Viola yang punya sebuah butik baju cukup besar dan ternama, harus menikah dengan Arga Bagaskara. pemuda berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas akhir itu.
Viola mengabaikan kehadiran sang suami, karena berpikir Arga masih bocah dah belum dewasa.
bagaimana kisah selanjutnya, ikuti terus ya kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chustnoel chofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 27
Arga menatap wajah wanita yang kini terbaring di sampingnya, di bawah temaram cahaya senja yang merembes masuk dari celah jendela kamar mereka. Senyum puas mengembang di bibirnya, namun bukan semata karena kemenangan atau kebanggaan, melainkan karena rasa syukur yang membuncah dalam dada. Hari ini, untuk pertama kalinya, mereka menapaki puncak gunung asmara—sebuah pendakian suci yang hanya bisa ditempuh dua insan yang terikat dalam janji halal.
Ia menyibak sedikit anak rambut yang menempel di pelipis istrinya, lalu mengecupnya lembut.
"Terima kasih," ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan. "Untuk kepercayaanmu... untuk menyerahkan seluruh dirimu padaku, sepenuhnya."
Viola yang berada dalam pelukannya hanya tersenyum kecil. Ada rona merah yang merekah di pipinya, dan sorot matanya memancarkan kehangatan bercampur gugup. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Bibirnya sempat terbuka, lalu menutup kembali. Rasa malu menyergap, menyatu dengan canggung yang tak bisa ia sembunyikan. Tubuhnya masih terasa asing, terutama pada bagian yang kini terasa ngilu—tanda dari sebuah ikatan baru yang telah dimeteraikan.
Tangannya menggenggam ujung selimut yang menutupi tubuhnya, seolah mencari pegangan dari segala yang baru ini. Ia menunduk, menghindari tatapan sang suami.
Arga menyadari kegugupan itu. Ia menarik Viola dalam pelukan, mengusap pelan punggungnya seakan ingin meredakan segala rasa tak nyaman.
"Aku tidak akan menyentuhmu seperti ini jika kita belum menjadi satu dalam pernikahan," bisiknya lembut di telinga Viola. "Dan aku akan menjagamu, mulai hari ini dan seterusnya, bukan hanya tubuhmu... tapi hatimu juga."
Viola memejamkan mata. Dalam keheningan yang hanya diisi detak jantung mereka, ia merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan—campuran antara cinta, haru, dan rasa syukur. Perlahan, ia membalas pelukan itu, meski tubuhnya masih terasa lelah.
“Aku juga berterima kasih… karena kau tak hanya menginginkanku, tapi juga menikahiku,” jawabnya akhirnya dengan suara lirih.
Malam itu, tak ada lagi kata-kata yang perlu diucap. Hanya pelukan dan kehangatan dua jiwa yang kini telah menyatu. Dunia di luar mungkin tetap berjalan, tapi bagi Arga dan Viola, malam ini adalah awal dari perjalanan panjang sebagai sepasang suami istri—pendaki gunung cinta yang telah menemukan puncaknya, dan siap turun untuk mengarungi lembah kehidupan bersama.
Pelan-pelan, Arga mengusap kening sang istri yang masih lembap oleh sisa peluh. Sentuhan itu lembut, seperti doa yang ia kirimkan tanpa suara. Matanya menatap Viola penuh rasa syukur, seolah masih tak percaya bahwa wanita ini kini sepenuhnya miliknya—dalam ikatan yang sah, suci, dan diridhai langit.
Ada haru yang menggenang di dadanya. Ia adalah pria pertama yang menyentuh Viola, dan insyaallah, satu-satunya seumur hidupnya. Itu bukan hanya kehormatan, tapi juga tanggung jawab yang akan ia jaga sepenuh jiwa.
Viola terbaring dengan mata terpejam, napasnya perlahan mulai teratur. Di wajahnya masih tersisa semburat malu dan lelah, tapi juga damai yang menenangkan. Ia adalah wanita terhormat, yang telah menjaga dirinya dengan sangat baik hingga tiba waktunya ia serahkan seluruh dirinya pada satu-satunya lelaki yang sah dalam hidupnya.
Arga memiringkan tubuhnya, menatap Viola dalam diam. Jemarinya yang besar dan hangat menyusuri dengan lembut perut sang istri—perut yang masih rata, masih polos, tapi di sanalah kini ia gantungkan harapan. Harapan tentang kehidupan baru. Tentang sebuah titipan dari langit.
"Semoga ada kehidupan kecil yang tumbuh di sana," bisiknya pelan, seperti sedang berdialog dengan rahim sang istri. "Benih dari cinta kita... yang akan jadi buah manis dari malam ini."
Viola membuka mata perlahan. Tatapan mereka bertemu, dan dalam senyap, ia menggenggam tangan Arga yang masih menyentuh perutnya. Tidak ada kata-kata, hanya tatapan penuh cinta dan restu yang berbicara.
Dan malam itu pun kembali menjadi saksi—bahwa cinta sejati bukan hanya tentang rasa, tapi tentang penghormatan, pengorbanan, dan harapan yang dititipkan pada masa depan.
**
**
Pagi akhirnya menjelang, menyingkap tirai malam dengan sinar lembut yang menyusup masuk melalui jendela kamar. Cahaya keemasan menari di sela-sela kain gorden, menyentuh kulit Viola yang pucat dan masih lelap dalam kelelahan.
Perlahan, kelopak matanya terbuka. Pandangannya masih buram, pikirannya pun masih melayang di antara nyata dan mimpi. Tapi tubuhnya segera memberi isyarat yang jelas—ada nyeri yang terasa di bagian terdalam dirinya. Area inti tubuhnya terasa kebas, perih, dan asing. Ia menggeliat pelan, mencoba bergerak, namun tubuhnya seolah menolak bangkit.
Viola menghela napas pendek. Entah berapa kali Arga menerkamnya semalam—ia kehilangan hitungan. Yang ia tahu hanya satu: setiap sentuhan Arga dipenuhi rasa rindu, seolah ada cinta yang telah lama tertahan dan tumpah ruah hanya untuk dirinya.
Arga... suaminya... pria yang semalam menjelma menjadi musafir yang kehausan, dan dirinya adalah satu-satunya mata air yang bisa memuaskan dahaga itu. Setiap kali pria itu menatapnya, menyentuhnya, mencintainya, Viola merasa seperti pusat semesta yang menjadi tempat kembali.
Dengan susah payah, Viola mencoba duduk. Namun rasa nyeri di bagian bawah tubuhnya membuat ia mengerang kecil. Ia pun mengurungkan niatnya, membiarkan dirinya rebah kembali ke kasur.
Tak lama, Arga terbangun. Ia menoleh dan melihat Viola yang sedang menahan napas, menahan sakit. Tanpa banyak kata, ia segera mendekat dan duduk di sisi ranjang.
"Viola..." panggilnya lembut, jemarinya menyibak rambut istrinya yang mengembang. "Maaf kalau aku terlalu bernafsu tadi malam... Aku tak ingin menyakitimu."
Viola menatapnya, senyum lelah namun tulus tersungging di bibirnya. “Tidak... Aku tahu itu karena kau mencintaiku. Aku... hanya belum terbiasa.”
Arga menunduk, lalu mengecup keningnya penuh sayang. "Hari ini... biar aku yang merawatmu. Kau istirahat saja. Aku akan siapkan sarapan, atau apapun yang kau mau."
Viola mengangguk kecil. Dalam rasa perih yang masih menyisa, hatinya justru hangat. Sakit itu menjadi tak berarti, karena dibalut oleh cinta dan perhatian yang nyata.
Dan pagi itu, bukan hanya tubuh yang beristirahat—tetapi hati yang saling menyelimuti, dalam diam yang penuh makna.
Bersambung.
ga itu karena kamu masih sekolah sedangkan istri lo dah mempan jadi kaya ada jembatan
coba kamu biarpun dah sekolah ada bisnis sukses lulus sekolah ga ada tuh jembatan" ,
jadi dhani Thor yg bikin Vi trauma
aihhh cembukur ini mah tapi gengsi mengakui
tapi yg di bilang betul jg sama aja selingkuh kah dah nikah
adakah sesuatu
aihhh penasaran