Dimana masih ada konsep pemenang, maka orang yang dikalahkan tetap ada.
SAKA AKSARA -- dalam mengemban 'Jurus-Jurus Terlarang', penumpas bathil dan kesombongan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKSARA 8
Melalui video yang tersebar, pengurus sekolah jadi mengetahui siapa saja yang terlibat dalam perkelahian yang menyebabkan kekacauan kondisi kelas.
Kelas sebelas, Jurusan Teknik Gambar Bangunan, kelas yang hampir 50 % isinya para murid pembuat onar.
Bagusnya tidak ada skorsing, karena jika itu diberlakukan, minimal selama masa hukuman, kelas akan sangat sepi. Jumlah yang terlibat hampir separuh jumlah murid di kelas itu.
Pada akhir yang diberlakukan adalah, para berandalanーtermasuk Saka Aksara, dihukum membersihkan seluruh lingkungan sekolah selama satu minggu penuh, pada jam istirahat. Jadi yang jajan, sambil nyapu.
Video yang tersebar diminta hapus, langsung di depan guru yang bertugas, siapa yang ketahuan masih menyimpan akan diancam fatal. Semua demi citra sekolah di mata umum.
.
.
Malam ini selepas isya, Saka mengunjungi sebuah tempatーtempat yang baru dia temukan tiga hari lalu.
Sebuah bangunan sekolah taman kanak-kanak, terletak beberapa puluh meter dari kediamannya.
...🏡ᴛᴋ ᴄᴇʀɪᴀ🏡...
Tidak ada gerbang mengelilingi, hanya tanaman pucuk merah yang terawat membentuk bulatan menghias sekeliling tepi.
Bangunan yang sederhana dengan sebuah lapangan kecil tempat olahraga atau lainnya di halaman depan. Dan di bagian samping, tempat para murid bermain dengan beberapa wahana sederhana seperti TK pada umumnya. Bangunan sekolah ini berdampingan dengan satu bangunan kecil lainnya bertulisan: ᴘᴏsʏᴀɴᴅᴜ ᴋᴀɴɢᴋᴜɴɢ
Saka ada di sana sekarang, di area wahana bermain TK, tidak di posyandu kangkung.
Bergelantungan di wahana besi dengan posisi lutut terkait sedang kepalanya terjuntai ke bawah dan kedua tangan bersilang di depan dada. Posisi itu cukup membuat pegal dan sakit bagi orang lain, namun justru dijalani Saka tanpa berniat mengurangi jumlah hitungan yang dia tentukan.
“97 ... 98 ... 99 ... 100!”
HAP!
Hitungan terakhir menjadi batas kegiatannya. Dua kaki bersepatu kets sudah mendarat tanpa cela, di atas rumput merata hijau.
“HUFFTTT!”
Napas ditarik dan diembus kasar untuk menstabilkan diri.
Sebelumnya beberapa gerakan pemanasan dia lakukan, seperti squat jump, push up dan merentang tangan berulang kali. Yang barusan saja mungkin menjadi akhir dari apa yang dia lakukan di tempat ini. Setelah itu dia akan lari mengelilingi lapangan sampai tak sanggup lagi.
Sejenak beristirahat, lesehan di atas rumput yang tidak basah, tidak ada hujan sejak seminggu lalu.
Saat tegukan ketiga air putih yang dibawanya di dalam botol berwarna ungu, ponsel yang digeletakkannya di atas ayunan berdering nyaring.
Saka berdiri, berjalan sedikit ke arah ayunan meraih ponsel, lalu melihat siapa gerangan penelepon yang mengusiknya.
Ternyata bukan pengusik, nama yang terpampang malah membuatnya tersenyum.
“Halo, Bang! ... Wa'alaikum salam.” Dia menerima dengan suara gembira, sembari duduk di atas ayunan.
“....”
“Ini Saka abis gelantungan di besi,” katanya, menyahuti lawan bicara. “Gegara pindah ke sini, Saka jadi gak bisa pake besi gelantungan di belakang rumah Bang Faaᴢ lagi.”
Obrolan Saka dan lawan bicara yang dia sapa Bang Faaz itu terdengar ringan, diselipi kekehan-kekehan Saka yang renyah dalam beberapa menit. Sampai pada titik dimana anak ini bicara dengan raut berganti serius, “Umm ... Bang ... kayaknya semua yang Abang ajarkan sama Saka, mulai berguna sekarang.”
“....”
“Iya. Saka jadi kayak tukang pukul di sekolah.”
“....”
“Gak ngerti. Mereka normal di satu sisi dan aneh di sisi lain.”
“....”
“Saka terpaksa lawan karena pembullyan-nya udah tahap paling parah. Itu gak akan apa-apa, 'kan?"
“....”
Cukup panjang lawan bicara menanggapi, ada wejangan sederhana juga di dalamnya.
"...."
Saka tertegun sesaat, lalu ... "Biarpun kedengerannya agak serem, Saka usahakan, Bang.”
"...."
"Iya, Bang, pasti. Pasti nanti Saka sempetin kunjungin Bang Faaz ke sana kalo liburan. Sekarang Saka mau lari, terus pulang." Sekilas dia menengok jam di pergelangan tangan. "Telat dikit Mama pasti ngomel kek petasan, nuduh Saka godain mbak-mbak seblak lagi kayak kemaren."
“...."
“Oke, Bang. Wa'alaikum salam.”
.
.
Dua hari kemudian ....
Walaupun telah banyak anak di dalamnya, kelas terasa hening saat Saka memasuki ruangan itu. Personel Trio Kalajengking hanya ada Alvian Hendra atau Piang, anak itu merunduk, juga tak ingin menatap Saka. Dua lainnya entah kemana.
Sembari jalan menuju bangkunya dia mengamati raut-raut mereka. Tidak satu pun pandang mengarah padanya. Mereka sedang menghindar.
"Bodo amat ah!" Memutuskan demikian, dia tersenyum, ditujukan pada Ibrahim yang ternyata sudah masuk walaupun wajahnya masih tak memungkir apa yang dialami anak itu beberapa hari lalu.
"Lu udah baekan, Im?"
Ibrahim mengangguk tipis saja, lalu membuang wajah pada deretan tulisan di buku yang sedang ... entah sungguh dibacanya atau tidak.
Saka menghela napas. "Buku lu kebalik, Im."
Ibrahim melengak kemudian gelagapan. "Ah, i-iya." Membalik bukunya dengan segera.
Saka menatapnya mendalam untuk menilai sikap macam apa yang diperankan Ibrahim tersebut.
"Lu kenapa? Takut sama gua?" Walaupun telah tahu jawabannya, Saka tetap merasa perlu bertanya.
Pertanyaan itu sebenarnya wajar bagi Ibrahim, tapi dia seperti baru saja mengangkat beban yang sangat berat. "Ng ... Nggak kok!" sangkalnya.
Tentu saja dia berbohong.
Saka mendesah kasar kedua kali sembari membenturkan punggung ke sandaran kursi. "Gua cuma bela diri, Im. Gak ada yang menakutkan dari sikap semacam itu."
Ibrahim menolehnya dengan kaku, lalu bertanya pelan, “Lu ... ahli beladiri?”
Saka menampik, “Nggak, bukan. Maksud gua ... bela-diri, Im, ngebela diri, bukan beladiri silat-silatan."
“Tapi lu lawan mereka semua!” sambar Ibrahim. “Lu kalahin juga. Sendiri!”
Saka mendengus sembari mengusap hidung. “Soal itu, gua cuma belajar dasar aja buat jaga-jaga.”
Wajah dan jawaban Saka, Ibrahim menyangkalnya di dalam hati, “Bohong!” Dia memakai penilaian sesuai logika dan fakta yang menyembul. “Ngalahin sembilan orang terbaik geng Kalajengking di rumah kosong, plus numbangin belasan orang di kelas ... cuma sendiri.”
Tentu saja dia skeptis saat Saka mengatakan dirinya bukan seorang ahli. Sampai akhirnya Ibrahim terpikirkan sesuatu. "Umm ... Sak ...."
"Ya, Im." Saka menanggapi sembari mengeluarkan sebuah buku dan teman-temannya dari tas. Raut Ibrahim yang ragu mendorongnya untuk bertanya, "Ada apaan?"
Mata Saka ditatap Ibrahim mendalam, ada pengharapan besar di baliknya. "Umm ... bisa gak, lu ... ajarin gua beladiri ... umm, maksud gua, beladiri dasar yang lu bilang tadi? ... Gua ... gua juga buat jaga-jaga.”
Saka melengak dan terkejut. "Gua ...? Ngajarin?!" Sembari menunjuk wajahnya sendiri, lalu dengan rusuh mengibas-ngibas tangan di depan dada. “Kagak, kagak! Kagak bisa, Im! Lu mending ikut ekskul taekwondo aja!”
.
.
Pulang sekolah.
Saka terheran, semua anak berhambur cepat. Dalam sekejap sekolah langsung kosong.
Keheranannya terjawab setelah mendengar obrolan anak perempuan yang kebetulan baru keluar.
"Oh, ternyata ada konser," gumamnya, manggut-manggut.
Ya, konser band indi gratis di sebuah tanah lapang tak jauh dari sekolah.
Tapi Saka tak punya minat. Level musiknya sekelas aliran gothic dan semar mesem.
Saat melewati lapangan basket, pandangan Saka tercuri oleh seorang gadis yang berjalan sendiri di lorong kelas yang sudah kosong, menuju arah yang sama dengannya.
"Dia gak pake seragam, siapa, ya?” gumam Saka, bertanya pada diri sendiri. Sialnya, matanya terus tertarik untuk mengamati secara dekat. Sekarang terlihat gadis dengan setelan muslim itu duduk di tepi lapangan basket.
"Eh, buset! Kok nangis?"
Terdorong hati, Saka menghampirinya bergegas, siapa tahu cewek itu butuh bantuan, pikirnya.
Menyadari ada yang datang, buru-buru gadis itu mengusap air matanya dengan sapuan jari.
"Ada ... yang bisa dibantu?" Saka ragu bertanya.
Wajah dengan sisa basahan di pipi itu mendongak pada Saka. Untuk beberapa saat dia diam dan begitu saja.
Saka jadi nge-blush, tak nyaman ditatap dengan cara seperti itu. "Maaf, aku cuma tanya aja kok. Siapa tahu kamu butuh bantuan. Tapi kayaknya nggak," katanya dengan cengiran sumbang. "Ya udah, aku permisi, ya."
Saat berbalik badan untuk berlalu, gadis itu buka suara, “Kamu kenal Gege Wangsa? Murid kelas 12 yang meninggal di sekolah ini enam bulan lalu?”
sama-sama beresiko dan bermuara pada satu orang.. yordan..
🙏