"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34
“Kabar, Mas?” tanya Melisa, sekadar basa-basi.
“Baik, Mel. Kamu sendiri bagaimana?” jawab Riko, berusaha terdengar tenang, meski sebenarnya gugup.
Suasana mendadak kaku. Seperti ada banyak yang ingin diucapkan, tapi tertahan oleh rasa canggung di antara mereka.
“Mel, kamu ngajar di sini?” tanya Riko, mencoba memulai obrolan.
“Loh, emang Mas Riko belum tahu kalau aku ngajar di sini?” jawab Melisa, membuat Riko langsung mati kutu.
Dasar bodoh, umpatnya dalam hati. Harusnya aku tanya, apa kamu merindukanku.
Riko menatap Melisa sebentar, bibirnya sempat terbuka seolah ingin bicara, tapi kata-kata itu tak pernah keluar.
“Mel…” ucap Riko pelan.
“Ya, Mas,” jawab Melisa.
Suara lembutnya selalu membuat Riko terpesona.
“Kalau Melati mau ngajar di sini, bisa nggak?” tanya Riko.
“Nggak bisa lah, Mas,” jawab Melisa santai.
Yah, pupus sudah harapanku. Kirain dia mau mendukung, batin Riko.
Suasana langsung jadi canggung.
“Kenapa, Mas?” tanya Melati. “Kok kecewa?”
Riko terdiam. Ada rasa kecewa yang tak bisa ia sembunyikan.
“Aku kecewa dengan jawaban kamu, Mel… Kenapa kamu nggak mendukung Melati?” tanyanya pelan.
“Mas,” ucap Melisa, “nggak mungkin dong Melati ngajar di sini. Dia masih anak kecil, gimana bisa ngajar?”
Riko terdiam, baru sadar ada yang aneh dengan pertanyaannya tadi.
“Emang tadi aku nanya apa, ya?” tanyanya polos.
Melisa menggeleng, hampir tertawa, tapi buru-buru menutup mulutnya.
“Mas tadi nanya, Melati bisa ngajar di sini nggak,” katanya mengingatkan.
“Iya, Ayah ada-ada aja. Orang Melati mau belajar di sini kok malah disuruh ngajar,” timpal Melati sambil nyengir.
“Oh, sorry… aku lupa,” Riko terkekeh, menyadari kesalahannya.
“Ya, maksudku… aku yang bisa ngajar di sini nggak?” tanya Riko kemudian.
Melisa terdiam, tampak berpikir.
Yah, sepertinya nggak mungkin aku ngajar di sini. Lagian, aku lulusan STM. Mau ngajar TK dari mana logikanya? batin Riko. Kenapa juga aku malah nanya begini?
“Coba aja, Mas,” jawab Melisa, membangkitkan semangat Riko yang hampir padam.
“Benarkah?” tanya Riko, matanya berbinar.
Melisa mengangguk mantap.
“Terima kasih,” ucap Riko sambil tersenyum, sedikit malu.
Lalu, hening kembali mendadak terasa canggung lagi.
“Mmm… kalau aku jadi ngajar di sini, Melati bisa sekolah di sini nggak?” tanya Riko.
“Tentu saja. Walau Mas nggak ngajar di sini, Melati tetap bisa sekolah di sini,” jawab Melisa.
Riko menggaruk kepala, merasa Melisa mungkin tidak menangkap maksud sebenarnya dari pertanyaannya.
“Anu…” ucap Riko sambil menggaruk kepala. “Kalau aku ngajar di sini, Melati bisa sekolah gratis nggak?” tanyanya, memperjelas maksudnya.
“Biasanya, pihak manajemen memberi potongan setengah biaya untuk keluarga guru yang anaknya sekolah di sini,” jawab Melisa.
Riko terdiam. Walau hanya setengah, tetap saja biaya itu terlalu mahal baginya.
“Jangan terlalu dipikirkan,” ujar Melisa lembut. “Besok ada tes penerimaan guru. Persiapkan saja sebaik mungkin. Mudah-mudahan Melati ada jalan untuk sekolah di sini.”
Sekali lagi, Melisa berhasil memberi semangat pada Riko.
Riko tersenyum
“Baiklah, Mel. Aku akan persiapkan kalau begitu,” ucap Riko sambil tersenyum.
“Ok, Mas. Semangat!” Melisa mengepalkan tangan, seperti seorang istri yang memberi doa terbaik untuk suaminya.
Riko merasa terharu. Diam-diam, pikirannya mulai berandai-andai… bagaimana rasanya jika Melisa benar-benar menjadi istrinya.
...
Akhirnya, Riko dan Melisa berpisah. Melati tampak enggan melepaskan tangan Melisa, tapi Riko berhasil membujuknya dengan janji mereka akan bertemu lagi besok.
“Yah… aku bisa kan sekolah di TK itu?” tanya Melati, matanya berbinar penuh harap.
“Bisa lah… apa sih yang nggak untuk anak Ayah,” jawab Riko, selalu berhasil membuat Melati kembali bersemangat.
Langit mulai meremang, tanda malam segera datang. Mereka berjalan kaki menyusuri jalan kecil; Riko mendorong gerobak, sementara Melati bernyanyi riang sepanjang perjalanan, seolah dunia amat menyenangkan baginya.
Seorang anak di dalam mobil mewah menatap keluar jendela, melihat Melati dan Riko berjalan riang. Ia tersenyum kecil lalu berkata,
“Mah… andai Papah bisa kayak Paman itu.”
Perempuan berdandan elegan yang duduk di sampingnya ikut melirik ke arah Riko dan Melati.
“Astaga, Nak… Papah kamu itu jauh lebih hebat dari mereka. Pokoknya Papah kamu yang terbaik,” ujarnya sambil tersenyum tipis.
Anak itu merengut.
“Papah terbaik, tapi jarang bersama dan bermain sama aku. Aku bosan, Mah…”
Suasana di dalam mobil langsung hening.
“Pak, percepat kendaraan,” ucap perempuan itu pada sopir.
Pemandangan itu menciptakan kontras yang jelas—anak memang butuh mainan, karena masa kecil adalah masa bermain. Tapi orang tua sering lupa, terlalu sibuk membelikan mainan, hingga jarang menjadi teman bermain anaknya. Diam-diam, anak kehilangan kehangatan yang seharusnya mereka dapatkan.
....
Sesampainya di kosan, Salma sudah berdiri di depan pintu, tangannya bersilang di dada.
“Riko!” bentaknya.
Riko mendesah kesal.
Apa salahku sebenarnya sama dia? Kenapa rasanya seperti dia punya dendam pribadi sama aku? pikirnya dalam hati.
“Ada apa, Mbak?” tanya Riko, berusaha tenang.
“Kamu ngapain masuk ke TK Cahaya Ilmu, hah? Katanya kamu nggak akan nyekolahin anak kamu di situ, hah?” suara Salma meninggi, nadanya penuh amarah.
“Itu bukan urusan Mbak. Kalau Melati bisa sekolah di situ, mungkin itu rezekinya,” jawab Riko datar.
“Allah itu tidak buta, Riko. Allah itu tidak tidur,” ujar Salma dengan nada tajam. “Mana mungkin Allah mentakdirkan Melati sekolah di sana? Bayarannya mahal, Riko…”
Kata-katanya terdengar aneh, dibalut rasa sombong dan dengki, seolah ia yakin takdir hanya milik orang-orang tertentu saja.
“Ummi!” bentak seseorang dari arah belakang.
Salma dan Riko serempak menoleh ke sumber suara. Begitu melihat siapa yang datang, raut marah di wajah Salma seketika berubah kikuk. Ia buru-buru mengganti ekspresinya menjadi ramah, seolah tak terjadi apa-apa.
“Ini, Abi… Umi lagi nasehatin Riko, biar menerima saja dengan ikhlas kalau anaknya nggak bisa sekolah di TK Cahaya Ilmu,” ucap Salma, mencoba tersenyum.
“Umi, masuk!” geram Ridwan. “Abi udah dengar semuanya dengan telinga Abi sendiri… sekarang masuk ke rumah.”
Langkah Salma mendadak gemetar. Tanpa berani membantah, ia menunduk dan berjalan masuk ke rumah.
“Maafin istri saya, Mas Riko,” ucap Ridwan tulus.
“Tidak apa-apa, Pak,” jawab Riko singkat.
“Ya sudah, semoga sukses ya buat Melati.” Ridwan tersenyum, lalu masuk ke rumah.
Riko menaruh gerobak dagangannya di teras kos. Setelah itu, ia masuk dan melihat Melati tengah asyik menggambar.
Waktu terasa berjalan cepat dan malam pun datang riko bertekad malam ini akan belajar jadi seorang guru tk dengan Bermodal Google, Riko mengetik pencarian: apa saja yang dibutuhkan guru TK dalam mengajar.
Hasilnya muncul:
Membuat rencana mengajar, disertai beberapa formulir yang harus diisi
Memahami psikologi anak.
Menyiapkan buku-buku cerita anak.
Dan masih banyak lagi daftar panjang yang harus ia pelajari… dalam semalam.
Semakin dibaca, Riko semakin pusing. Selama ini ia hanya terbiasa membaca karya Buya Hamka, bukan panduan mengajar anak-anak. Kepalanya berdenyut. Pandangannya menggelap.
Akhirnya, ia tertidur.
Padahal, ia sudah bertekad untuk belajar menjadi guru TK.