Semalam ayah bilang kalau Dia akan menikah lagi,padahal ibuku sedang sakit parah, namun tekadnya sudah kuat,katanya ayah laki-laki normal.
"Bu,senja. Ayah ingin mengatakan sesuatu, mungkin ini akan menyakitkan tapi ayah harus mengatakannya" ucap ayah hati-hati namun dengan penuh keyakinan.
Dengan lemah ibu menyahut.
"katakan apa yang ingin ayah sampaikan,kami mendengarkannya"
"Bu,senja. Sebelumnya ayah minta maaf,tolong izinkan ayah untuk menikah kembali," ucap ayah yang membuat aku dan ibu terpaku.
Ibuku tersenyum,Dia mengelus tanganku yg sedang menahan emosi,ibu seolah mengatakan agar aku tetap diam.
"Ibu mengizinkan ayah untuk menikah lagi,maafkan ibu yg tidak bisa melayani ayah,ibu merasa bersalah"
Ayah yg tertunduk pun menaikan pandangannya kearah ibu,seakan meminta penjelasan atas pernyataan ibu. Sedangkan aku menahan emosi dan air mata atas keputusan ibu.
"Ibu,kenapa ibu mengizinkan ayah? Aku tidak mau ayah menyakiti ibu" ucapku mencoba menyadarkan ibu. Lagi dan lagi ibu hanya tersenyum.
"Jgn halangi kebahagiaan ayah mu,nak. Karena ibu tidak bisa memberikannya" ucap ibu tenang namun aku tau ia sedang terluka.
"Kapan ayah akan memperkenalkan calon ayah pada kami?" Ibu bertanya seolah hatinya baik-baik saja.
Ayah yg mendapatkan pertanyaan pun,merasa gugup,ia tidak menyangka bahwa akan semudah ini mendapatkan izin.
"Apa ibu yakin?" Tanya ayah
Ibu tersenyum "Se yakin ayah meminta izin pada kami"
"Baiklah, bagaimana kalau hari Minggu saja"
Ibu kembali tersenyum, melihat tingkah ayah yang seperti anak remaja saat mendapat restu untuk berpacaran.
Setelah pembicaraan itu aku sangat kecewa pada ayah,kenapa ia sejahat itu meminta izin untuk menyakiti ibu. Aku tidak sekuat ibu.
Hari demi hari kami lewati dengan penuh perubahan, keadaan rumah tidak lagi sama,ayah kembali seperti anak muda yg merindukan malam Minggu, sedangkan ibu berjuang menahan sakit jiwa dan raga.
"Bu,surat apa itu?" Tanyaku penasaran saat ibu sedang memeriksa sebuah surat yang sudah lapuk.
Ibu melihat kearah ku dan tersenyum.
"Kami dulu pernah menulis sebuah perjanjian,bahwa kami akan menua bersama dalam suka dan duka,akan saling menjaga perasaan,Kami berjanji untuk menjadi satu-satunya tidak ada yang lain,jika kami melanggar maka kami boleh pergi"
"Ini saatnya ibu pergi ,nak ."
"Maksud ibu apa?"
"Ayah sudah melanggar perjanjian ini,bahkan di saat sakit ibu belum genap 1 tahun. Ayahmu sudah menunjukkan gelagat yg berbeda,ibu pikir karena pekerjaan nyatanya bukan."
"Senja masih belum paham maksud ibu"
"Nak,ibu tidak sekuat itu untuk melihat ayah menikah kembali,ibu sudah memikirkan banyak hal, terlebih surat perjanjian ini menguatkan tekad ibu. Ibu akan pulang ke rumah mendiang orang tua ibu,jodoh ibu dan ayahmu hanya sampai 16 tahun saja,dan kamu berhak memilih ikut siapa." Ucap ibu sendu
Aku terkejut mendengar ucapan ibu,aku pikir ibu akan dengan legowo menerima madunya, apalagi saat ayah meminta izin untuk membawanya tinggal satu rumah dengan alasan agar bisa membantu mengurus ibu.
Aku tersenyum bangga, ternyata ibu bukanlah wanita lemah, meskipun kenyataannya Dia harus berpura-pura tegar.
"Aku akan ikut ibu,biar aku yg menjaga dan mengurus ibu. Akupun tidak ingin melihat ibu tersiksa setiap hari"
"Baiklah kalau begitu,besok lusa kita berpamitan dengan ayah". Aku mengangguk dan langsung memeluk ibu.
Hari Minggu sudah tiba,pagi² sebelum ayah pergi menjemput calon istrinya kami sudah menurunkan beberapa koper yg akan kami bawa kerumah nenek. Aku membantu ibu berjalan dgn tongkatnya. Ayah terkejut melihat kami yg sudah rapih.
"Kalian mau kemana dengan koper² ini?" Tanya ayah penasaran.
"Duduk dulu yah." Ajak ibu pada ayah
Suasana hening pun terjadi sampai ibu membuka suara.
"Yah,ibu mau berpamitan pada ayah begitupun dengan, senja. Ibu akan pulang ke rumah orang tuaku yang lama,Karena mereka sudah tiada jadi ayah tidak perlu mengantarkan ibu pulang. Yah,maafkan ibu yang tidak bisa bertahan lebih lama,ibu bukan istri yang Sholihah. Namun ibu akan selalu mendoakan kebahagiaan ayah meskipun bukan dengan ibu"
"Apa maksudmu?"
Ibu pun menyerahkan map coklat dan sebuah surat usang. Surat yg beberapa hari ibu urus untuk mengajukan perceraian.
Ayah baru menyadari tentang surat yang dulu ia tulis sebelum menikah,air mata ayah menetes,seolah menyadari banyak hal. Apakah penyesalan telah tiba?
Ibu paham bahwa ayah sedang menyadari sesuatu.
"Yah,kami pamit. Maaf kami tidak bisa menghadiri pernikahan ayah,hanya doa yang bisa kami panjatkan. Semoga keluarga yg klak akan ayah bina sakinah mawadah warohmah. Sekali lagi maafkan ibu selama 16 th ini jika ibu punya salah"
Ayah terdiam dengan lelehan air mata yang membasahi pipinya, lidahnya seolah Kelu bahkan tak menyadari bahwa kedunya mencium tangan ayah dan pergi .