Rinjani hanya ingin hidup tenang.
Tapi semua hancur saat ia terbangun di kamar hotel bersama pria asing. Dan beberapa jam kemudian mendapati kedua orang tuanya meninggal mendadak.
Dipaksa menikah demi melunasi utang, ia pingsan di hari pernikahan dan dinyatakan hamil. Suaminya murka, tantenya berkhianat, dan satu-satunya yang diam-diam terhubung dengannya ... adalah pria dari malam kelam itu.
Langit, pria yang tidak pernah bisa mengingat wajah perempuan di malam itu, justru makin terseret masuk ke dalam hidup Rinjani. Mereka bertemu lagi dalam keadaan tidak terduga, namun cinta perlahan tumbuh di antara luka dan rahasia.
Ketika kebenaran akhirnya terungkap, bahwa bayi dalam kandungan Rinjani adalah darah daging Langit, semuanya berubah. Tapi apakah cinta cukup untuk menyatukan dua hati yang telah hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Keke Utami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Perjodohan
“Dad?!” serunya tak percaya.
“Why?” tanya Evan, menatap putra ke tiganya, tenang namun tegas, “Bukannya itu bagus? Kamu nggak perlu lagi gonta-ganti pasangan dengan alasan nggak cocok.”
“Iya Langit, kamu juga udah kenal Nafa dari kecil,” Olivia menimpali.
Langit menghela napas, ia menoleh ke arah Nafa yang diam, terlalu tenang untuk sebuah perjodohan, “Emangnya Nafa mau sama aku?” tanyanya, berharap diamnya Nafa adalah sebuah penolakan.
“Nafa setuju,” jawab Olivia tenang.
“Fa, kamu nggak mau ngomong sesuatu? Kalau kamu nggak setuju, Mas nggak masalah.”
Nafa mengangguk dengan wajah tenang, “Aku … aku setuju kok, Mas,” ujarnya lirih.
“See?” ujar Evan sambil menyandarkan punggungnya di kursi.
“Pernikahan kalian akan dilangsungkan setelah Nafa wisuda. Kalian punya waktu untuk saling mengenal,” imbuh Olivia.
“Udah kenal kali, Ma,” gumam Langit malas.
“Beda. Sekarang kamu harus ubah sudut pandang kamu ke Nafa. Bukan sebagai adik lagi. Tapi calon istri,” tegas Olivia.
Langit kembali menghela napas, “Iya, Ma. Iya ….”
**********
“Non, mau ke mana?”
Rinjani yang baru keluar dari kamar terlihat rapi dengan blouse dan totebag di bahu. Ia terlihat ingin pergi.
“Aku mau cari kerjaan, Bi. Darren jelas nggak akan lunasin utang itu gitu aja. Dan aku juga butuh pegangan untuk kehadiran anak ini.”
Sulis menatap prihatin, “Semangat ya, Non. Bibi doain urusan Non dimudahkan.”
Rinjani tersenyum singkat, “Makasih, Bi. Aku pergi dulu.”
Langkah Rinjani mulai meninggalkan kontrakan sederhana itu. Ia belum tahu ke depannya akan seperti apa. Namun ia selalu berharap pada setiap pintu toko yang ia lewati, ada satu jalan yang terbuka untuknya.
“Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?”
Toko pertama, toko roti yang manis dan wangi yang ia datangi.
“Saya lihat di depan ada lowongan,” ucapnya Ragu.
“Boleh saya lihat kartu identitasnya?”
Bergegas Rinjani mengeluarkan kartu pengenal, menyerahkan kepada karyawan toko.
Setelah melakukan pengecekan dan adanya percakapan singkat lewat telepon. Karyawan itu menggeleng, “Maaf, sudah penuh.”
Rinjani terlihat kecewa, satu toko gagal. Namun ia tidak boleh menyerah. Ada banyak toko di kota ini, dan ia berharap semoga keberuntungan berpihak kepadanya.
***
Waktu terus merangkak hingga petang. Sudah terhitung belasan toko yang Rinjani datangi, namun tidak ada satupun yang menerimanya.
Lelah berjalan, Rinjani terduduk lemas di depan sebuah ruko kosong. Perutnya berbunyi, ia hanya sarapan tadi pagi, dan sudah melewatkan makan siang.
Di seberang jalan, ia melihat seorang ibu mencuci piring di warung makan. Lalu menerima uang dari pemilik warung.
Rinjani diam sejenak. Kalau memang tidak bisa mendapatkan pekerjaan resmi. Mungkin pekerjaan kasar tidak masalah. Yang penting halal.
Dengan sisa tenaga, Rinjani menyeberang.
“Mau beli makanan apa, Mbak?” tanya pelayan warung.
“Saya … saya nyari kerja, Mbak. Apa aja saya butuh uang,” suara Rinjani bergetar, menahan malu, rasanya ia ingin menangis. Padahal dulu ia adalah tuan putri yang tinggal di rumah mewah, berbanding terbalik dengan kondisinya sekarang.
Pelayan itu memintanya menunggu, lalu pergi ke dalam. Tidak lama kemudian, ia kembali bersama pemilik warung.
“Kamu bisa ngulek sambal?”
Rinjani mengangguk cepat, “Bisa.”
“Ayo ke dapur. Kita butuh orang sekarang.”
Tanpa berpikir panjang, Rinjani menuju dapur. Duduk bersila. Tangannya yang halus sibuk mengupas bawang dan mengulek cabai. Matanya perih, air matanya menganak. Bukan aroma bawang yang membuatnya menangis. Namun kenyataan yang menimpanya sekarang.
*************
Sementara itu, Langit masuk ke ruangan VIP di sebuah klub malam.
“Ngajak ngumpul tapi paling ngaret,” ledek salah seorang temannya.
Langit mendengus, “Baru juga sejam,” sahutnya tanpa rasa bersalah.
Ia duduk dan merasa ada yang kurang, “Darren mana? Jangan bilang lagi honeymoon?”
Teman yang lain angkat bahu, “Nggak tahu, nggak kelihatan tanda-tanda lagi honeymoon.”
“Masih sibuk di kantor, hari pertama jadi pasutri aja dia udah meeting di kantor gue.”
Teman-teman yang lain hanya menerka-nerka. Langit memilih tidak ambil pusing. Ia tahu siapa Darren. Meski ia menyayangkan wanita yang menjadi istri sahabatnya itu.
Pintu terbuka. Semua menoleh.
“Sorry telat!” Darren akhirnya datang dengan wajah kusut.
“Kusut amat tuh muka. Habis berapa ronde sampai nggak tidur?” candaan ringan itu memancing tawa. Termasuk Langit yang ikut tertawa ringan. Namun Darren justru berdecak, menegak wine dari botol besar. Matanya kosong. Tawa yang lain seketika berhenti saat melihat ekspresinya.
Langit hanya memandangi Darren tanpa bicara. Ada yang lain. Namun ia tidak ingin ikut campur.
*********
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Rinjani bersiap untuk pulang, setelah menerima upah yang tidak banyak, dan sebungkus nasi hangat. Namun ia tetap bersyukur.
“Besok kalau mau kerja lagi. Datang pagi, ya. Saya butuh orang buat cuci piring,” ujar pemilik warung.
“Iya, Bu. Terima kasih banyak, saya pulang dulu,” balas Rinjani tulus meski wajahnya begitu lelah.
Sepanjang jalan menuju kontrakan, langkahnya sering tertahan, perutnya keram.
“Aduh …” ia menepi duduk di halte, jarak kontrakan tidak terlalu jauh, hanya perlu menyeberang dan memasuk ke gang sempit yang ada di seberang sana.
“Aduh … ini kenapa, ya?” Rinjani meringis, ia meringkuk, tangannya gemetar membuka air mineral dari plastik. Ia meneguknya dengan perlahan, sampai rasa nyeri di perutnya membaik.
Setelah rasa nyeri agak reda, Rinjani kembali melanjutkan langkah. Ia berdiri dan hendak menyeberang. Namun karena terlalu lelah dan agak pusing, ia tidak memperhatikan sekitar, hingga sorot dari lampu sebuah mobil membuatnya tersentak. Ia berteriak.
“Aakkkhh!!!”
Bruk!