakutan dan segera melarikan diri, tetapi dia lalu melihat sosok Dhea di mana pun.
"Kembalikan tubuhku," bisik makhluk tersebut terngiang di telinga Yura. Membuat gadis itu semakin ketakutan. Saat Dhea muncul di dekatnya dan menjulurkan tangan untuk menjangkau, Yura kembali berlari. Dia tidak sadar dirinya kini berada di tengah jalan tol dan sebuah mobil berkecepatan tinggi langsung menabrak tubuhnya hingga terpental.
Gadis itu jatuh membentur aspal dan berlumur darah. Yura kemudian melihat sosok Dhea tersenyum menyeringai sebelum kegelapan kekal juga merenggut dirinya dari kehidupan.
***
Malam hari, sendirian di dalam kamar, Marsha masih bersedih atas meninggalnya Yura. Dia sangat akrab dengan gadis itu, bahkan sebelum mengenal Nadya, karena mereka teman sejak SMA. Biasanya di saat orang tuanya pergi ke luar kota seperti sekarang, Yura selalu menginap untuk menemani dia. Kini semua terasa sepi dan membuat dia semakin sedih sekaligus kesal kepada Nadya.
"Ini semua gara-gara Nadya. Semua ini salah dia. Jika saja dia tidak memaksa kami untuk bekerja sama menyingkirkan Dhea, semua ini tidak akan terjadi. Tetapi, apa benar arwah Dhea mengikuti dan berniat menuntut balas kepada kami?" ujarnya. Mendadak bulu kuduknya meremang. Dia merasa ada seseorang mengawasi dirinya.
Tes! Tes! Tes!
Titik-titik cairan menimpa dirinya yang sedang duduk sendirian di dalam kamar.
"Ah, sejak kapan kamar ini bocor?" ucapnya sembari melihat ke atas. Gadis itu menjerit ketakutan saat melihat sosok Dhea melayang di langit-langit rumah. Tetes-tetes cairan yang ternyata darah itu terus berjatuhan ke wajahnya.
"Akkkhhh!" jerit Marsha lagi. Dia berusaha melarikan diri, tetapi sosok Dhea dengan cepat menghampiri. Marsha berteriak lagi untuk terakhir kalinya, setelah itu sepi.
***
Andi terkejut melihat Marsha datang ke rumahnya malam-malam.
"Ada apa, Sha?" tanyanya setelah membuka pintu yang berulang kali diketuk oleh gadis itu.
"Ikut aku," sahut Marsha singkat. Gadis itu kemudian berbalik dan berjalan mendului.
"Kita mau ke mana, Sha?" tanya Andi. Dia bingung karena Marsha sedari tadi hanya berjalan tanpa bicara. Biasanya, di kelompok mereka, gadis itu yang paling bawel.
'Mungkin dia masih berduka, karena Yura meninggal,' duga Andi dalam hati. Pemuda itu menatap cemas kepada gadis yang berjalan di depannya tersebut.
Mereka tiba di sebuah gedung yang sepi dan terbengkalai. Lumut dan tanaman liar yang menjalar tumbuh menghias tembok luar bangunan tersebut. Ada beberapa retakan di dinding. Lantai porselen yang mungkin dulu putih berkilat, kini tampak kusam dikotori tanah bercampur lumpur.
Andi kembali terlihat kebingungan.
"Untuk apa kita kemari?" tanyanya lagi kepada Marsha, tetapi gadis itu terus berjalan dalam diam. Karena cemas, Andi segera mengikuti. Marsha menuju tangga dan berjalan naik.
Suasana suram yang hanya diterangi purnama membuat Andi agak kesulitan melangkah, tetapi dia mencemaskan sahabatnya itu.
Mereka berdua tiba di lantai teratas gedung. Andi yang semakin kebingungan kembali bertanya,
"Sha, untuk apa kita ke sini?"
Marsha tidak menjawab dan berjalan menuju tepi bangunan yang terbuka. Melihat itu, Andi berteriak panik dan segera menghampiri.
"Sha, apa yang hendak kamu lakukan?" tanyanya sembari mencekal tangan gadis itu. Namun, Marsha mengibaskan tangan Andi hingga terlepas dan mendorong tubuh pemuda itu hingga jatuh ke lantai dasar.
Tawa yang menggema dari mulut Marsha adalah hal terakhir yang didengar Andi. Pemuda itu tergeletak di tanah dengan darah merembes keluar dari kepalanya yang terluka parah. Keheningan abadi kemudian mengambil dan membawa dia pergi.
***
Nadya, Marsha, dan Doni baru pulang dari makam Andi. Marsha masih terus terisak. Nadya juga hanya diam. Dua sahabat mereka meninggal dengan cara mengerikan. Nadya merasa kini hidup mereka dalam teror kematian.
'Apa benar Dhea yang melakukan ini untuk membalas dendam?' ucapnya bertanya-tanya. Dia tidak ingin percaya hal-hal mistis semacam itu, tetapi hanya Dhea yang memiliki dendam kesumat kepada mereka.
'Aku sudah menyingkirkan dia, tetapi hidupku malah tidak tenang. Kak Kevin juga tidak pernah peduli padaku sedikitpun,' keluhnya lagi.
'Tetapi, jangan harap aku akan meminta maaf padanya. Semua yang terjadi adalah kesalahan Dhea sendiri.'
***
Malam hari, Marsha memaksa Nadya dan Doni menginap di rumahnya. Tengah malam, Nadya terbangun karena mendapati Marsha tidak ada di kamar. Ia bergegas keluar dan berpapasan dengan Doni.
"Don, kamu lihat Marsha nggak?" tanyanya cemas. Wajah pemuda berubah khawatir.
"Bukankah dia sedang tidur?" ujarnya balik bertanya.
Marsha menggeleng.
"Dia nggak ada. Aku cemas, kelihatannya dia sangat terpukul."
Doni dan Nadya memeriksa seluruh rumah, tetapi Marsha tidak juga ditemukan. Mereka bergegas keluar dan melihat Marsha sedang berdiri seorang diri di halaman depan rumah.
"Sha, kamu sedang apa?" tanya Nadya sembari menyentuh bahu gadis itu. Tiba-tiba Marsha berbalik dan menyerang Nadya.
"Ini semua gara-gara kamu!" teriaknya.
"Tenanglah, Sha,"ucap Nadya sembari berusaha menghindar. Namun, Marsha tidak melepaskan, dia langsung mencekik leher Nadya dengan kuat.
"Kematian ini datang karena dirimu!" teriak Marsha marah.
Nadya meronta dan berusaha melepaskan diri. Doni berusaha membantu. Ia menarik Marsha menjauh dan mendorong gadis itu. Marsha terhuyung dan kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh. Kepalanya membentur tegel ubin di teras rumah dengan keras hingga berdarah.
"Marsha!" seru Nadya bergegas menghampiri, tetapi sudah terlambat. Sahabatnya itu juga pergi menyusul teman-teman mereka menuju peristirahatan abadi.
Wajah Doni berubah pasi.
"Aku tidak sengaja melakukannya. Aku tidak bermaksud membunuh Marsha," ucapnya gemetar.
"Tidak apa. Aku mengerti. Ayo sekarang kita kuburkan dia, agar tidak ada orang yang tahu!" jawab Nadya.
***
Mereka menuju ke tempat yang sama di mana Dhea kehilangan nyawa. Liang lahat yang dalam tersebut telah selesai digali.
"Ayo kita selesaikan ini!" seru Nadya. Doni mengangguk. Tubuh Marsya dimasukkan ke dalam lubang, tetapi pemuda itu kemudian berdiri diam.
"Kau sedang apa? Cepat tutup lubangnya!" perintah Nadya gusar.
"Ada yang kurang," jawab Doni.
"Apa maksudmu?" tanya Nadya tidak mengerti.
"Seseorang juga harus dikubur dalam liang ini," sahutnya, kemudian sekop besar di tangan melayang ke arah gadis di sampingnya itu.
Nadya yang terkejut bergerak menghindar dengan cepat.
"Apa kamu sudah gila? Hendak membunuhku juga?" teriaknya.
Doni tertawa menyeringai.
"Kau tidak ingin mati? Kalau begitu, satukan kembali tubuhku, Sahabat!" ujarnya.
"Dhe-a?" tukas Nadya pelan dengan nada tidak percaya.
"Benar, ini aku Dhea. Aku sahabatmu, tetapi kau tega membunuhku. Apa kau peduli dengan kesedihan yang dirasakan keluargaku? Kurasa tidak. Kau dan teman-temanmu adalah orang-orang egois yang pantas mati."
"Kau bohong! Tidak mungkin kau adalah Dhea!" teriak Nadya.
"Tidak mungkin!" seru gadis itu lagi sembari berbalik melarikan diri. Namun, suara Dhea terus berdengung di telinga.
"Kembalikan tubuhku seperti semula, Nadya! Kembalikan tubuhku!"
***
Seorang wanita berseragam putih datang saat Nadya kembali berteriak. Dia menggeleng iba pada gadis itu. Masih muda, tetapi sudah mengalami gangguan jiwa, karena kehilangan semua sahabatnya dengan cara yang mengerikan. Yang terakhir ditemukan warga menancap di batang pohon runcing saat gadis itu berlari keluar dari hutan.
Kini, gadis itu selalu menjerit-jerit sembari meminta maaf dan menyebutkan nama teman-temannya satu per satu. Setelah memberi obat penenang, wanita tersebut bergegas keluar.
Kini, Nadya kembali seorang diri di kamar. Namun, itu tidak lsma, karena dia kembali sosok-sosok sahabatnya datang dan berkata mereka merindukan dia. Mereka sudah tidak sabar mengajak Nadya kembali bergabung dengan mereka seperti dulu.
Tamat