Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.
Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.
Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.
Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 — Jaket yang Menyimpan Cerita
Alana terbangun saat menyadari suasana kelas sudah sepi. Ternyata, hanya dirinya dan Jendral yang masih ada di sana—Jendral masih setia duduk di sampingnya.
"Lo udah bangun? Yang lain udah pulang sepuluh menit yang lalu," ucap Jendral, memberi tahu dengan cara halus kalau jam pulang sudah lewat.
"Terus ngapain lo masih di sini?" tanya Alana. Ia lalu meraih sesuatu dari bahunya—jaket hitam. Sebelum sempat bertanya itu jaket siapa, suara Jendral sudah menyela.
"Gue takut lo diculik kalau gue ninggalin lo," jawab Jendral enteng.
"Jaket lo?" tanya Alana, sambil menyerahkan jaket di tangannya kepada Jendral tanpa menanggapi perkataan lelaki itu.
Lagipula, siapa yang mau menculiknya di sekolah? Tempat dengan penjagaan dua puluh empat jam penuh.
"Iya, jaket gue. Lo pakai aja dulu," ucap Jendral, lalu bangkit dari tempat duduk dan berjalan lebih dulu keluar kelas. Ia tidak berniat meninggalkan Alana—ia hanya ingin pergi lebih dulu agar Alana tidak memaksa mengembalikan jaket.
Alana memandang jaket itu sejenak, lalu menurunkan tangannya. Ia mulai merapikan barang-barangnya dan menyusul Jendral, jaket itu tetap berada di tangannya.
"Lo bawa aja jaketnya, gue nggak butuh," ucap Alana, tidak tertarik meminjam jaket Jendral. Jika tadi ia tidak tertidur, ia pun tidak akan mau mengenakan jaket itu.
Tiba-tiba, Jendral menghentikan langkahnya, membuat Alana yang sedang mengejarnya nyaris menabrak tubuhnya. Untung saja, ia berhasil berhenti tepat waktu.
"Ck, lo kenapa berhenti mendadak sih?" tanya Alana kesal.
Jendral berbalik, menatap Alana dengan serius. "Lo nggak bisa balikin jaket itu sekarang. Lo harus cuci dulu, soalnya lo ngiler di jaket gue."
Perkataan itu sukses membuat Alana mengatupkan mulutnya. Ia tidak bisa menyangkal karena memang tertidur tadi, dan ia sendiri tidak tahu apakah benar dirinya mengiler atau tidak.
Jendral tersenyum tipis. "Cuci dulu, baru lo balikin ke gue," lanjutnya. Sebenarnya, Alana tidak benar-benar mengiler. Ia hanya berbohong agar Alana bersedia membawa jaketnya—dengan harapan, besok atau mungkin lusa, mereka memiliki Alasan untuk saling bicara.
"Oke, gue bawa dulu jaket lo," ucap Alana akhirnya menyerah, lalu berjalan pergi meninggalkan Jendral sambil membawa jaket lelaki itu.
Jendral bersorak dalam hati. Alana akhirnya mau juga membawa pulang jaketnya. Hal sekecil itu saja sudah cukup membuatnya senang—apalagi jika suatu hari nanti cintanya diterima oleh Alana.
***
Jaket milik anggota The Rogues bukan sembarang jaket. Ada ciri khas tersendiri yang membuatnya mudah dikenali—potongan, emblem, dan detail hitam pekat yang tidak ditemukan di pasaran. Jadi, begitu Alana lewat sambil menenteng salah satunya, mereka langsung tahu: itu milik Jendral, ketua mereka.
"Buset, udah deket aja? Itu jaket Jendral, kan?" bisik Aska kaget melihat jaket Jendral ada di tangan Alana. Ia sengaja tidak mengatakannya langsung di depan Alana. Bukan karena sopan—namun murni karena takut dihajar.
"Iya, itu emang jaket Jendral," Dewa membenarkan tanpa ragu.
Mereka belum juga selesai mencerna fakta bahwa Alana membawa jaket ketua geng, kini mata mereka menangkap pemandangan lain—Alana mencium jaket itu. Sekilas, cepat, tapi cukup jelas.
"Dicium dong jaketnya!" seru Dewa hampir berteriak.
Refleks, Aska langsung menutup mulut Dewa dengan tangannya. Kalau sampai Alana dengar, nasib mereka bisa tamat di tempat.
"Ngapain kalian di sini?" Kejutan lain menyusul. Jendral muncul dari belakang mereka dengan wajah datarnya, mengejutkan mereka yang sedang fokus menatap kepergian Alana.
Dewa menyingkirkan tangan Aska yang menutup mulutnya, lalu menatap Jendral seolah siap menginterogasi ketua mereka itu.
“Di mana jaket lo?” tanya Dewa, menyadari Jendral tidak mengenakan jaketnya.
“Kenapa?” Jendral malah membalikkan pertanyaan tanpa menjawab.
“Jaket lo dibawa Alana, kan? Tadi gue sama yang lain lihat dia bawa jaket lo. Dan lo tahu apa lagi yang kita lihat? Alana nyium jaket lo!” serunya, menyampaikan semuanya sekaligus.
Jendral tersenyum. Bukan karena Alana mencium jaketnya, tapi karena ia tahu alasan di balik tindakan itu. Dan yang jelas, semua tidak seperti yang dipikirkan anggota gengnya.
“Cuma jaket yang dicium, kenapa heboh banget sih?” ucapnya santai, lalu berjalan lebih dulu meninggalkan gengnya yang masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi.
“Malah kabur, lo utang cerita, woy!” seru Dewa sedikit berteriak.
Berbeda dengan Dewa, Mahen dan Aska memilih mengejar Jendral tanpa banyak bicara. Mereka sama penasarannya, tapi masih bisa mengontrol diri.
“Ck, malah ditinggalin lagi gue,” gumam Dewa, lalu segera bergegas menyusul yang lain.
"Jendral, ini serius lo nggak mau cerita?" Dewa masih berusaha menginterogasi. Ia ingin semuanya jelas agar rasa penasarannya terjawab.
"Nggak ada yang perlu gue ceritakan," sahut Jendral, sama sekali tidak berniat membagi kisah apa pun.
Lagipula, sejak kapan The Rogues menjadi geng yang terbiasa berbagi cerita secara mendalam mengenai urusan perempuan? Selama ini, yang mereka bahas hanya sebatas gue suka ini, gue suka itu—tanpa pernah masuk ke rincian.
"Ya… Bukannya waktu istirahat pertama lo galau karena Alana udah punya pawang? Terus?"
"Terus apa?" tanya Jendral, tidak mengerti arah pertanyaan.
"Terus kenapa sekarang tiba-tiba Alana bawa jaket lo dan nyium jaket itu?" Dewa memperjelas dengan nada frustrasi. Ia merasa kesal berbicara dengan Jendral yang tiba-tiba saja lambat menangkap maksudnya.
"Udah dulu deh, lebih baik sekarang kita bahas hal lain," ucap Aska menengahi. Karena ia juga memiliki sesuatu yang harus dibicarakan dengan gengnya, terutama Jendral.
"Bahas hal lain apa? Jendral belum jawab pertanyaan gue!" Dewa memberikan peringatan karena pertanyaannya belum dijawab, tetapi Aska sudah menyelanya.
"Masih tentang Alana sih, dia habis ke kelas gue dan mempermalukan anak orang," jelas Aska.
Perkataan Aska barusan membuat Jendral tertarik dan menghentikan langkahnya, menatap Aska.
"Apa maksud lo?" tanya Jendral tidak mengerti.
Tanpa banyak menjelaskan, Aska langsung mengambil ponselnya dan menunjukkan rekaman video Alana kepada teman-temannya.
"Dia habis bales murid yang bully Nisya," jelas Aska sambil memperhatikan ekspresi teman-temannya yang serius menonton video tersebut.
"Dan kalian tahu apa yang bikin gue speechless? Nggak ada yang negur dia, bahkan guru cuma diem ngeliatin," tambahnya.
Jendral, Mahen, dan Dewa saling bertatapan. Mereka juga dikenal sebagai murid nakal, tapi tak satu pun dari mereka cukup nekat untuk melakukan hal seperti yang dilakukan Alana—menampar, menjambak, dan mengancam seseorang di tengah pelajaran.
"Kalian lihat deh ending-nya. Dia ngeliatin gue dan nyuruh gue jangan ngerekam," ucap Aska saat video hampir mencapai bagian akhir.
Di akhir video yang Aska tunjukkan, keempat anggota geng itu merinding saat melihat Alana menatap ke arah kamera dan berkata dengan suara tenang, "Lo, murid baru. Jangan sembarangan video orang."
Hanya kalimat sederhana, diucapkan tanpa emosi, tetapi entah mengapa cukup untuk membuat bulu kuduk mereka berdiri.
"Gue nggak yakin itu Alana," gumam Jendral pelan.