Annisa jatuh cinta pada Iman, seorang montir mobil di bengkel langganan keluarganya.
Sang Papa menolak, Nisa membangkang demi cinta. Apakah kemiskinan akan membuatnya sadar? atau Nisa akan tetap cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
"Nino mau acara lamaran? Kapan?" tanya Yanti antusias.
Iman berkeliling ke rumah saudara - saudaranya untuk mengabarkan hal ini.
Yanti bergegas ke rumah Nisa setelah mendengar kabar itu.
"Sabtu besok, Insyaa Allah." tutur Nisa.
"Aku nanti nyumbang apa, Nisa? Kue? Atau buah?" Nisa tersenyum.
"Makasih banyak, Teteh. Tapi kalau Teteh nggak ada, nggak usah ya, jangan malah ngerepotin." tolak Nisa halus.
"Ngerepotin apa, sih? Aku juga punya anak laki - laki, 'kan?" Nisa mengerti. Ini maksud Yanti. Agar Nisa juga dapat menyumbang saat Ari akan lamaran juga nantinya.
"Kue aja, ya?" putus Yanti Akhirnya. Nisa mengangguk.
"Makasih, Teh."
Tidak banyak yang mesti disiapkan untuk acara lamaran. Uang Teh, sebutan untuk uang yang diberikan keluarga laki - laki untuk jamuan ala kadarnya yang disiapkan keluarga perempuan sudah disediakan oleh Nino.
Kue - kue sumbangan terkumpul dari kakak - kakak dan keponakan - keponakan Iman. Dalam hal ini persaudaraan terasa menghangatkan hati. Apalagi Nino adalah anak pertama Iman yang terkenal pendiam dan tidak banyak gaya. Semua menyayanginya.
Wida sudah datang pada pagi harinya. Mereka akan berangkat melamar pada malam hari setelah maghrib.
Saat maghrib pun tiba. Keluarga Iman mulai berdatangan untuk berkumpul.
"Nino..! Keponakan Uwak yang ganteng!Nggak terasa Kamu udah mau nikah aja, Sayang!" Sari memeluk Nino dengan perasaan terharu. Matanya sampai berkaca - - kaca. Nisa dan mama Wida ikut merasa terharu.
Yanti juga memeluk Nino.
"Bang Ari nggak pulang, Wak?" tanya Nino. Yanti mendecih kesal.
"Dia mah sibuk banget, Nino. Pulangnya semau - maunya!"
"Dia udah punya pacar belum, Teh?" tanya Sari. Ari lebih tua dari Nino 2 tahun. Tapi ia lebih serius mengejar karirnya tinimbang mencari pasangan hidup atau sekedar berpacaran.
"Nggak tau, tuh." jawab Yanti cuek. Yang penting uang kiriman dari Ari lancar mengalir ke rekeningnya.
"Keduluan Nino, deh." ledek Tika. Dia seumuran Ari, tapi Tika sudah menikah dan sedang mengandung.
"Biarin. Uwak jadi nggak cepet punya cucu. Jadi Uwak tetap awet muda."
Yanti tidak marah, ia ikut tertawa bersama yang lain.
"Padahal kalau ada bang Ari pasti lebih ramai." keluh Nino merasa kehilangan.
"Nanti kalau Kamu nikah, Ari pasti datang." janji Yanti.
"Insyaa Allah..!' serempak mereka mendoakan.
"Sudah komplit semua bawaannya, Nisa? Siapin di meja depan, biar jangan ada yang ketinggalan." ujar Teh Yanah.
"Sudah siap, Teh." Iman yang menjawab.
"Udah siap semua, 'kan? Ayok Kita berangkat." ajak Hasby sebagai kakak tertua.
Perjalanan ke rumah Wiwi hanya membutuhkan waktu setengah jam lebih sedikit. Penerimaan mereka yang hangat membuat keluarga Iman sangat senang.
Wiwi adalah putri pertama dari 2 bersaudara sedang Nino adalah putra pertama dari 3 bersaudara.
Acara lamaran yang sederhana tapi sangat berkesan. Terutama untuk Iman dan Nisa. Bagi mereka ini adalah pengalaman pertama sebagai orangtua yang sebentar lagi akan menikahkan anaknya.
Setelah semuanya selesai dan malam semakin hening karena semua telah terlena dalam peraduannya, Iman dan Nisa berbaring dengan mata terbuka lebar menatap langit - langit kamar.
"3 bulan lagi." keheningan dipecahkan oleh suara serak Nisa. Ia banyak menangis malam ini. Menangis untuk kebahagiaan Nino.
Nisa melihat mata Nino begitu bercahaya saat menyematkan cincin di jari Wiwi, sang calon istri.
*********
"3 bulan lagi." Iman mengucapkan hal yang sama. Pernikahan Nino dan Wiwi ditetapkan 3 bulan lagi. Waktu yang singkat. Apakah mereka sudah siap?
Tidak ada percakapan diantara mereka. Hanya hati mereka yang terus berbicara sampai kantuk akhirnya datang menjemput dan melenakan mereka dalam mimpi berwarna abu - abu.
Iman ternyata tetap mengandalkan 'uang ikan' yang dipegang Nisa. Tak ada usahanya sama sekali. Tentu saja Nisa merasa kesal.
"Awas ya, 3 bulan ini Papah jangan minta uang untuk beli ikannya!"
"Lah, kok gitu?"
"Terus darimana tambahan buat Nino nanti? Apa Papah benar - benar ingin lepas dari tanggung jawab?" Iman terdiam.
"Papah cuma pengen tau beres, 'kan?" sungut Nisa lagi. Iman kesal, tapi ia tetap diam.
Bulan pertama masih aman. Para pemancing itu belum menyadari kalau ikannya tidak bertambah.
"Nggak ada ikan baru ya, Bang?" memasuki bulan kedua mulai ada yang melayangkan protesnya.
"Belum." jawab Iman pendek. Ia tidak tahu harus menjawab apa lagi.
"Kapan ditambahinnya, Bang?" Nisa yang mendengarnya mulai merasa kesal tapi juga iba pada suaminya yang terus di cecar para pemancing. Iman tidak berani membeli ikan karena Nisa yang melarangnya.
"Juned, Firman dan Anda.." Iman mengajak karyawannya untuk melalukan sesuatu pada siang harinya.
Apa yang mereka lakukan?
Mereka menjaring ikan lele yang ada di empang dan meletakannya pada box biru tempat mereka biasa membeli ikan.
"Kita turunkan saat ada pemancing yang datang. Biar Dia mengira Kita sudah membeli ikannya."
Itu siasat Iman untuk mengakali pemancing. Ia juga membeli beberapa kilo ikan lele di pasar untuk diceburkan ke empang. Tentu saja ikannya kecil - kecil.
Saat season pertama dimulai kabar sudah tersebar kalau Iman sudah membeli ikannya karena ada kesaksian dari pemancing yang pertama datang.
Ikan yang dibeli di pasar sangat cepat menangkap umpan.
"Nggak salah ini, Bos?" para pemancing tertawa mendapatkan ikan yang kecil - kecil seperti itu.
"Dari sananya udah di campur begitu, Bang! Saya terimanya udah begitu! Tapi yang gede juga banyak, kok!" kelit Iman.
Sepertinya tidak ada masalah. Pemancing senang, Iman juga lega.
"Mamah beli tempat tidurnya yang biasa aja ya, Nang? Bukan yang mahal. Tapi Mamah pilihin yang awet. Lemarinya juga."
"Iya, Mah. Nggak papa." Nino dan Wiwi memang anak baik.
Wiwi justru bertanya bagaimana mereka bila sudah menikah nanti.
"Kami ngontrak aja atau bagaimana, Mah? Sebelum Kami bisa ngambil perumahan."
"Kok ngontrak, sih?"
Tentu saja Nisa keberatan.
"Nino nggak mau tinggal di rumahku, Mah."
Nino menggeleng - geleng. Dia yang pendiam ini mungkin merasa canggung bila harus tinggal bersama mertuanya.
"Kalau begitu, Kalian tinggal di sini aja." Wiwi terlihat ragu - ragu.
"Nggak papa. Toh Nino memang punya kamar sendiri. Uang buat ngontrak bisa kalian kumpulin buat DP rumah."
Wiwi tersenyum.
"Aku harus ngasih berapa buat bantuin Mamah?" katanya lagi.
"Kok ngasih, sih? Simpan aja uangnya. Mamah udah cukup, kok." Nisa mengelus lembut lengan calon menantunya ini. Nisa hanya sebentar memiliki mertua. Ia tidak memiliki banyak pengalaman mengenai hubungan antara mertua dan menantunya.
Nisa tidak ingin menjadi mertua yang julid seperti yang ia tonton di sinetron - sinetron.
Ia ingin seperti mertuanya juga mama Wida, yang menyayangi menantunya seperti menyayangi anaknya sendiri.
Menjelang acara pernikahan, Nisa tersenyum lega.
"Alhamdulillah, semua sudah ada."
Semua Nisa siapkan sendiri tanpa meminta bantuan siapapun.
Tika datang untuk membantu. Ia justru terlihat kecewa melihat semua bawaan sudah dihias dengan cantik.
"Bibiii!"
*******