Rio Tyaga hidup dalam kesialan bertubi-tubi. Ayahnya meninggal di penjara dan setelahnya ia hidup serba kekurangan. Ia mendapatkan uang untuk biaya sehari-hari dari taruhan Drag Race, balap motor liar. Saat itu tiba-tiba motornya hilang, ia kena tipu. Padahal uang jual-beli motor akan ia gunakan untuk hidup sehari-hari dan membeli motor bodong utuk balapan.
Di saat penelusuran mencari motor kesayangannya, Rio terlibat dalam aksi penculikan. Yang diculik oleh kawanan sindikat adalah temannya sendiri, gadis kaya yang populer di sekolah, Anggun Rejoprastowo. Rio berhasil menyelamatkannya dalam keadaan susah payah bertaruh nyawa.
Rio tadinya tidak terlalu kenal Anggun, namun setelah penculikan itu Anggun seakan begitu ketergantungan akan Rio. Tanpa Rio di sisinya ia bersembunyi di sudut kamar, seakan trauma dengan penculikan itu.
Walau benci, akhirnya orang tua Anggun membiarkan Rio si berandal mendampingi Anggun 24 jam 7 hari, termasuk saat Anggun ke sekolah.
Apakah Rio yang dingin akhirnya dapat luluh dengan kedekatan mereka? Bagaimana perasaan Rio sebenarnya? Dan Anggun, apakah memang ada perasaan cinta ke Rio atau hanya memanfaatkannya sebagai bodyguard saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang Anggun
Ini kisah sekitar sebulan yang lalu. Sebelum kejadian nahas itu terjadi.
BRAKK!!
“Nggun...”
“Aku kan udah bilang dari awal, aku mau yang limited edition! Limited Edition! Bagian mana otak kamu yang nggak loading aku ngomong apa? Atau kurang jelas kata-kata dari Limited Edition, Ikhsan? Jangan-jangan kamu nggak ngerti bahasa inggris? Edisi Terbatas!!” seru Anggun kesal.
Kemudian gadis itu duduk di kursinya kembali sambil menyilangkan kakinya dan memainkan ponselnya.
“Yang kamu buang itu lebih mahal dari-“
“Aku nggak peduli,” potong Anggun, “Tas yang kamu belikan barusan itu bisa aku beli sendiri,” kata Anggun
“Tas yang baru saja kamu buang itu harganya semilyar, gaji bapak kamu juga nggak bakalan bisa beli ginian,”
“Perjanjian tetap perjanjian, aku nggak tergiur harta dunia,”
Fine!” Ikhsan maju dan mengambil kotak tas dari tempat sampah, “Jadi apa mau kamu?”
“Aku tetap akan masuk menjadi kandidat nomor satu, perjanjiannya begitu kan?”
“Aku akan cari orang yang punya tas limited-“
“Waktunya sudah habis,”
“Apa?”
“Aku juga sudah bilang, hanya ada satu kesempatan. Besok sudah hari H, mau sampai kapan?”
“Aku akan usahakan sore ini-“
“Kalau kamu bisa usahakan sore ini dapat, kenapa tidak dari kemarin? Kamu kira aku bisa disogok untuk sebuah harga diri? No!”
“Anggun...”
“Nggak ada injury time, sertifikat itu milikku,”
“Aku bisa batal kuliah di Harvard kalau aku nggak rank 1! Posisi CEO akan direbut kakakku! Aku juga nggak akan bisa menempati posisi apa pun setelah itu! Ini berkaitan dengan masa depanku, Anggun. Kalau kamu kan tidak ditekan orang tuamu seperti aku!”
“Aku menimbang masalah CEO itu, keuntungannya bisa sejuta kali lipat dibandingkan tas limited editionku, jadi seharusnya mencari benda se-receh itu hal mudah untuk kamu kan? Tapi kamu bahkan tidak berusaha. Ya jadi kuanggap kamu juga tidak terlalu menginginkan posisi itu,”
“Hm, kamu yakin memperlakukan aku kayak gini?”
“Memang kamu siapa ku?” Anggun balik bertanya, “Kamu bukan siapa-siapaku. Untuk apa aku mengalah menyerahkan posisi rank atas untuk orang seperti kamu?”
“Oke, kalau kamu bersikeras. Semoga hari-hari kamu setelah ini baik-baik saja yaaa,” desis Ikhsan dengan senyum sinis dan berbalik keluar dari kelas itu.
“Bisanya menggertak,” gerutu Anggun sambil kembali fokus ke ponselnya.
“Nggun, kenapa sih lo nggak kasih aja posisinya?” tanya salah satu teman Anggun sambil takut-takut.
“Huh!” dengus Anggun sambil meletakkan ponsel di atas mejanya dan memeriksa kuku palsu panjangnya yang dihiasi permata. Di SMA Bhakti Putra, asalkan bisa mencapai prestasi dan nilai tertentu, diperbolehkan untuk berdandan lebih bebas daripada murid lain.
Namun ada juga anak-anak pemberontak yang bergaya asal-asalan padahal nilainya jeblok semua. Tetap saja ijazah yang akan keluar disertai keterangan ‘tidak memuaskan’ sehingga akan sulit mendapatkan rekomendasi ke universitas bergengsi.
“Dari sini kalian semua harus belajar dari aku ya,” dengan congkaknya Anggun berkata ke teman-temannya. “Pertama, tag harga dan sertifikat di tas yang dia bawa, talinya sudah dilepas dan dimasukkan ke kantong. Itu berarti tas itu milik seseorang, bukan dia beli langsung dari konter. Bisa jadi dia mengambil tas itu dari lemari seseorang, bukan beli sendiri. Dia bahkan rela ambil lagi tas itu dari tong sampah, jadi jelas tas itu dia curi dari orang lain. Kemungkinan sih punya ibunya. Ada lagi, tas seharga satu milyar, tidak pas dengan kotaknya. Terasa kopong saat ku angkat. Fix itu sih dia main asal ambil tanpa mikir,”
“Ooooh, gitu?”
“Yang kedua, anak kayak dia jadi CEO di perusahaan multinasional? Bisa hancur itu perusahaan. Kenapa dia tidak berikan saja sih ke kakaknya yang jelas-jelas punya pengalaman kerja lebih banyak? “
“Tapi kan itu bukan urusan lo Nggun,”
“Harusnya bokapnya berterima kasih ke aku,” Anggun tak mau kalah, “Yang ketiga, dia kemarin kasih tas limited edition yang kuminta ke Sasa,”
“Hah? Sasa kelas 11B?”
“Iya,”
“Waaah kasus!!”
“Aku sih tahu dia ada hubungan dekat dengan Sasa, aku cuma ngetes aja, seberapa besar ia butuh posisi ini yang katanya untuk kepentingan masa depannya, kalau dibandingkan dengan si Sasa itu. Ternyata tetap lebih tinggi posisi Sasa. Buat apa aku relakan, worth it nggak kalau aku bantuin dia? Nggak kan?!” Anggun dengan berapi-api menyampaikan argumennya.
“Bukannya lo cuma iri aja sama Sasa?” pancing temannya.
“Aku bisa dapetin cowok mana pun yang Aku suka, Aku cewek sempurna.”
“Takabur lo,” kekeh temannya.
Anggun hanya mengibaskan tangannya, tidak peduli, dan kembali sibuk dengan ponselnya. Ia tetap dengan jadwalnya semula, menjadi Peringkat 1 Nasional Semester Ganjil Tingkat Sekolah Menengah Atas. Biar saja si Ikhsan tetap jadi juara 3.
“Eh! Eh! Eh! Rio tuh Rio!!” seru temannya sambil setengah berlari ke arah jendela.
“Oemjiiiii !! Rio Tyaga gantengnya dirimuuuu ih gue pelet juga ni cowok!!”
“Dia kayaknya baru dibebasin lagi, kemarin ikutan tawuran kan ya? Menang katanya,”
“Iya itu tangannya diperban, udah pasti kena sabet cakram itu sih! Gilaaaak manly beneeer!”
“Lu liat nggak sih urat-urat di lengannya wuihhh machooooo! Duh panas euy!!”
Selagi teman-temannya sibuk mengelu-elukan objek di luar jendela, Anggun hanya kalem duduk di kursinya.
Namun diam-diam dia mengintip dari sela jendela.
Ya, dia setuju dengan teman-temannya, tapi dia gengsi mengakuinya.
Dia bisa mendapatkan cowok mana pun yang dia suka, kecuali Rio Tyaga. Si jawara sekolah.
Mau se-ngamuk apa ayahnya kalau sampai ia berhubungan dengan sampah masyarakat pecinta kriminal seperti Rio? Bisa-bisa diblacklist dari Kartu Keluarga dia.
Lagi pula, sepertinya Rio tidak tertarik dengan dirinya.
Masih teringat saat Anggun memenangkan kompetisi debat dengan lawan dari universitas negeri. Semua anak mengelu-elukannya, semua guru bangga padanya, sampai Guru Besar dari Universitas lawannya pun bertepuk tangan. Anak SMA bisa menang debat dengan anak kuliahan.
Tapi saat itu dari kejauhan, Anggun melihat Rio lewat.
Seakan tak peduli, Rio bahkan hanya menatap sekilas ke arah Anggun, lalu dengan cueknya berbelok ke kantin di tengah acara.
Ini acara bergengsi yang mengharumkan nama sekolah, bagaimana bisa ada anak yang tidak tertarik dan terlihat bosan?
Saat itu karena penasaran, Anggun nekat menemui Rio keesokan harinya, niatnya ingin bertanya apa yang salah dengan acaranya kemarin.
Belum sampai Anggun mendekat ke kelas Rio, ia sudah mendengar perbincangan cowok-cowok di dalam.
“Tetaplah yang nomer satu Anggun!”
“Itu sih No Debat! Lo liat dadanya! Montok gitu!”
“Udah feminin, kaya pula! Pinter lagi!”
“Yo! Kok lu nggak respon sih? Lo suka cewek yang gimana?!”
Anggun deg-degan menunggu jawaban dari Rio.
“Cewek kayak gitu, yang ada berantem mulu kalo pacaran. Keras kepala. Dia cantik, kaya, pinter... apa dia butuh cowok? Kayaknya nggak deh. Pas dia ulang tahun lo mau ngasih apa? Nyawa lo aje nggak berharga di matanya. Skip lah buat gue!”
Langsung jleb dijantung Anggun.
Dengan gemetaran dia langsung meninggalkan kelas Rio, lalu terisak di kamar mandi.
Rasanya hatinya terasa perih.
Namun tetap... seperti teman-temannya, sudah lama ia memendam perasaan terhadap Rio.
mewakili netijen