Menikahi sahabat sendiri seharusnya sederhana. Tetapi, tidak untuk Avellyne.
Pernikahan dengan Ryos hanyalah jalan keluar dari tekanan keadaan, bukan karena pilihan hati.
Dihantui trauma masa lalu, Avellyne membangun dinding setinggi langit, membuat rumah tangga mereka membeku tanpa sentuhan, tanpa kehangatan, tanpa arah. Setiap langkah Ryos mendekat, dia mundur. Setiap tatapannya melembut, Avellyne justru semakin takut.
Ryos mencintainya dalam diam, menanggung luka yang tidak pernah dia tunjukkan. Dia rela menjadi sahabat, suami, atau bahkan bayangan… asal Avellyne tidak pergi. Tetapi, seberapa lama sebuah hati mampu bertahan di tengah dinginnya seseorang yang terus menolak untuk disembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon B-Blue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
"Ryos...." Avellyne berusaha melepaskan diri, namun pria itu semakin kuat menahan pinggang dan punggung Avellyne.
Sepasang insan tersebut saling menatap satu sama lain, meski begitu masing-masing dari mereka memiliki perasaan yang berbeda.
Sudah lebih dari sepuluh tahun Ryos kenal dan menjadi sahabat Avellyne, namun suasana seperti ini baru pertama kali terjadi. Atmosfer yang terasa begitu mendebarkan bagi pria tersebut.
Masih belum ada kata yang terucap dari kedua belah pihak. Sampai Ryos melepaskan wanitanya dan dia terlihat limbung, tidak sanggup berdiri karena kakinya lemas.
"Loe kenapa, Yos?" tanya Avellyne panik sambil menarik tangan Ryos.
"Gue... enggak apa-apa."
"Enggak apa-apa gimana. Loe tiba-tiba lemas gini. Kita ke rumah sakit sekarang!"
"Seriusan Avel, gue enggak apa-apa. Darah rendah gue kambuh karena loe." Posisi Ryos sudah duduk di lantai, dia mengatur napas untuk menenangkan perasaannya.
"Maksudnya apaan?" Avellyne bertanya sebab dia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan pria itu.
"Pokoknya gue enggak apa-apa. Loe enggak perlu khawatir." Ryos tidak mau mengatakan yang sebenarnya sebab dia takut bakal diejek oleh wanita tersebut.
Jarak yang begitu dekat dengan Avellyne tentu saja meningkatkan debaran jantungnya. Dia menjadi gugup saat wajah cantik wanitanya dapat dilihat begitu jelas, wajah yang begitu menggoda. Dia sempat membayangkan bisa mejamah bibir Avellyne. Bukankah suasana beberapa menit yang lalu begitu mendukung?
"Bisa-bisanya ekspresi wajah loe flat banget, Vel." Ryos berkata sambil berdiri.
"Flat gimana? Jelas-jelas gue panik gini," balas Avellyne.
"Yang sebelumnya. Waktu gue menahan punggung loe seperti ini." Ryos mengulangi adegan sebelumnya, namun hanya dalam hitungan detik dia segera melepaskan Avellyne.
"Gue sudah berdebar-debar, tapi loe datar banget. Di saat kayak tadi, apa loe enggak ngerasain apa-apa?" Ryos bertanya.
Pada saat tatapan mereka saling bertemu satu sama lain dengan jarak wajah yang begitu dekat, Ryos melihat ke dalam sorot mata Avellyne dan terlihat kosong. Orang-orang bilang lidah bisa berbohong, tapi sorot mata selalu memberikan kebenaran.
Ryos pikir bisa merasakan getaran di sana, perasaan dari Avellyne yang mungkin dengan sengaja memang disembunyikan, namun ternyata wanita itu memang tidak memiliki apa pun. Tidak ada rasa untuk pria tersebut.
"Gue biasa aja. Emangnya gue harus bagaimana? Dicium cowok aja gue enggak ngerasain apa-apa."
Ryos mengusap wajahnya. Membayangkan sudah berapa lelaki yang mencium Avellyne, mengingat wanita itu memiliki banyak mantan.
"Loe pernah ciuman bibir?"
"Kalau gue jawab, apa loe mau membatalkan pernikahan kita?"
"Gue serius, Vel." Ryos sudah menahan perasaannya untuk tidak cemburu dan siap menerima jawaban jujur dari sahabatnya itu.
"Kalau cuma bibir bukannya itu sudah biasa? Gue bahkan pernah tidur dengan salah satu mantan gue."
Ryos melotot, jantungnya berdebar karena begitu syok mendengar pengakuan Avellyne.
"Loe masih bisa membatalkan pernikahan kita, Yos," ucap Avellyne.
"Loe yang meminta gue, Vel. Terus sekarang kenapa sikap loe seperti ini? Yang minta dinikahi siapa? Loe, kan?"
"Waktu itu gue enggak bisa berpikir jernih. Gue ngasih loe kesempatan untuk mundur karena gue ngerasa enggak pantes. Beberapa hari ini gue berpikir, kalau loe terlalu baik untuk gue, Yos."
"Mantan gue di mana-mana. Banyak cowok yang sudah pegang-pegang gue–"
"Loe pikir gue percaya?" sela Ryos.
"Cowok mana yang bisa cium bibir loe dan cowok mana yang berhasil membujuk loe untuk tidur bareng?"
"Loe itu preman, loe yang paling mendominasi makanya loe yang selalu diputusin. Gue enggak akan pernah lupa saat loe berada di kantor polisi karena nonjok hidung mantan loe sampe tulang hidungnya bengkok."
Avellyne memberikan tatapan tidak senang kepada Ryos, sebab membuatnya mengingat kejadian tiga tahun yang lalu. Di mana waktu itu pria yang dia pacari memaksa mau mencium dan seketika itu pula, satu tinju pun dia layangkan sampai dirinya berakhir di kantor polisi dengan aduan melakukan kekerasan.
"Kalau sudah tahu kenapa pakai tanya, sih? Loe sudah buat gue kayak orang bodoh," oceh Avellyne.
"Gue baru teringat sekarang, Vel. Loe memang punya banyak mantan, tapi loe bukan cewek murahan." Ryos tersenyum lega, karena semua pengakuan Avellyne sebelumnya adalah kebohongan.
"Mending loe pergi sekarang!" Avellyne berpindah menjadi berdiri di belakang Ryos, dia mendorong pria itu agar segera keluar dari ruang kerjanya.
"Emang sudah selesai ngukurnya?"
"Sudah." Mood-nya sudah tidak bagus, terdengar dari nada bicara Avellyne yang sedikit kasar.
"Gue masih banyak pekerjaan. Kalau loe di sini bikin gue enggak fokus kerja. Soalnya loe cerewet banget. Sudah sana keluar!" Avellyne mendorong lebih kuat lagi dan Ryos malah dengan sengaja menahan kakinya.
"Ryos! Nyebelin banget, sih!" protes Avellyne memasang wajah cemberut.
"Enggak mau nganter calon suaminya sampai depan."
"Bodoh, ah! Terserah loe!" Avellyne berjalan menjauh dari Ryos dan dia menuju meja kerjanya.
"Nanti malam kalau kerjaan loe sudah selesai, telepon gue," ucap Ryos.
"Ngapain?"
"Biar gue anterin pulang."
"Ribet banget. Gue bawa mobil sendiri."
"Ya, sudah kalau begitu gue tetep di sini sampai loe selesai." Ryos tersenyum, dia memerhatikan raut wajah Avellyne, dia berhasil mengganggu wanita itu.
Avellyne mendengus dan menggeram, memang ada saja tingkah Ryos ini, tidak pernah berubah dari zaman SMA hingga detik ini.
"Emang loe enggak ada kerjaan? Bukannya loe sibuk mengerjakan proyek dari pemerintahan?"
"Bagian gue sudah beres. Sisanya tinggal urusan Marsha dan kelompok lain. Itulah untungnya jadi CEO. Gue bisa lebih santai kalau urusan utamanya berjalan lancar."
"Cih, bangga banget. Loe enggak tahu semasa om masih hidup, dia khawatir banget karena harus menyerahkan perusahaan ke loe. Kalau saja loe bukan anak satu-satunya, sudah pasti posisi CEO bakal jatuh ke tangan saudara loe. Meskipun CEO, loe enggak harus mempercayakan pekerjaan penting ke bawahan. Kalau perusahaan hancur karena CEO-nya terlalu santai, loe bisa menghancurkan ratusan pencari nafkah–"
"Oke! Gue pergi sekarang!" Ryos menyela dan kali ini wajahnya yang terlihat cemberut.
"Ngatain gue cerewet, padahal loe juga." Ryos melanjutkan.
"Gimana gue bisa suka dan jatuh cinta ke loe, soalnya loe itu nyebelin, suka iseng. Enggak kayak kak Reyiu atau kak Hanan. Mereka tuh cowok yang paling romantis ke pasangannya. Loe harus berguru ke mereka berdua, Yos."
Ryos langsung berpamitan karena tidak ingin mendengar Avellyne membandingkannya dengan kedua pria tersebut.
Melihat tingkah Ryos membuat wanita itu tersenyum.
Daripada bersikap manis dan manja, Ryos memang lebih suka mengerjai Avellyne, dia suka membuat wanita itu ngambek dengan keusilannya. Mungkin begitulah cara Ryos menunjukkan kasih sayangnya kepada sang wanita pujaan hati.
Dari jendela kaca, Avellyne melihat ke bawah, dia menunggu Ryos keluar dari butik dan tidak sampai lima menit, pria itu terlihat memasuki mobilnya. Senyum wanita itu lagi-lagi terukir manis.
...
Setelah kepergian Ryos, Avellyne kembali fokus dengan pekerjaannya. Dia mulai menggambar setelan jas untuk Ryos di hari pertunangan dan pernikahan mereka. Sedangkan pakaiannya sendiri akan didesign dan dijahit oleh Siska.
Belum lama membuat sketsa, Avellyne mendengar suara ketukan pintu dan dia meminta orang di balik pintu itu untuk masuk.
"Avellyne." Seorang pria menyapa dan terlihat si pemilik nama tidak suka dengan kedatangan tamunya sebab wanita itu memberikan tatapan tajam.
"Mau apa datang ke mari?" Suaranya terdengar ketus dan dia beranjak dari meja kerjanya.
"Aku sibuk, enggak punya waktu menerima tamu hari ini."
"Aku datang untuk meminta maaf." Pria itu bernama Jardin–mantan Avellyne.
Mereka baru putus beberapa waktu yang lalu.
Tidak lama kedatangan Jardin, seorang pria lain masuk dengan membawa beberapa barang dan dia adalah sopir pribadi Jardin.
Setelah meletakkan barang-barang tersebut, si sopir pun keluar dari ruangan.
"Bunga kesukaan kamu." Jardin memberikan bunga anggrek kepada mantan kekasihnya.
"Maafin aku, ya?" ucap pria itu lagi.
"Kalau sudah aku maafin, kamu mau apa?"
"Aku mau kita balikan. Tas-tas itu berisi pakaian, perhiasan dan sepatu. Aku beli untuk kamu sebagai permintaan maaf dari aku." Jardin tersenyum, sangat berharap Avellyne memaafkannya.
Mereka menjalin kasih selama dua tahun dan hampir tidak pernah bertengkar. Pertengkaran beberapa waktu yang lalu adalah pertama kali dan Jardin yang meminta putus lebih dulu. Sayangnya, Avellyne langsung setuju begitu saja. Jika wanita lain pasti akan mencari solusi untuk mempertahankan hubungan mereka apalagi pada pertengkaran pertama. Namun, Avellyne adalah wanita yang berbeda.
"Apa aku semudah itu? Disogok barang mewah langsung memaafkan kamu dan kita balikan?" Avellyne bicara begitu santai, dia benar-benar tidak menunjukkan ekspresi apa pun, sangat sulit untuk ditebak apa yang sedang dia rasakan saat ini.
"Aku akui sudah melakukan kesalahan besar. Itu sebabnya aku datang bukan cuma meminta maaf dan balikan. Aku menyiapkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih penting untuk hubungan kita ke depannya."
Kali ini wajah datar itu berubah, Avellyne mengernyitkan dahinya.
Jardin meletakkan bunganya di sofa lalu dia mengeluarkan kotak beludru dari saku celana.
"Avel, aku ingin menjadi suami kamu." Jardin membuka kotak beludru berwarna merah tersebut dan terlihatlah cincin permata indah di dalamnya.
"Aku ingin melamar kamu secara resmi secepatnya dan sekalian membahas hari pernikahan."
"Sejak pertengkaran kita dan selama kamu tidak ada di sisi aku, rasanya benar-benar hampa, Vel. Aku enggak bisa konsentrasi kerja. Kita sudah dua tahun pacaran dan kita enggak pernah bertengkar hebat. Kemarin aku enggak bisa kontrol emosi dan akhirnya malah menyakiti perasaan kamu." Jardin tampak begitu menyesal, dia terlihat memelas dan putus asa.
"Bukannya kamu bilang aku wanita murahan hanya karena mendengar aku play girl dan memiliki banyak mantan. Kamu tidak lupa, kan, kalau mantan aku ada dua puluh orang." Mata Avellyne berkaca-kaca. Masih teringat jelas semua perkataan menyakitkan dari Jardin.
"Aku yang salah karena tidak mendengar ucapan kamu dan malah lebih percaya orang lain. Itu makanya aku datang dengan membawa semua ini untuk menunjukkan keseriusan aku. Aku benar-benar mencintai kamu, Avel. Aku enggak bisa kita berpisah seperti ini. Kalau kamu belum siap menikah dengan aku, aku akan menunggu."
Avellyne menghela napas, dia mengerjapkan mata berkali-kali agar air matanya tidak keluar.
Dia mulai memikirkan lamaran Jardin. Mungkin lebih baik bersama dengan pria tersebut daripada dengan Ryos.
Avellyne tidak ingin menyakiti sahabatnya itu. Dia tidak berniat menjalani kehidupan pernikahan dalam waktu lama. Dia memiliki targetnya sendiri dan Jardin adalah pilihan tepat untuk menyelamatkan sahabat berharganya. Selain itu, dia juga bisa menyelamatkan hak warisnya.