Perjalanan seorang pemuda bernama Cassius dalam mencari kekuatan untuk mengungkap misteri keruntuhan kerajaan yang dulu merupakan tempat tinggalnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mooney moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelatihan oleh Jormund
Namun Raya dengan cepat memecah ketegangan, menyodorkan buah bulat berwarna biru tua pada Cassius. “Coba ini. Buah api-dingin. Rasanya seperti dicambuk dan dipeluk bersamaan.”
Cassius mengangkat alis, menerima buah itu dan menggigit. Raut wajahnya berubah campur aduk. Pedas, dingin, lalu manis, lalu menyengat.
“Apa ini..?! Rasanya seperti makan salju yang terbakar,” katanya sambil tertawa dan mengibaskan tangannya.
Semua orang pun ikut tertawa ringan memandang Cassius, membuat suasana menjadi semakin ringan dan akrab pada malam itu. Setelah suara tawa mulai mereda, cassius teringat lagi dengan pedangnya yang sedang dikerjakan oleh Royrk.
Sambil menyeruput semacam sup kental yang beraroma rempah, Cassius melirik ke arah Royrk yang tengah memecah tulang keras dari potongan daging panggang di piringnya. Setelah menunggu waktu yang pas, Cassius bersandar sedikit dan bertanya, “Royrk... soal pedangku, apa masih perlu waktu lama?”
Royrk mengangkat kepalanya, seolah baru sadar Cassius duduk di sana. “Mmm, ya. Aku sudah hampir selesai dengan peleburan ulang logamnya. Tapi aku buatkan sedikit kejutan kecil juga.”
Cassius menaikkan alisnya, penasaran. “Kejutan?”
Royrk tersenyum kecil, gigi-giginya yang tajam berkilat samar di bawah cahaya bara. “Kau bilang ingin pedang yang ringan tapi tetap kuat, kan? Aku tambahkan campuran dari sisa ekstrak sisik Wyvern yang kami ambil dari bangkai lama dekat jalur utara. Tidak banyak, tapi cukup memberi daya tahan ekstra terhadap panas.”
Vala yang duduk di dekat Cassius menyahut cepat, “Kau bisa menebas kepala kadal magma atau mahluk beratribut api lainya tanpa khawatir pedangmu melunak atau meleleh di tengah jalan.”
Cassius tertawa kecil. “Kedengarannya terlalu bagus untuk jadi kenyataan.”
Royrk mengangkat bahu. “Tidak akan jadi pedang bagus kalau tidak ada risikonya. Tapi kau akan suka dengan hasil akhirnya. Tunggu saja satu atau dua hari lagi.”
Mulgur ikut mencondongkan tubuh, tampak tertarik. “Kau bilang pakai sisik Wyvern? Kenapa aku tidak pernah dapat jatah bahan semenarik itu? Apa aku juga bisa minta tolong padamu untuk meningkatkan tongkatku?.”
Royrk melirik Mulgur dengan pandangan antusias. “Tentu bisa. Aku bisa tambahkan mungkin beberapa peningkatan pada tongkatmu, tapi kau harus menunggu sampai pedang Cassius selesai kukerjakan dulu.”
Balmuth lalu menyahut dengan senyuman tipis yang sedikit mengejek. “Benar, Royrk harus sedikit lebih sering bekerja, kalau tidak dia bisa jadi lebih besar dariku karna jarang gerak”
Tawa kembali pecah di meja makan. Bahkan Royrk yang biasanya tidak banyak bicara pun ikut tertawa keras sambil menepuk meja, hingga membuat mangkuk di depannya bergetar.
Cassius menggeleng sambil tersenyum, lalu kembali pada makanannya. Tapi jelas terpancar dari matanya ada rasa antusias yang mulai tumbuh. Ia tidak hanya sedang menunggu senjata baru, tetapi juga merasa mulai terlibat dalam lingkungan ini. Malam pun berlalu dengan diselimuti suasana hangat yang menenangkan hati di kuil Draconian.
Keesokan paginya, setelah sarapan sederhana bersama para Draconian, Jormund mengajak Cassius menuju sebuah area terbuka di bagian utara kuil, yaitu arena di tempat latihan. Tanahnya keras dan panas, dihiasi lingkaran batu yang di tengahnya tampak bara yang masih menyala samar. Udara di sekitar tempat itu terasa lebih hangat dibanding area kuil lainnya, tapi tidak sampai membakar kulit.
"Kita mulai dari dasar," ucap Jormund, berdiri dengan tangan bersilang di depan bara. Vala berdiri tak jauh di sisi mereka, mengamati dalam diam.
Cassius hanya mengangguk, rasa penasaran dan semangatnya terasa jelas dari tatapan matanya.
Latihan Pertama adalah Penguasaan Panas dan Disiplin Tubuh.
"Masuk ke tengah lingkaran itu, berdiri tegak, dan bernapas," perintah Jormund dengan suara yang sedikit serak, tapi tenang.
Lingkaran itu terukir pada tanah di lapangan latihan, berisi bara merah membara yang tampak menyala lembut tanpa kobaran. Suasana sekelilingnya kering dan berdesis, seperti hawa dari perut bumi mengalir keluar perlahan.
Cassius melangkah ke dalam. Sepatunya menginjak permukaan tanah yang hangus, dan seketika tubuhnya dilingkupi oleh gelombang panas yang halus dan terasa menusuk.
Awalnya, ia mengerutkan dahi. Napas terasa berat. Udara seperti menolak masuk ke paru-parunya. Keringat segera muncul, menetes dari pelipis, membasahi leher.
"Jangan lawan panasnya," ujar Jormund, kini berdiri di sisi luar lingkaran. "Rasakan ritmenya, biarkan tubuhmu menyesuaikan. Api bukan untuk ditundukkan, tapi untuk dipahami."
Cassius menegakkan badan, tapi tegang. Bahunya terangkat, tubuhnya seolah ingin melawan suhu yang menyesakkan itu.
Vala melangkah mendekat. Dengan gerakan tenang, ia menyentuh bahu Cassius dari luar dan menekannya sedikit ke bawah, lalu menarik punggungnya ke belakang hingga lurus.
"Tubuhmu harus terbuka, bukan menahan. Jangan jadi batu di tengah panas. Jadilah udara yang ikut mengalir di dalam api."
Cassius menarik napas yang terasa berat. Tapi kali ini, dengan postur tubuh yang benar, hawa panas itu mulai terasa berbeda. Ia tidak lagi seperti ditelan, melainkan dilingkupi. Hawa itu mengalir perlahan di antara pori-pori tubuhnya.
"Bagus..." gumam Jormund, matanya memperhatikan tanpa berkedip. "Kau mulai mendengar."
Latihan kedua adalah pendengaran.
Jormund mengambil beberapa batu kecil dari kantong kulitnya, masing-masing bersinar lembut dengan cahaya oranye kemerahan. Ia melemparkannya satu per satu ke tanah mengelilingi Cassius, membentuk pola setengah lingkaran.
"Batu ini menyimpan sedikit energi api. Saat dipicu, ia akan meletup kecil. Bukan untuk melukai, tapi cukup untuk menggertak," jelasnya. "Tutup matamu. Rasakan arah panas datang. Jangan pakai telingamu. Pakai instingmu."
Cassius memejamkan mata, sedikit gugup. Ia mendengarkan.
Letupan pertama datang dari kiri. Ia terlalu lambat, bahunya tersengat sedikit.
Kedua, dari kanan. Ia sempat mengelak, tapi tetap terkena percikan kecil.
Ketiga, ia berhasil memiringkan kepala tepat waktu. Tak terkena, tapi hawa panasnya menyentuh kulit.
Vala, yang berdiri agak jauh, mengangguk tipis. Di wajahnya tampak fokus yang tenang, matanya tak lepas dari setiap gerakan Cassius.
"Jangan buru-buru membaca. Biarkan dirimu 'mendengar' tanpa mencoba terlalu keras," bisik Jormund. "Semakin kau memaksa, semakin buta kau dibuat api."
Cassius perlahan menurunkan tensi tubuhnya. Ia tak lagi menegangkan ototnya. Saat letupan berikutnya muncul, ia bergerak sepersekian detik lebih cepat dan nyaris alami. Kali ini, dia benar-benar mulai ‘mendengar’ lewat hawa keberadaan.
Latihan ketiga adalah penyesuaian energi dalam.
"Bagian ini sulit. Tapi penting," ucap Jormund, kini duduk bersila di batu datar. "Kendalikan panas dari dalam tubuhmu. Jangan pakai sihir. Jangan panggil Loomb. Hanya dirimu sendiri."
Vala duduk di samping Cassius, yang kini ikut bersila. "Kita sebut teknik ini Napas Bara. Kau akan memulai dengan ritme ini, empat hitungan tarik napas lambat... dua hitungan tahan... lalu buang napas perlahan, tujuh hitungan. Ulangi. Rasakan hangatnya mulai dari perut."