NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Guru Baru

Istri Rahasia Guru Baru

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Cinta Seiring Waktu / Idola sekolah / Pernikahan rahasia
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: ijah hodijah

Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.

Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.

Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?


Baca selengkapnya hanya di NovelToon

IG: Ijahkhadijah92

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ketegaran Emily

Keesokan harinya

Udara pagi di sekolah seperti biasa ramai dengan suara tawa dan obrolan siswa yang baru datang. Tapi tidak dengan Emily. Hari ini dia datang sendiri, mengendarai motor kesayangannya, melawan perasaan tidak enak yang sejak tadi menggelayut. Haidar sempat melarang dan ingin mengantarnya, tapi Emily bersikeras. Ia tidak ingin terlihat manja di depan keluarga besar Haidar yang masih ramai berkumpul.

Namun, baru saja roda motornya berbelok ke arah gerbang sekolah...

"Emily!"

Suara itu menghentikannya. Suara yang sudah lama tak ia dengar. Suara yang dulu membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

Emily menoleh.

Rafael.

Dan degupan jantungnya langsung membeku.

Rafael berdiri tak jauh darinya, bersama seorang perempuan yang duduk di belakang motornya. Wajah si perempuan tak dikenali Emily. Tapi yang membuat hatinya seperti disayat-sayat adalah tangan Rafael yang dengan santai memegang pinggang perempuan itu.

"Sekarang gue ngerti," Rafael bicara dengan suara lantang, cukup keras untuk membuat beberapa siswa yang baru datang ikut menoleh. "Ternyata gosip itu benar. Dan gue bego udah percaya sama lo, Emily."

Emily masih terpaku. Ingin tertawa tapi tenggorokannya tercekat.

Rafael mendekat beberapa langkah, dan dengan tatapan merendahkan dia berkata pelan tapi menusuk, "Mulai sekarang, kita gak ada hubungan lagi. Gue gak mau sama sampah kayak lo."

Sreettt

Kata-kata itu seperti suara ban motor yang mengerem mendadak dalam hati Emily. Semua mata tertuju padanya. Ada yang mematung. Ada yang menutup mulut menahan terkejut. Ada pula yang bisik-bisik sambil menatap penuh rasa ingin tahu.

Emily menarik napas panjang.

Ia tak membalas. Tak satu pun kata meluncur dari mulutnya. Matanya menatap Rafael sebentar, lalu beralih ke perempuan di belakang motornya. Masih diam. Lalu... ia memutar tubuhnya dengan tenang dan melajukan motornya masuk ke sekolah, seolah tidak terjadi apa-apa.

Tapi dalam hatinya, badai mengamuk.

"Kurang ajar. Kalau bukan karena Papa, sumpah, udah gue jambak rambut lo dan gue tendang lo dan motor lo itu sampai muter kayak spinner!"

Namun dia menahannya. Ia menundukkan ego, menahan air mata, dan menguatkan dirinya. Demi Rakha. Demi pengorbanan ayahnya.

Sedangkan di rumah, Haidar sedang menyambut tamu keluarga yang datang dari luar kota. Beberapa sepupu dan keponakannya baru saja sampai, membawa oleh-oleh dan kenangan lama. Namun, matanya terus melirik jam dinding. Hatinya tidak tenang.

"Apa yang terjadi sama Emily? Gak enak feelingku..." Haidar meremas jemarinya sendiri.

Sementara itu di kelas, Emily duduk di kursinya sambil membuka buku pelajaran. Teman sebangkunya menoleh.

"Lily, kamu gak apa-apa?" Riska yang sudah lebih satu bulan tidak menegurnya kembali menegurnya.

Emily tersenyum, ringan sekali. "Aku? Baik. Justru aku baru sadar… kalau ada yang lebih buruk dari patah hati."

"Apa?"

"Sakit kepala dengerin suara Rafael. Untung sekarang aku bebas."

Riska tidak menanggapi lagi, dia merasa canggung.

Hari ini kelas terasa lebih ramai dari biasanya, bukan hanya karena pelajaran yang membosankan, tapi juga karena kabar yang mulai beredar. Emily duduk di bangkunya, menatap kosong ke depan, mengabaikan semua bisik-bisik teman-teman sekelas yang mulai menatapnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Satu per satu, mereka mulai melontarkan pandangan yang seakan mengatakan, "Gosip itu benar."

Tiba-tiba pintu kelas terbuka dengan suara keras. Disa masuk dengan langkah angkuh, memegang tas di tangan kiri dan matanya langsung mencari Emily. Begitu matanya bertemu dengan Emily, senyumnya lebar penuh sindiran.

"Emily," Disa memanggil dengan suara nyaring, membuat seluruh kelas terdiam. “Lo tahu kan, sekarang lo udah bukan bagian dari keluarga besar lagi?”

Emily menahan diri untuk tidak menanggapi. Namun darahnya mulai mendidih. Tanpa disangka, Disa terus melanjutkan, mengangkat bahu seolah tak peduli.

“Ayah lo kan udah dicoret dari daftar hak waris keluarga besar. Jadi, lo sama sekali nggak punya apa-apa lagi. Lo pikir keluarga besar lo bakal terus nunjukin muka? Semuanya bakal jauh dari lo,” kata Disa dengan nada mengejek.

Emily menggigit bibir, mencoba menahan amarahnya. Ia tahu Disa sedang menikmati setiap detik kelemahannya.

Namun sebelum Emily sempat membuka mulut, Riska, teman sebangkunya, tiba-tiba berdiri dan menatap Disa tajam. “Cukup, Disa!” katanya dengan nada tegas. "Lo nggak tahu apa-apa."

Disa hanya melirik Riska dengan tatapan penuh kebencian, tapi tidak mengatakan apa-apa. Riska menatap Emily sejenak, kemudian mengambil napas panjang.

“Emily... gue... gue minta maaf.” Riska duduk menyamping, menatap Emily, suaranya lembut dan penuh penyesalan. “Gue dulu... terlalu cepat menilai. Gue nggak seharusnya percaya sama omongan orang lain. Gue tahu sekarang, gue salah.”

Emily menoleh pelan, matanya menatap Riska, tetapi ia tidak memberikan respon yang antusias. “Lo baru sadar sekarang?”

Riska mengangguk, wajahnya terlihat tulus. “Iya, gue baru nonton video klarifikasi dari Om Rakha. gue nggak tahu kalau itu semua nggak benar. Gue minta maaf, Emily.”

Namun, Emily hanya menatap Riska datar. “Teman sejati nggak akan menjauh hanya karena gosip. Jika lo memang teman sejati, lo nggak akan percaya tanpa mendengar penjelasan dulu.”

Riska tampak menunduk, merasa bersalah. “Gue tahu. Dan gue menyesal banget. gue cuma... gak tahu harus bagaimana waktu itu.”

Emily menarik napas dalam, sejenak merenung. Tapi tidak ada lagi sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Dia tidak bisa marah lagi. Tapi itu bukan berarti dia harus kembali seperti dulu. Dia menghargai niat baik Riska. Tapi dia nggak bisa bersikap seperti sebelumnya."

Riska merasa hancur melihat Emily tidak menanggapinya. Emily mengalihkan pandangannya dan menatap Disa, yang kini berjalan lebih dekat ke arahnya.

Disa melangkah dengan penuh keyakinan, menatap Emily tajam. “Lo yakin bakal baik-baik aja, Emily? Lo pikir lo bisa apa tanpa keluarga besar? Lo nggak punya apa-apa lagi,” ujar Disa, sengaja melontarkan kata-kata tajam.

“Jangan harap lo bisa melawan gue,” tambah Disa sambil tertawa, mempermainkan keadaan. “Semua aset bokap lo akan disita, lo tahu kan? Hahaha…”

Deg.

Emily membeku, otaknya sejenak kosong. Benarkah apa yang Disa katakan? Apa benar mereka akan kehilangan segalanya? Hatinya mulai bergetar, tapi dia berusaha keras untuk tetap tenang.

Disa melihat reaksi Emily dan semakin tertawa puas. “Dan lo sekeluarga bakal jadi gembel, hahahaha...”

Tawa Disa semakin keras, menambah kesakitan di hati Emily. Tapi Emily tak ingin menunjukkan kelemahannya lagi. Ia menatap tajam pada Disa. Mata mereka bertemu, dan Emily tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya kering, tubuhnya tegang.

Namun, tidak ada kata-kata yang keluar. Emily menarik napas panjang, menahan diri untuk tidak membalas.

Di dalam dirinya, dia tahu—sekarang bukan waktunya untuk berlarut-larut. Dia harus menghadapi ini dengan kepala tegak, apapun yang terjadi. Karena dia sadar, tidak semua orang layak menjadi teman sejati.

"Jika aku harus kehilangan semuanya, setidaknya aku tidak kehilangan diriku sendiri," batinnya, sambil menguatkan dirinya sendiri.

**

Di siang hari yang terik, langkah motor Emily terhenti di depan rumah. Suaranya berisik, mencolok di tengah keramaian rumah Haidar yang dipenuhi kerabat.

Hari ini masih banyak tamu datang silih berganti. Tapi Emily tetap memaksa masuk sekolah, tak ingin mengurung diri hanya karena canggung setelah kejadian kemarin malam bersama Haidar.

Haidar sebenarnya ngotot ingin mengantar, tapi Emily menolak. Tadi pagi, saat para sepupu dan keponakan Haidar mondar-mandir di ruang tamu, Emily menolak halus tawaran itu. Dia lebih nyaman pergi sendiri. Meski jujur, hatinya masih remuk oleh perlakuan Rafael di gerbang sekolah.

Baru saja ia mematikan mesin motor dan hendak melepas helm, Haidar sudah muncul dari arah teras dan berjalan cepat menghampirinya.

“Biar saya bantu—” ucap Haidar seraya mengulurkan tangan.

Namun Emily menepis halus, menunduk, dan segera melepaskan helmnya sendiri.

“Saya bisa bisa,” ucapnya datar.

Haidar menahan napas. Ia paham, ada yang berubah dari Emily sejak pagi. Tapi ia juga tahu, ini bukan waktu yang tepat memaksa Emily bicara.

Saat Emily berdiri, ia melihat ke arah teras rumah. Di sana duduk beberapa kerabat wanita, dan satu di antaranya—seorang perempuan muda sekitar dua puluh lima tahun—duduk cukup dekat dengan Haidar tadi. Tatapan mereka tertuju pada Emily, menelusuri dari ujung kaki sampai ujung kepala, menilai tanpa suara.

Emily merasa kecil. Ia tahu, penampilannya berbeda dengan para wanita itu. Ia bukan tipe yang kalem, yang selalu rapi tertutup, yang setiap geraknya anggun. Tapi ia berusaha, sejak tinggal di rumah ini, ia berusaha keras menjaga sikap.

Meski begitu, hari ini, tatapan itu terasa seperti cambukan. Namun ia menegakkan kepala, melangkah ke teras, dan menyapa satu per satu dengan senyum sopan.

“Assalamualaikum...” sapanya, kemudian menjabat tangan mereka.

Soraya, yang sedari tadi mondar-mandir di dapur, langsung menghampirinya dan memeluknya dengan hangat. “Sayang, udah pulang? Capek, ya? Yuk masuk dulu...”

Salah satu kerabat, perempuan berbadan gemuk dengan jilbab hitam menatap Emily dari atas ke bawah. “Ini istri Haidar, Dek?” tanyanya dengan senyum tipis.

“Iya, Kak. Cantik kan?” sahut Soraya bangga.

“Lebih cantik lagi kalau pakai pakaian yang lebih tertutup,” sahutnya tanpa basa-basi.

Emily menarik napas. Ia tersenyum kecil. “Terima kasih, Tante. Saran yang baik...”

Wanita muda yang duduk tadi—rupanya Vita, sepupu jauh Haidar—tiba-tiba berdiri dan ikut bergabung, duduk manis di depan Haidar yang masih di teras. “Iya, ih... Bang Haidar, kenapa gak nyari yang pakaiannya tertutup?” ia menggoyangkan baju abayanya.

Haidar langsung menoleh padanya. “Gak usah ikut campur.”

Wanita berkerudung putih—ibu Vita, tampaknya—ikut bersuara. “Sepupu kamu itu cuma ngingetin. Kok jawabannya gitu?”

“Saya tahu batas saya. Dan saya tahu apa yang harus saya lakukan,” jawab Haidar datar.

“Sudah, sudah... ayo masuk dulu,” sela Soraya, merangkul Emily. “Makan dulu, ya, Sayang. Kamu pasti lapar.”

“Iya, Tante—eh, Mama,” sahut Emily pelan.

Soraya tersenyum. “Pelan-pelan juga boleh, panggilnya,” ujarnya sambil menggiring Emily masuk ke ruang makan.

Haidar menyusul mereka, sementara kerabat-kerabatnya mulai saling bisik-bisik di teras. Kebetulan teras depan itu dijadikan ruang tamu. Lengkap dengan sofa dan meja.

Setibanya di ruang makan, Soraya menata piring dan menyajikan makanan yang baru matang.

“Maaf, Sayang. Mama gak bisa jagain kamu terus tadi. Tapi kamu hebat,” ucap Soraya pelan di telinga Emily.

Emily mengangguk. “Gak apa-apa, Ma. Aku tahu, mereka pasti menilai. Aku juga tahu aku belum sempurna. Tapi... aku juga gak mau pura-pura jadi orang lain hanya buat diterima.”

Soraya memeluk bahunya. “Mama bangga.”

Haidar datang membawa gelas. “Minum dulu,” katanya sambil menyodorkan air.

Emily menerimanya dan menenggak habis, walau tenggorokannya terasa perih.

Saat mereka mulai hendak makan, tiba-tiba Vita kembali muncul dan duduk di samping Haidar. “Bang Haidar, kok makan gak ajak-ajak?”

Haidar mengepalkan tangan, mencoba menahan diri.

Emily menghela napas, lalu mengambil sendok. Tapi baru saja akan menyuap, Vita bicara lagi.

“Bang Haidar, aku masih ingat, dulu..."

Haidar berdiri, lalu menghentakkan kakinya sampai kursinya bergeser. Bi Isur!” panggilnya.

Bi Isur muncul dari arah dapur. “Iya, Den?”

“Tolong bawa nampan. Kita mau makan di kamar.”

Vita menoleh cepat. “Loh, kenapa di kamar?”

“Suka-suka gue," jawab Haidar datar.

"Ish, ngapain di kamar. Justru lebih seru di sini, Ayang. Mungkin tante itu mau lihat kamu suapin aku pakai mulut. Biar tambah dramatis!” sahut Emily sambil tersenyum sinis, menatap Vita tajam.

Vita terdiam, ekspresinya tersengat. Vita memijit pelipisnya, lalu berdiri, meninggalkan Emily dan Haidar.

Saat makanan kembali dihidangkan, Emily menatap piringnya. Nafsu makannya entah ke mana.

“Ayo makan dulu,” ucap Haidar lembut.

Emily tersenyum hambar. “Saya kenyang.”

Haidar tak berkata-kata. Ia mengambilkan nasi dan lauk ke piring Emily dan meletakkannya pelan.

Emily menggenggam sendok, menatap piringnya. Dia makan dengan perlahan.

***

"Eh, kamu bukannya orang yang viral itu, ya?"

Bersambung

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!