Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di balik dinding kaca
Lorong putih itu sunyi. Hanya suara langkah kaki Mei yang terdengar, menggema menyusuri jalur yang menuju ke ruang isolasi. Ia berjalan pelan, seperti takut mendekat pada kenyataan. Tangannya menggenggam erat ujung jaketnya. Udara ruangan itu dingin, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya menggigil.
Di balik dinding kaca, Kazuki duduk diam. Matanya kosong, tak fokus pada apa pun. Ia mengenakan pakaian rumah sakit berwarna abu-abu, dan rambutnya kini lebih panjang dan kusut. Tangan kirinya bergerak sedikit, tapi pandangannya tetap tak bergeming.
"Ibu Mei, waktu kunjungnya sepuluh menit," ucap perawat pelan dari belakang. Mei hanya mengangguk, matanya masih terpaku pada sosok di balik kaca itu.
Langkahnya maju pelan. Saat sampai di depan kaca, ia berdiri di sana. Lama.
Kazuki akhirnya mengangkat kepala. Matanya menyapu ruangan, lalu berhenti tepat pada Mei. Ekspresi wajahnya tak berubah. Tapi matanya… seperti menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Mei membuka mulutnya pelan. "Apa kau masih ingat aku, Kazuki?"
Tak ada jawaban. Hanya sorot mata itu yang mengikutinya.
Mei tersenyum getir. "Tentu saja kau ingat. Mana mungkin kau lupa pada istrimu sendiri."
Kazuki berkedip sekali. Lalu akhirnya, ia berdiri. Langkahnya tertatih mendekati kaca pemisah. Ia menempelkan telapak tangannya ke kaca.
Mei memejamkan mata sesaat, lalu menyentuhkan jarinya ke tempat yang sama.
"Aku nggak tahu harus marah atau… sedih," ucap Mei dengan suara gemetar. "Aku tahu kau mencintaiku. Mencintai Hana juga. Tapi kenapa, Kazuki? Kenapa kau tega menjadikan kami bagian dari eksperimenmu sendiri?"
Kazuki tetap diam. Tapi matanya mulai berkaca-kaca.
"Kalau saja kau cuma ingin mengembangkan teknologi… kenapa harus mempertaruhkan keluarga sendiri? Kau selalu bilang kami adalah alasan kau bekerja. Tapi ternyata, justru kami yang harus dikorbankan."
Air mata turun di pipi Mei. Ia menggigit bibirnya, mencoba tetap tenang.
"Kau ingat nggak waktu Hana pulang bawa piala? Kau janji ajak kita liburan. Dia senang dengan hal itu. Tapi ternyata… itu semua cuma bagian dari rencana besarmu, ya?"
Kazuki memukul pelan dinding kaca. Wajahnya penuh frustasi. Tapi Mei tak bergeming.
"Aku dengar semuanya dari Ren. Juga dari kakek Hana. Bahkan mereka pun nggak percaya waktu tahu rencanamu sebenarnya."
Kazuki menggeleng perlahan. Bibirnya bergerak, tapi suara tak terdengar.
"Kau pikir kami akan meninggalkanmu suatu saat? Itu yang jadi alasanmu? Karena kau takut kehilangan, jadi kau lebih memilih mengurung kami dalam rencana gila itu?"
Kazuki mulai gemetar. Ia menunduk, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh.
"Tapi, Kazuki… kau salah. Sangat salah. Kalau saja kau percaya kami… kalau saja kau percaya bahwa cinta nggak butuh dikendalikan dengan teknologi atau kepastian..."
Mei menahan tangisnya. Tapi suaranya bergetar hebat.
"Hana belum bangun sampai sekarang. Dia bertarung sendirian. Dan kau… kau bahkan nggak bisa menemaninya karena sekarang kau juga terjebak di dunia buatanmu sendiri."
Kazuki perlahan terduduk di lantai, punggungnya bersandar pada kaca.
Mei menatapnya lama. "Aku nggak tahu kapan kau akan sadar. Tapi kalau suatu hari kau bisa keluar dari tempat ini, aku ingin kau tahu satu hal…"
Ia menarik napas dalam.
"Kami nggak pernah berniat meninggalkanmu. Tapi sekarang, semuanya terlambat... Kenyataan nya, kau tak pernah peduli terhadap kami kazuki. Kau hanya bersembunyi di balik kata peduli, untuk memuaskan nafsu gila mu terhadap penelitian yang selama ini menjadi dunia mu... Dan kau.. Kau membuat ku mengerti, aku dan hana tidak akan pernah bagian dari dunia mu"
Sepuluh menit kunjungan selesai. Perawat memanggil pelan.
Mei mengusap air matanya, lalu berbalik. Langkahnya perlahan, tapi pasti.
Di balik dinding kaca, Kazuki menangis dalam diam. Tangannya masih menempel pada kaca, seolah mencoba menahan waktu agar tak bergerak.
Namun waktu tetap berjalan, dan Mei tetap melangkah pergi. Meninggalkan seseorang yang dulu ia cintai sepenuh hati—yang kini, hanyalah bayangan dari pria yang pernah menjanjikan dunia padanya dan putri mereka.
Namun dunia itu, ternyata palsu.
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.