Tanpa gaun putih, tanpa restu keluarga, hanya akad sunyi di balik pintu tertutup.
Aku menjalani hari sebagai pelayan di siang hari… dan istri yang tersembunyi di malam hari.
Tak ada yang tahu, Bahkan istri sahnya yang anggun dan berkelas.
Tapi apa jadinya jika rahasia itu terbongkar?
Saat hati mulai berharap lebih, dan dunia mulai mempertanyakan tempatku…
Istri Siri Om Majikan adalah kisah tentang cinta yang lahir dari keterpaksaan, tumbuh di balik status yang tak diakui, dan perjuangan seorang perempuan untuk tetap bernapas dalam cinta yang ia tahu tak pernah boleh ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 21
Dua hari sebelum kepulangannya ke Indonesia, Jordan duduk di balkon hotelnya di Jeddah, memandangi langit senja yang menguning.
Angin laut terasa hangat, tapi hatinya justru diliputi gelisah yang asing. Bukan karena pekerjaan, bukan karena tekanan bisnis, tapi karena satu pertanyaan yang terus menghantui pikirannya:
“Kalau aku benar-benar mencintainya sudahkah aku layak untuk dicintai kembali?”
Ia sadar, selama ini Syifa bukan hanya menjadi pelengkap hidupnya, tapi saksi diam dari keburukan dirinya. Keras kepala, egois, jarang pulang, dan menyimpan banyak rahasia. Ia tahu Syifa terluka, tapi tetap tinggal.
Kini Jordan ingin berubah, tapi ia tak ingin melakukannya hanya karena emosi atau kesepian. Ia ingin tahu mampukah ia tetap memilih Syifa, bahkan saat dunia tidak lagi memaksa?
Biasanya, Jordan bisa menelepon Syifa kapan saja, seenaknya. Tapi kali ini, ia menahan diri. Ia ingin tahu, apa yang ia rasakan ini masih kuat walau tidak mendapat balasan, walau tidak bisa menuntut perhatian seperti biasanya.
Namun diam itu menyiksa. Setiap suara notifikasi di ponselnya membuatnya berharap, "Mungkinkah Syifa kirim pesan duluan?"
Tapi tak ada, hanya sepi yang dia dapatkan. Dan Jordan mulai sadar, selama ini ia hidup dalam hubungan yang timpang. Ia terbiasa menerima, tanpa pernah memberi. Sudah dua hari seperti ini. Dua hari tanpa kabar darinya.
Jordan duduk di ruang kerja, lampu gantung kristal berkilau lembut memantulkan cahaya ke meja marmer.
Jari-jarinya menggenggam erat ponsel yang sejak tadi hanya dia buka-tutup, buka-tutup. Padahal tidak ada notifikasi apa pun dari Syifa.
"Kenapa kau tidak menghubungiku, Syifa?" gumamnya lirih, hampir tak terdengar di tengah kesunyian malam yang mengendap seperti luka.
Pria itu menarik napas dalam, menahan gejolak aneh yang selama ini coba ia abaikan. Setahun lalu, menikahi Syifa adalah keputusan impulsif.
Nafsu yang dibungkus kuasa. Dia punya semuanya harta, nama besar, dan kekuasaan di rumah itu. Sedangkan Syifa, hanya gadis lugu yang tersenyum kikuk saat pertama kali menyuguhkan teh padanya.
Perempuan itu tak pernah menuntut apa pun. Tak pernah memintanya mencintai balik. Bahkan saat mereka menikah diam-diam atas nama "kebutuhan", Syifa hanya menunduk, mengangguk, dan menjalani semuanya seolah dirinya bukan siapa-siapa.
"Seharusnya aku senang, bukan?" bisiknya lagi, lirih dan getir. "Dia tahu tempatnya. Tidak menggangguku, tidak bertanya, tidak menuntut. Bukankah itu yang kuinginkan sejak awal?"
Namun mengapa diamnya Syifa kini terasa seperti hantaman keras ke dadanya?
Jordan berdiri, berjalan ke jendela besar yang menghadap taman belakang tempat Syifa biasa menyapu pagi-pagi. Dia ingat dengan jelas, cara gadis itu mencuri pandang ke arahnya, tapi buru-buru memalingkan muka.
Dia bahkan ingat dengan tajam, cara Syifa menyebut namanya tanpa embel-embel kehormatan. Hanya “Jordan”. Sesederhana itu setulus itu.
"Dasar bodoh," gumam Jordan lagi, mengepalkan tangan. "Seharusnya aku tidak membiarkannya tinggal di kepalaku."
Tapi bahkan dirinya tahu, itu sudah terlambat. Syifa bukan lagi sekadar ‘perempuan yang ia tiduri’. Dia adalah suara di kepalanya saat malam terlalu sunyi. Dia adalah kehadiran yang tak kasat mata tapi selalu terasa.
Jordan menahan jemarinya untuk tidak mengetik pesan singkat:
>”Kamu baik-baik saja?”
Lalu ia menghapusnya lagi dan lagi seperti itu terus.
Egonya berteriak agar ia tetap diam. Tapi hatinya memberontak untuk sekadar mendengar suara lembut itu menyapa, "Saya sudah buatkan teh, Tuan…"
Jordan menutup mata. Tapi bayangan Syifa malah makin jelas. Sederhana, manis, dan terlalu mudah disakiti.
Sambil memijit pelipisnya, Jordan akhirnya bergumam, nyaris seperti pengakuan yang bahkan tak sanggup ia ucapkan pada Syifa sendiri.
"Setahun menikah denganmu bukan rencana. Tapi kehilanganmu bukan hal yang bisa kuterima."
Hari Kedua, Menolak tawaran dari wanita lain.
Seorang wanita muda dari salah satu partner lokal mendekatinya secara pribadi setelah rapat. Sikapnya halus, cara bicaranya ramah, jelas menawarkan lebih dari sekadar pertemanan bisnis.
“Mr. Jordan… if you’re free tonight, I can show you the best part of Jeddah.”
“Thank you, but I already have the best part of my life… waiting for me back home.”
Jawabannya mengalir begitu saja. Tak ada ragu. Dan saat melihat perempuan itu tersenyum kikuk lalu pergi, Jordan menghela napas panjang dulu, ia pasti akan mengambil tawaran seperti itu. Kini, tidak lagi. Ia menang, kali ini, ia menang melawan dirinya sendiri.
Hari Ketiga: Menulis surat untuk dirinya sendiri
Malam sebelum pulang ke Indonesia, Jordan duduk menulis di sebuah buku catatan kecil. Ia menuliskan:
“Jika aku benar-benar mencintainya, maka aku harus berani berubah bukan untuk dia saja, tapi untuk diriku sendiri. Syifa bukan alat untuk pelarian, dia rumah yang tak pernah kuanggap pulang. Kalau aku ingin dia bertahan, maka aku harus layak untuk menjadi tempatnya kembali bersandar.”
Jordan menutup bukunya, lalu berdoa untuk pertama kalinya tanpa paksaan.
“Ya Allah… bimbing aku. Aku ingin pulang sebagai lelaki yang tahu arah, bukan hanya tahu ingin.”
Hari-hari setelah kepulangan Jordan terasa berbeda. Ia tak lagi sibuk dengan telepon genggam saat makan. Tak lagi keluar malam.
Ia bahkan mulai bangun subuh dan duduk termenung di ruang tamu sambil memegang mushaf kecil atau buku-buku agama yang dibelinya diam-diam dari toko kitab dekat masjid.
Kadang ia mengikuti kajian daring di ruang kerja. Kadang ia mengajak Naurah ke masjid terdekat untuk shalat Maghrib berjamaah.
Syifa melihat semua itu dari jauh. Ia tak berani berharap apa-apa, namun di dalam hatinya mulai tumbuh tanda tanya.
Apakah Jordan... benar-benar berubah?
Namun, justru di tengah perubahan Jordan Syifa menyadari sesuatu yang mengejutkan. Ia terlambat haid.
Awalnya ia mengira stres. Tapi setelah dua pekan dan tubuhnya mulai terasa aneh mual di pagi hari, cepat lelah, dan emosional tanpa sebab ia akhirnya membeli test pack diam-diam.
Dua garis merah. Syifa terduduk di lantai kamar mandi, memegangi dadanya. Napasnya pendek. Matanya berkaca-kaca.
“Ya Allah… ini anak Tuan Muda Jordan,” gumamnya sambil mengusap perutnya yang masih datar.
Tangannya gemetar. Bukan karena benci, tapi karena takut. Ia belum siap. Bukan karena ia tak mencintai bayi itu, tapi karena ia tahu Jordan tidak mencintainya. Apalagi semua orang di sekitarnya tidak mengetahui hubungan tersembunyi mereka.
“Aku harus merahasiakan ini dari siapapun karena aku nggak ingin pernikahan Tuan Muda Jordan dengan Nona Casandra berantakan apalagi sampai Nyonya Besar Laura mengetahuinya bisa-bisa aku diusir dari sini,” batinnya.
Hari-hari berikutnya, Syifa tampak tenang di luar, tapi jiwanya kalut. Ia mulai sering keluar lebih pagi dari biasanya, berpura-pura ada tugas tambahan. Ia menyembunyikan obat vitamin hamil di tempat makeup. Ia menghindari tatapan mata Erna dan mengunci kamar setiap malam untuk menangis pelan tanpa suara.
Jordan, yang mulai peka, merasa ada yang berubah melihat gelagat aneh dari Syifa. “Kamu sakit?”
“Enggak, cuma agak lelah.” kilahnya Syifa.
“Kalau kamu sakit, silahkan istirahat kamu nggak usaha melayaniku malam ini,” ucapnya Jordan yang kembali mengancingkan bajunya karena melihat kondisi Syifa.
“Maafkan aku, Tuan Muda,” ujarnya sambil berdiri di hadapannya Jordan.
“Pergilah dan jangan beraktifitas sebelum kamu sehat,” ucapnya lagi kemudian berjalan meninggalkan Syifa yang bisa bernafas lega karena rahasianya tidak terbongkar.
Pagi itu di mansion keluarga Jordan, suasana tampak seperti biasa. Para staf sibuk mempersiapkan jamuan makan siang untuk tamu istimewa yang akan datang. Jordan sendiri sudah berangkat lebih awal untuk menemui ayahnya dan mengurus beberapa dokumen penting.
Syifa, meski tubuhnya lemas, tetap memaksa membantu di dapur. Sejak pagi, perutnya sudah terasa kencang, mual datang bergelombang. Tapi ia terus memaksakan diri, menahan diri agar tak terlihat mencolok.
Hingga akhirnya, saat hendak membawa nampan berisi teh dan camilan ke ruang utama.
Dunia tiba-tiba gelap. Nampan itu jatuh berdering, gelas-gelas pecah di lantai marmer. Tubuh Syifa ambruk, dan semua yang ada disekitarnya berteriak panik.
Erna adalah yang pertama berlari mendekat, memeluk tubuh Syifa yang terkulai.
“Syifa! Syifa! Astaghfirullah… tolong!” Teriaknya Erna yang sudah memangku Syifa.