Lily, seorang mahasiswi berusia dua puluh tahun, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis hanya karena satu malam yang penuh jebakan. Ia dijebak oleh temannya sendiri hingga membuatnya terpaksa menikah dengan David Angkasa Bagaskara- seorang CEO muda, tampan, namun terkenal dingin dan arogan.
Bagi David, pernikahan itu hanyalah bentuk tanggung jawab dan penebusan atas nama keluarga. Bagi Lily, pernikahan itu adalah mimpi buruk yang tak pernah ia minta. Setiap hari, ia harus berhadapan dengan pria yang menatapnya seolah dirinya adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, di balik sikap angkuh dan tatapan tajam David, Lily mulai menemukan sisi lain dari pria itu.
Apakah Lily mampu bertahan dalam rumah tangga tanpa cinta itu?
Ataukah perasaan mereka justru akan tumbuh seiring kebersamaan atau justru kandas karena ego masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Diandra_Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sadar Diri
"Mas...."
"Mas Dav, aku lapar! Kenapa Mas malah bawa aku pergi dari ruang makan!"
Lily mengibaskan tangannya yang dicekal erat oleh suaminya itu. Bibirnya maju beberapa centi. Padahal ia sudah membayangkan melahap makanan lezat itu. Tapi suami menyebalkannya malah memaksanya ke kamar.
"Ckkk... Bisa-bisanya kamu memikirkan makan setelah mendengar permintaan konyol dari kakek. Apa kau memang menginginkannya?" Cibirnya seraya menatap sinis pada istrinya itu.
"Ish, siapa juga yang mau hamil. Aku cuman lapar. Apa kamu gak ngerti, Mas? Kamu boleh mengatur apapun tentang hidupku, tapi jangan menyiksaku dengan tidak memberiku makan. Kalau aku sakit gimana?" sentaknya. Untuk kali ini, Lily tidak mau mengalah. Ia tak gentar meski David menatapnya tajam.
"Sssshh... Dasar wanita menyebalkan! Kau selalu merepotkan. Kehadiranmu memang membuat hidupku runyam!" desisnya.
Lily makin kesal. Padahal ia tak menuntut banyak. Hanya minta makan saja apa susahnya sih?
"Kalau kamu kesal pada kakek, ya sudah. Itu bukan urusanku. Aku mau makan, titik!" Lily membalikkan badan. Hendak berjalan keluar dari kamarnya kembali. Ia tak peduli meski David melarang.
Namun belum sempat melangkah, tangan pria itu lebih dulu mencekal tangannya.
Dengan satu kali tarikan, tubuh Lily tertarik ke arahnya. Lily yang tak siap, tiba-tiba terhuyung dan hampir terjatuh. Tapi untungnya David sigap menangkapnya. Kini mereka saling berhadapan dengan tangan David yang menyangga tubuh Lily yang hampir terjatuh itu.
Sekian detik keduanya terdiam. Tatapan mereka saling mengunci. Lily yang terkejut dan David yang terhipnotis wajah cantik dan imut itu.
"Mas lepaskan!" ucap Lily membuyarkan lamunan suami menyebalkannya itu. Namun meski menyebalkan dan arogan, Lily akui David sangatlah menawan. Wajah tampan dengan rahang yang tegas juga tatapan setajam elang, tapi sekalinya senyum, wanita manapun pasti klepek-klepek dibuatnya.
David tersadar, kemudian melepaskan pegangannya hingga membuat Lily terjatuh.
BUKH.
"Aawww... Mas, sakit. Kenapa dilepasin sih?"
"Kamu yang minta dilepaskan tadi," ujar pria itu menyembunyikan rona malu karena sempat terpana oleh istrinya.
"Ish, menyebalkan!" Lily bangkit sambil meringis. Ia merasa bokhongnya sedikit ngilu akibat terjatuh mencium lantai.
"Ayok, ikut aku!" titah David tiba-tiba.
"Kemana?" tanya Lily ketus. Ia masih kesal pada suaminya. Perihal mau makan saja harus banyak drama seperti ini.
"Katanya mau makan," ucapnya datar.
"Ma–makan? Waah, ayok, Mas! Sayang lho masakan di bawah banyak banget. Dari tadi kek. Jadi gak usah nunggu aku jatuh segala," tutur Lily dengan bawelnya.
"Heh, siapa yang mau ngajak makan di bawah. Ikut aku, kita makan di luar! Aku tidak selera makan di rumah," cetusnya sambil meraih kunci mobil lalu berjalan mendahului Lily keluar dari kamar.
"Apa? Makan di luar? Astaga, kenapa harus di luar sih? Makanan di rumah saja melebihi makanan restoran. Ckk, harus nunggu lagi deh kalau makan di luar," keluhnya yang terdengar oleh David.
Pria itu menghentikan langkahnya. Senyum tipis terpatri di wajahnya. Mengerjai Lily menyenangkan juga. Bisa membuat rasa kesal yang ia rasakan karena permintaan Konyol sang kakek itu sedikit terlupakan.
"Terserah kau saja. Mau ikut atau kau akan kelaparan," ucap David tanpa menoleh sama sekali, kemudian berjalan dengan langkah tegapnya keluar dari kamar.
"Ikuuutt!" Seru Lily. Wanita itu berlari menyusul suaminya yang sudah jalan lebih dulu menuju halaman rumah. Meksipun kesal, namun mau tak mau ia harus menuruti suaminya. Dari pada ia lapar karena tidak makan sama sekali.
Sepanjang perjalanan keduanya saling terdiam. Lily masih menekuk wajahnya karena kesal, sementara David fokus menyetir mobilnya.
Kriiiuukkk.
Wajah wanita itu memerah seketika. Suara perutnya yang keroncongan terdengar nyaring di suasana sunyi itu.
"Apa kau lapar sekali?" tanya David menahan tawa.
"Kau pikir?" tanya Lily mendelik sebal.
"Hahaha ... Dasar ambekan. Kita makan di sana," tunjuk David pada sebuah restoran Jepang yang cukup terkenal itu.
"Gak ah. Aku gak mau." Lily kembali cemberut. Padahal sajian di rumah Bagaskara sudah terngiang-ngiang dalam benaknya. Makanan western yang berpadu dengan Indonesian food. Aah, sungguh menggugah selera.
"Aku tidak terlalu suka Japanese food. Makan di restoran biasa saja."
David mencebik. Wanita ini benar-benar sangat menjengkelkan.
"Dasar merepotkan!" Meski geram, namun tak ayal pria itu menuruti juga keinginan istrinya.
Padahal suasana hatinya sedang gamang gara-gara memikirkan permintaan konyol dari Tuan William. Namun Entah mengapa dirinya malah mengajak Lily yang menjadi sumber masalahnya ini makan malam berdua.
Mobil pun kembali melaju melewati restoran Jepang yang tadinya menjadi tujuan utama untuk David makan malam. Ia segera melajukan kembali mobilnya hingga akhirnya terhenti di sebuah cafe yang cukup ramai. Sebenarnya David tidak terlalu menyukai tempat seperti ini, apalagi ada live music yang menjadi hiburan di cafe tersebut. Pria itu lebih suka di tempat yang sunyi dan tenang.
"Aahh, senangnya Mas ngajak aku kemari. Tahu gak, ini tempat aku nongki sama temen-temen. Makanan disini juga enak-enak. Mas gak anak nyesel pokoknya!" seru Lily bersemangat.
"Aku tidak suka tempat ini. Tapi kupingku lebih tidak suka mendengar suara fals dari perutmu yang keroncongan itu."
Lily tak peduli dengan ocehan sarkas suaminya. Ia bergegas keluar lalu memilih bangku paling strategis yang menghadap langsung ke arah panggung live music itu.
"Kenapa harus pilih disini sih? Bising tahu gak?!" pekik David tak senang. Ia menjatuhkan tubuhnya di kursi lalu mencebik kesal. Kesalahan terbesarnya karena mengajak wanita menyebalkan ini makan malam berdua.
"Sudah jangan banyak protes. Mas nikmati saja. Aku pesankan makanan ya," ucapnya tanpa mendapatkan jawaban dari suaminya itu.
Lily begitu antusias. Ia melambaikan tangannya pada pelayan. Sementara alunan musik band terdengar mulai menyapa para pengunjung cafe yang semakin malam semakin ramai itu.
David memilih untuk memainkan ponselnya. Mengirim pesan pada sang kekasih hati. Ia ingin bertemu dengan Veronica. Ingin meminta solusi padanya tentang permintaan tuan William. David benar-benar dilema. Ia tentu saja sangat tahu bagaimana sifat kakeknya itu. Pria tua itu tak suka jika dibantah. Dan yang lebih membuatnya khawatir adalah ucapan terakhir sang kakek yang mengatakan bahwa itu adalah permintaan terakhir sebelum tuan William meninggal.
Membayangkannya saja David tidak sanggup. Karena meskipun sang kakek sangatlah keras, namun ia sangat menyayanginya.
"Mas, ayo dimakan!" ucap Lily membuyarkan lamunannya.
David melamun hingga tak sadar kini meja tempatnya dan Lily duduk sudah penuh dengan makanan. Nasi goreng seafood dipilih oleh Lily. Katanya sih nasi goreng ini menjadi andalan di cafe tersebut. Selain nasi goreng seafood, nampak pula dimsum dan kawan-kawannya. David menggelengkan kepala melihat semua pesanan wanita itu. Apa ini akan habis? Dasar wanita rakus, batinnya.
Belum lagi dengan es teler durian di mangkuk yang menurut David sangatlah tidak wajar. Ia bergidik melihat makanan dan minuman itu. Dirinya tidak pernah makan dalam porsi banyak. Namun melihat Lily yang begitu lahap, tiba-tiba saja dirinya juga mulai tergiur untuk mencicipinya.
Keduanya makan tanpa saking berbicara. Lily begitu menikmati sajian ini. Rasanya cacing-cacing yang tadi demo pun sudah diam dan damai. Belum lagi alunan lagu-lagu kekinian yang membuat Lily semakin betah.
David yang awalnya tidak suka lama-lama mulai merasa nyaman. Hemm, meskipun tempat ini ramai, namun cukup nyaman juga. Ia seperti memiliki pengalaman baru. Karena biasanya dirinya hanya akan mendatangi restoran bintang 5 bersama Veronica. Bahkan mereka kerap kali memesan private room. Bersama kekasihnya itu, semua gerak-geriknya pun dibatasi. David tidak bisa seenaknya mengajak wanita itu jalan keluar.
"Aaah, kenyangnya!"
Lily mengusap bibirnya menggunakan tisu. Makanan di piring dan semangkuk es teler itu sudah berpindah ke dalam perutnya. Belum lagi kudapan kecil yang jika di gabungkan tentu saja menjadi makanan berat pun sudah habis tak tersisa.
"Astaga, terbuat dari apa perutmu? Aku baru melihat wanita yang rakus sepertimu," ledeknya.
"Biarin. Yang penting aku kenyang. Lagian mau makan sebanyak apapun, aku gak bakal bisa gemuk."
David tiba-tiba terdiam. Kata-kata itu sungguh berbanding terbalik dengan kata-kata yang selalu Veronica ucapkan saat mereka makan bersama.
"Aku tidak bisa makan banyak. Aku tidak mau tubuhku gemuk dan akan mempengaruhi kecantikanku. Kamu tahu sendiri kan jika tubuh dan wajahku ini adalah aset. Jadi jangan paksa aku untuk terus makan," ucap Veronica saat David memintanya makan ketika dirinya tengah menjalani diet ketat. Padahal David hanya tidak ingin jika sang kekasih sampai sakit karena diet tersebut.
"Mas, kenapa? Kok malah ngelamun sih?"
Lagi-lagi David melamunkan kekasihnya. Pria itu menatap Lily dengan tajam. Raut yang selalu datar itu memang tidak ada ramah-ramahnya. Namun Lily sudah terbiasa dengan sikap CEO itu.
"Soal yang tadi. Aku ingin minta sesuatu padamu," ucap David tiba-tiba.
"Soal apa?" Lily mengerutkan keningnya bingung.
"Soal permintaan kakek. Aku minta padamu untuk menolak secara halus. Kau bilang saja jika dirimu belum siap karena harus menyelesaikan kuliahmu."
Lily menghela nafasnya. Ia sudah tahu jika suaminya memang tak berniat untuk melakukan pendekatan atau sekadar mencobanya terlebih dahulu. Sungguh bodoh karena Lily sempat berpikir untuk bisa menaklukkan hati CEO arogan itu. Karena pada kenyataannya, hati suaminya hanya untuk kekasihnya saja.
'Aah bodoh sekali diriku yang berharap perhatianmu, Mas. Seharusnya aku sadar diri. Kau terlalu tinggi untuk ku gapai,' gumam Lily yang sebenarnya sudah merasakan getaran dari ketertarikannya pada pria arogan itu.
***
Bersambung...