Seorang gadis terpaksa menjual dirinya seharga seratus juta demi membiayai kakak kandungnya yang terbaring koma di rumah sakit.
Menjadi rebutan para lelaki hidung belang, Lily si gadis cantik seharga seratus juta itu tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan jatuh ke tangan William, bos mafia yang digilai banyak wanita.
Dengan hal itu, si gadis seratus juta bisa mendapatkan lebih dari apa yang dia minta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ade Annisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENAWARAN
Lily yang masih bingung terus mengekori pria bule yang melangkah gontai di hadapannya, mereka berada di koridor hotel yang gedungnya memang menyatu dengan club malam yang beberapa saat lalu menjadi tempat pertama mereka bertemu, tapi yang membuat perempuan itu teramat heran, kenapa pria bernama William itu mengenal namanya. Dan memanggilnya My Lily, seperti panggilan sayang yang telah lama mereka sepakati.
Bertemu saja baru pertama kali, bagaimana mungkin punya panggilan sayang seperti itu, pikir Lily.
Lily nyaris menabrak tubuh di hadapannya saat pria tampan itu tiba-tiba menghentikan langkah, dia mendongak.
"Jika kau ingin pergi, pintu keluar di sebelah sana," ucap William dengan mengangkat tangannya yang membuat perempuan di hadapannya itu mengerjap bingung.
Eh, gi, gimana? Aku disuruh pulang? baik sekali pria ini.
Lily menggeleng, "bukankah kau berjanji akan membeliku sebanyak apa yang aku mau?" tanyanya.
Tanpa memalingkan pandangan dari wajah perempuan di hadapannya, William merogoh saku celana untuk mengeluarkan ponsel dari sana, sesaat pria bule itu fokus pada benda di tangannya, menuliskan sesuatu dan menyodorkan pada gadis itu.
"Tulis saja berapa yang kamu mau, dan juga nomor rekening mu," ucap William santai, seolah gadis di hadapannya itu perempuan yang telah lama ia kenal.
Lily menggeleng, "aku tidak bisa menerimanya jika tidak memberikan apa-apa," ucapnya yang langsung mendapat protes dari dirinya sendiri.
Bodoh kau Lily, seharusnya kau iya kan saja, ya ampuun.
William menatap gadis di hadapannya dengan tersenyum geli, pria itu melipat lengannya di depan dada. "Memangnya apa yang dapat kau berikan padaku?" tanyanya.
Lily jadi salah tingkah, bukankah seharusnya pria itu tau dia membelinya untuk apa, gadis itu tidak berani menatap wajah William yang sepertinya menunggu jawaban.
Untuk apa lagi, tentu saja untuk ditiduri, memangnya apa lagi? Pria ini maksudnya apa sih.
"Bukan kah setelah membeli, kau berhak atas diriku?" tanya Lily hati-hati.
William sedikit berpikir, perempuan di hadapannya itu sepertinya bukan wanita sembarangan, dari caranya menyikapi sesuatu terlihat sekali dirinya begitu elegan.
"Jika itu maumu, baik lah, ikut denganku." William kembali melangkah menuju sebuah kamar yang sering ia tempati.
Di belakangnya Lily terus merutuki kebodohannya sendiri, kenapa dia tidak memilih mengambil uang saja kemudian pergi. Siyal.
Apa sih yang kamu pikirkan Ly, Ya ampun bodoh sekali aku ini.
William membuka pintu kamar dengan kartu yang ia miliki, menoleh pada gadis itu yang dengan cepat melangkah masuk ke dalam kamar yang tidak berpenghuni.
Lily merasa takjub dengan dekorasi kamar hotel di tempat itu, begitu luas dengan barang-barang mewah yang tertata rapi, perempuan itu menghampiri ranjang dan duduk di sana.
Seperti kamarku di rumah yang disita dulu, nyaman sekali.
Mendapati seseorang berdiri di hadapannya, gadis itu kemudian mendongak, dan sedikit menghindar saat gerakan membuka baju pria itu membuat jantungnya berdebar-debar.
Akan terlihat bodoh jika aku bertanya dia mau apa, tapi setiap gerakan pria itu selalu saja membuatku merasa takut.
"Aku mandi dulu," ucap William setelah meletakkan ponsel dan dompetnya di atas meja, pria itu kemudian melangkah ke kamar mandi.
Lily menghembuskan napasnya dengan perlahan setelah sesaat barusan sempat ia tahan, baru kali ini perempuan itu melihat secara langsung seorang pria bertelanjang dada di hadapannya, kecuali ayah dan kakak kandungnya sendiri, dan hatinya tiba-tiba berdesir.
Saat gemercik air mulai terdengar oleh perempuan itu, dia beranjak berdiri, menggigit ujung jarinya gusar dan berpikir apa yang akan dia lakukan setelah ini.
Lily melihat dompet pria itu yang tergeletak di atas meja, dan kemudian mendekatinya. Dengan sedikit ragu ia membuka benda itu dan memeriksa isinya.
Dengan cepat perempuan itu menutup kembali benda di tangannya, namun yang membuatnya penasaran dan kembali membuka adalah dua foto seorang wanita dengan wajah yang berbeda.
Mungkinkah ini foto istri pria itu, tapi jika mungkin istrinya, bagaimana bisa dia mencari kepuasan di tempat seperti ini. Istrinya begitu cantik, Lily menarik salah satu foto yang ternyata bertuliskan my wife di baliknya, kemudian meletakkan lagi, oh ini benar istrinya, pikir gadis itu. Dan satu foto lagi yang dapat dia tarik membuatnya sedikit terkejut, tulisan My Lily tertera di sana.
Suara gemericik air yang berhenti membuat Lily dengan cepat meletakkan kembali benda itu di atas meja, setengah berlari untuk duduk di tempatnya semula.
William yang telah selesai membersihkan diri, segera keluar dengan jubah mandi yang membungkus tubuh polosnya, rambut basah pria itu sesekali berjatuhan ke lantai, begitu **** hingga membuat jantung Lily berdebar-debar.
Ya ampun tampan sekali, ah Lily apa yang kau pikirkan.
William yang mendapati letak dompetnya sedikit bergeser kemudian menghampiri benda itu, tidak ada yang hilang saat ia memeriksa isinya, namun tetap saja, pria itu menganggap bahwa gadis yang bersamanya sudah terlalu lancang membuka isi dompetnya.
Wajah Lily begitu pucat saat William mengarahkan tatapan dingin pada perempuan itu, dia kemudian beranjak berdiri.
"Maaf tapi aku tidak bermaksud apa-apa," ucap Lily sedikit ketakutan, gadis itu melangkah mundur saat pria bernama William dengan perlahan semakin mendekat. "Ka, kau mau apa?" tanyanya hati-hati.
William membuka dompetnya, mengeluarkan beberapa kartu dari sana, kemudian meraih tangan gadis itu dan meletakkan benda yang ia gemgam di tangannya, "barang-barang berhargaku sudah kuambil, jika kau ingin pergi, pergilah."
Lily menggenggam dompet William –yang terdapat ribuan dolar di dalamnya– dengan tangan sedikit gemetar, gadis itu memejamkan mata.
Lari Ly, ayo cepat lari, serunya dalam hati.
"Tidak!" Lily berucap mantap, mengembalikan dompet di tangannya pada pria yang semakin mengerutkan dahi di hadapannya, harga dirinya sudah cukup jatuh dengan niatan menjual kehormatan, tidak boleh ditambah lagi dengan menjadi pencuri juga, begitu pikirnya.
"Untuk apa kau membuka dompetku?" tanya William dengan tatapan yang masih dingin, dan Lily semakin menunduk.
"Maaf," sesal gadis itu.
William melengos, kembali memasukkan kartu-kartu di tangannya ke dalam dompet miliknya itu, kemudian menghampiri meja dan meletakkannya di sana, setelah itu dia berbalik. "Siapa namamu?" tanya William dengan mengeratkan ikatan jubah di perutnya.
Lily mendongak, "bukan kah kamu sudah tau namaku?" gadis itu balik bertanya.
"Lilyana, itu namamu?" William bertanya memastikan.
Lily mengangguk, "kamu bisa memanggilku Ana," sarannya.
Dan pria di hadapannya itu kemudian menggeleng, "aku ingin memanggilmu Lily," ucapnya dengan raut wajah yang menghangat saat menyebutkan nama itu.
Entah kenapa Lily merasa hatinya memanas, dia tidak rela jika harus disamakan dengan nama perempuan di dalam dompet pria itu, dia ingin menjadi dirinya sendiri di hadapan William.
"Bagaimana?"
Seruan itu membuat Lily sedikit terhenyak, entah sejak kapan pria itu sudah berdiri di hadapannya, dia tidak sadar telah melamun, "A, apa?" tanyanya tidak mengerti.
Lily yang reflek melangkah mundur, menabrak sisi ranjang dan jatuh terduduk di atas kasur, sedikit gemetar saat William mendekatkan wajahnya, dan berpaling adalah satu-satunya cara agar dirinya bisa bernapas dengan benar.
"Dari mana kita akan memulai?" tanya William dengan meletakkan tangannya di tengkuk perempuan itu hingga membuatnya sedikit mendongak.
Lily merasa jantungnya terlepas saat sesuatu yang terasa lembut menyentuh permukaan bibirnya, lutut William yang bertumpu pada kasur membuat benda itu sedikit melesak, dan gerakan-gerakan menyerang dari bibir pria tampan itu menuntunnya untuk berbaring di atas ranjang.
William nyaris melucuti jubahnya sendiri saat terdengar suara nyaring cacing kelaparan dari dalam perut perempuan itu, tubuhnya yang menegang seketika menjadi bimbang.
"Sorry," sesal Lily saat mendapati pria yang menindih tubuhnya itu memutuskan untuk berdiri, dirinya pun dengan cepat ikut bangkit dan duduk di tepi ranjang. "Aku lapar," ucapnya.
William menghela napas, pusing di kepalanya membuat pria itu sejenak memejamkan mata, kemudian menghampiri meja untuk mengambil ponselnya. Pria itu membuka aplikasi untuk memesan makanan di hotel miliknya itu, "pesanlah yang kamu mau, aku tunggu di luar."
Lily menerima ponsel canggih yang diberikan William dengan sedikit canggung, dan menoleh saat pria itu melangkah keluar menuju balkon.
Oh Lily, untuk sesaat mungkin kamu bisa selamat, aku takut, bagaimana ini.
***iklan***
Author: Ini gimana ya, tulis dan mereka melakukannya apa gimana nih? Serius nanya. 😂
Netizen: pake nanya lagi tinggal diterusin doang juga 😒
Author: nanya doang yaelah. 😌 Eh kemaren ada yang komen. Up yg banyak dong cuman satu episode males bacanya kaya sebelah napa upnya banyak. Denger ya Surtini, kalo mau banyak ya jangan dibaca dulu kumpulin ampe dua minggu kaya tetangga sebelah 🤭 yang penting poinnya aja jalan 😆
Netizen: kemaren kenapa ranking nya ilang thor. 🤔
Author: Ah iya kemaren ada sedikit kesalah pahaman, tapi alhamdulillah cepet kelar. Jadi dikiranya aku terlibat beli poin ilegal, ya wajar sih ya karya baru empat episode udah bisa ranking 3 😆 padahal mah vote kalian yang luar biasa.
Tambahin lagi ya poinnya sampe bisa rank 1 biar dikira pesugihan poin aku 🤭