Apa jadinya jika impian mu hancur di tangan orang yang paling kamu benci, tapi juga tak bisa kamu hindari?
"Satu tesis gagal, Karena seorang dosen menyebalkan, Semua hidup ku jadi berantakan"
Tapi siapa sangka semuanya bisa jadi awal kisah cinta?
Renatta Zephyra punya rencana hidup yang rapi: lulus kuliah, kerja di perusahaan impian, beli rumah, dan angkat kaki dari rumah tantenya yang lebih mirip ibu tiri. Tapi semua rencana itu ambyar karena satu nama: Zavian Alaric, dosen killer dengan wajah ganteng tapi hati dingin kayak lemari es.
Tesisnya ditolak. Ijazahnya tertunda. Pekerjaannya melayang. Dan yang paling parah... dia harus sering ketemu sama si perfeksionis satu itu.
Tapi hidup memang suka ngelawak. Di balik sikap jutek dan aturan kaku Zavian, ternyata ada hal-hal yang bikin Renatta bertanya-tanya: Mengapa harus dia? Dan kenapa jantungnya mulai berdetak aneh tiap kali mereka bertengkar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 34
Keesokan paginya, sinar matahari perlahan menerobos masuk ke sela-sela jendela rumah Zavian. Dengan sedikit malas, ia bersiap untuk pergi ke kampus. Setelah merapikan pakaian dan mengambil tasnya, ia membuka pintu rumah.
Langkahnya terhenti sesaat.
Secara refleks, matanya kembali mencari—menatap rumah di sebelah. Rumah Renatta. Masih sama seperti semalam, sepi, senyap, tak berjejak.
Zavian mendekat ke tembok pembatas rumah mereka. Ia menoleh, memperhatikan pintu rumah Renatta yang tetap tertutup rapat.
"Apa dia kawin lari sama pacarnya?" gumamnya pelan, setengah kesal.
Ekspresi wajah Zavian tetap datar, namun jelas ada ketidakpuasan yang tergambar di sana. Ia menghela napas berat, seolah mencoba membuang rasa kesalnya yang tak tahu entah datang dari mana.
Tanpa membuang waktu lagi, ia melangkah cepat ke arah parkiran, membuka pintu mobilnya, lalu melajukan kendaraan menuju kampus, meninggalkan bayang-bayang rumah kosong itu di belakangnya.
***
Saat kelas perkuliahan selesai, Mira, Sela, dan Arya sudah berkumpul di parkiran. Mata mereka awas mencari-cari sosok yang mereka tunggu.
Tak lama, Zavian muncul dari gedung kampus, melangkah menuju mobilnya. Ketika melihat mereka berdiri di dekat mobilnya, Zavian sedikit mempercepat langkahnya.
"Selamat siang, Pak Zavian..." sapa Mira ramah.
"Siang," balas Zavian singkat.
Tanpa membuang waktu, Sela segera bertanya, "Pak, gimana? Renatta udah pulang?"
Zavian berhenti sejenak, menghela napas pendek sebelum menjawab, "Belum."
"Hah??" Arya hampir berteriak, lalu naikkan kakinya ke bemper mobil Zavian dengan gemas.
"Tuh anak kemana sih?" gerutunya kesal, sebelum akhirnya menepuk-nepuk kap mobil.
Sela ikut menimpali, "Apa dia diculik?"
Arya mendengus. "Siapa juga yang mau culik Renatta? Yang ada penculiknya stress sendiri."
Zavian hanya memandangi mereka dengan ekspresi datarnya yang khas. Sambil tetap menjaga kesopanannya, ia berkata tenang,
"Maaf, kalau tidak ada kepentingan lain, bisakah jangan menghalangi saya untuk masuk ke dalam mobil?"
Arya buru-buru menurunkan kakinya, panik.
"Maaf, Pak! Saya khilaf!" katanya cepat sambil mengelus-elus kap mobil, seolah mencoba 'menyembuhkan' mobil itu.
Zavian sedikit mengangguk.
"Tidak apa. Saya pamit pulang."
"Iya, Pak. Hati-hati ya, Pak..." ucap mereka hampir bersamaan.
Tanpa banyak bicara lagi, Zavian membuka pintu, masuk ke dalam mobil, dan melajukan kendaraannya keluar dari parkiran kampus.
Namun alih-alih langsung pulang ke rumah, Zavian membelokkan setir ke arah rumah sakit. Ada satu tujuan lain: menjenguk kakeknya yang tengah dirawat di sana.
***
Begitu masuk ke ruangan, kakek terlihat kecewa saat melihat Zavian datang sendirian.
"Kenapa kakek murung gitu lihat aku datang? Kakek gak suka aku jenguk?"
"Dimana calon menantu ku?"
"Calon menantu apanya sih? Siapa?"
"Renatta... Dimana gadis cantik itu?"
"Mana aku tau," jawab Zavian cuek.
Kakek memukul bahu Zavian. "Kau itu yaaa... Gimana sih jadi dosen, masa nggak tau mahasiswi mu dimana."
"Kakek... Dia itu bukan murid SMA lagi, dia itu udah mahasiswi ya. Bukan urusan ku lah tau keberadaan nya dimana," ujar Zavian setengah malas.
Kakek memukul kepala Zavian dengan sendok yang ada di tangannya. Zavian mengaduh sambil memegang kepalanya.
"Tetap aja... Nggak boleh begitu, telfon dia, aku mau bicara," kata kakek bersikeras.
"Aku nggak punya nomornya," ujar Zavian enteng.
Kali ini kakek menyentil bibir Zavian, dan Zavian merasa kesakitan untuk kesekian kalinya.
"Bisa-bisa nya kamu nggak punya nomor nya."
"Ya untuk apa juga aku simpan nomornya."
"Aku gak mau tau, cari dia..." kata kakek keras kepala.
"Kakek? Astaga..." Zavian mulai frustasi.
"Kakek rindu banget sama Renatta... Kakek senang lihat dia disini, sepertinya dia bisa jadi istri yang baik untuk mu. Kalian itu sangat cocok."
"Cocok darimana nya sih? Dia itu sangat berantakan, ceroboh, bicaranya asal ceplos. Aku tidak suka... Mengerjakan tugas saja kayak ogah-ogahan," Zavian menggerutu.
"Jangan memandang Renatta dari segi ketidaksempurnaannya, Zavian. Gak ada manusia yang ideal di muka bumi ini," ucap kakek dengan suara lembut.
Zavian diam, hanya mendengarkan.
"Begitu juga kamu... Kamu juga pasti punya celah. Kepribadianmu itu keras, kaku, dingin... Apa itu bisa dibilang sempurna?"
Zavian menunduk, menatap lantai, seolah memikirkan ucapan kakeknya.
"Perbedaan itu bukan halangan. Kadang justru perbedaan yang bisa jadi penguat... Bisa jadi pelengkap," lanjut kakek, sambil menepuk bahu Zavian dengan penuh kasih sayang.
Kakek menasihati Zavian dengan sabar, berharap cucunya mau membuka hati.
Tentu, aku lanjutkan ya, tetap pakai gaya yang kamu mau:
Kakek kembali berbicara, suaranya pelan tapi tegas.
"Renatta itu mungkin terlihat berantakan di matamu, Zavian... Tapi dia gadis yang ceria, hatinya baik, dan selalu tulus sama orang lain. Kamu mungkin lihat dia ceroboh, tapi kamu lupa lihat sisi baiknya."
Zavian masih terdiam, tak membantah.
"Dia punya semangat hidup, dia membawa keceriaan buat orang sekitarnya. Kamu tau, orang kayak gitu langka, Nak... Gak semua orang punya hati sebersih itu."
Kakek menarik napas perlahan, lalu melanjutkan dengan lembut.
"Kamu selama ini hidup terlalu kaku, terlalu dingin, semua harus sempurna menurutmu. Tapi kehidupan bukan soal kesempurnaan, Zavian. Kehidupan butuh warna... Dan Renatta itu salah satu warna yang indah."
Zavian mengusap tengkuknya, merasa serba salah.
"Aku cuma mau kamu lihat lebih dalam, jangan cuma dari tampilan luarnya aja. Jangan sia-siakan orang baik cuma karena kamu terlalu sibuk mencari yang sempurna."
Kakek menatap Zavian dalam-dalam, penuh harap.
"Aku tua, Zavian. Harapanku cuma satu... Sebelum aku pergi, aku ingin lihat kamu bahagia. Dan aku percaya, Renatta bisa jadi bagian dari kebahagiaanmu."
Oke, aku lanjutin dengan gaya tetap santai kayak yang kamu mau:
Zavian menatap malas ke arah kakeknya, berusaha menunjukkan wajah tak peduli. Tapi dalam hatinya, sebenarnya kata-kata kakeknya sedikit banyak sudah menyentuh. Namun tetap saja, menurut Zavian, dia dan Renatta itu seperti dua kutub yang tidak mungkin bersatu.
"Aku sama dia itu kayak... air sama minyak, Kek. Nggak bakal bisa nyatu," ucap Zavian sambil bersandar ke kursi.
Kakek mengerutkan kening. Kakek hanya tersenyum kecil, memperhatikan cucunya yang keras kepala itu.
"Ah sudahlah, Kek. Nggak usah banyak mikir soal itu. Lagian, dia juga udah punya pacar kan? Aku nggak mau ganggu," Zavian berusaha mengakhiri pembicaraan.
Tapi kakek malah mendekatkan wajahnya ke arah Zavian sambil tersenyum nakal.
"Tapi kamu suka kan?" goda kakek.
Zavian langsung mengernyit, "Nggak! Siapa bilang aku suka?"
"Raut wajahmu pas bilang Renatta udah punya pacar tuh kayak orang abis kehilangan dompet," kata kakek sambil cekikikan.
Zavian menghela napas panjang. "Renatta itu bukan urusan aku, Kek, dia bukan tipe ku juga. Aku nggak suka sama dia, dan sekali lagi... kami nggak cocok."
Kakek menatap Zavian dengan tatapan lembut, namun penuh ketegasan. "Zavian, semua perempuan itu nggak sama seperti dia. Lupakan lah masa lalumu, agar kau bisa menerima seseorang yang ada saat ini. Kau harus melanjutkan hidupmu."
Zavian merasa kata-kata kakeknya menusuk ke dalam hatinya. Dia mencoba menghindar, namun kakek terus berbicara dengan penuh kebijaksanaan.
"Kamu itu terlalu terikat pada bayangan masa lalu, terlalu sibuk mencari kesempurnaan yang tidak ada. Hidupmu itu bukan untuk mencari seseorang yang sempurna, tapi untuk menerima ketidaksempurnaan dan menjadikannya sesuatu yang indah," kata kakek sambil menatap cucunya dengan penuh perhatian.
Zavian diam, matanya kosong sejenak.
Kakek mengangguk pelan, memahami ketakutan Zavian. "Luka itu bagian dari hidup, Zavian. Tanpa luka, kita nggak akan pernah belajar. Yang penting, kamu nggak boleh takut untuk terus berjalan. Masa lalu itu sudah lewat. Kamu harus melangkah maju, bahkan jika itu berarti menerima sesuatu yang baru."
Zavian meresapi kata-kata kakeknya, meski hatinya masih ragu. Namun, sedikit demi sedikit, ia mulai membuka pikirannya. Mungkin kakeknya benar. Mungkin sudah saatnya untuk melupakan masa lalu dan memberi kesempatan pada hal-hal baru yang mungkin lebih baik dari yang ia bayangkan.