Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.
Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.
Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Semua terlibat obrolan hangat, Kak Adam di juga terlihat sangat bahagia. Allah, semoga lancar sampai hari pernikahan nanti. Aku tak ingin hal buruk terjadi dan merubah semuanya dalam satu detik saja. Rencanamu tidak ada yang tahu Robb, tapi aku berharap akan sama dengan rencana kami hari ini.
Kegalauan ku saat ini hanya satu, kembali ke Darul Arkom. Semua baju telah aku masukan dalam koper, aku kembali meninggalkan kamar ini. Kamar yang menjadi persinggahan ku saat terpuruk, kamar yang menjadi saksi rapuhnya diri ini. Aku menghirup aroma nya untuk terakhir kali dan berjanji hanya akan datang lagi dalam keadaan yang bahagia tidak sedih seperti sebelumnya.
Kugeret koper keluar kamar, semua telah siap di mobil hanya tinggal menunggu aku saja.
"Selamat Neng! Semoga lancar sampai pernikahan. Tidak ada lagi air mata yang membanjiri pipimu, saat ini hanya tinggal menikmati kebahagiaan sampean."
Aku terlonjak kaget lalu menengok ke belakang, Azam dia tengah berdiri di belakangku. Mata itu memerah, sungguh aku tak bisa mengartikan tatapan itu. Begitu sayu, apa dia sakit? Atau cemburu karena mantan orang terdekatnya akan menikah dengan sahabatnya sendiri?
Belum aku sempat menjawab ucapannya Azam berlalu begitu saja. Jika sekarang aku sedikit berisi lain halnya dengan Azam dia sedikit kurus, dari terakhir kali kami bertemu. Aroma maskulinnya menguar di udara, menguasai indra penciumanku. Aroma itu tidak bisa aku lepas dari hidung ku yang bertahun-tahun mengirupnya.
Aroma yang sama dengan laki-laki yang menabraku di penerbit kemarin. Apa dia orang yang sama?
Azam, namamu tak bisa lepas dari pikiranku. Tapi kita takkan pernah bisa bersatu, kamu punya Aisha dan aku akan menikah dengan Kak Adam.
Saatnya kita ucapkan selamat tinggal pada kenangan di masa lalu, yang pernah terajut indah bersama dalam waktu tiga tahun lamanya.
Satu bulan berjalan dengan cepat, tidak terasa hari ini aku akan menikah, mengakhiri masa lajang. Semua telah tertata rapi, kamarku sudah disulap sedemikian rupa. Senyum mengembang dari semua yang hadir.
"Kamu cantik sekali, Nak. Adam pasti akan terpesona sama kamu!" bisik Umma Izzah saat selesai merias diri ini. Tak bisa di pungkiri jika aku memang cantik hari ini.
"Ini semua karena Umma yang merias jadi kelihatan cantik,"balasku.
Umma Izzah memutar tubuhku untuk berhadapan dengannya. Mata senjanya penuh binar, menatapku penuh kasih sayang.
"Semoga kamu bahagia, Nak! Telah banyak sakit yang kamu terima. Hari ini kamu akan masuk ke fase kehidupan baru, dengan status baru. Umma hanya bisa mendoakan kamu, Nak. Maafkan semua kesalahan Umma juga Azam,"ucap Umma Izzah.
Aku meraih tangan Umma Izzah mengelus pelan, bibir ini aku paksa untuk tersenyum. Aku ingin semua ikut bahagia hari ini, termasuk Umma Izzah.
"Alisha sudah maafin Umma juga Azam. Semua sudah jadi takdir kita, Alisha hari ini akan menjadi istri Kak Adam. Umma jangan sedih dan merasa bersalah lagi sama Alisha,"balasku untuk membuat Umma Izzah tidak sedih.
"Makasih, Nak! Semoga Allah memberimu kebahagiaan selalu."
Umma Izzah memeluk erat diri ini, haru menyeruak ke seluruh tubuh. Wanita yang dulu akan menjadi mertuaku, tak ubahnya seperti ibu kedua. Cinta, sayang begitu tulus. Rela meminta maaf meski bukan salahnya.
"Umma tinggal dulu ya! Acara setengah jam lagi mulai kamu zikir untuk kelancaran semuanya, Nak. Pamit Umma Izzah setelah melepas pelukanku.
Aku hanya mengangguk pasti, selepas kepergian Umma Izzah aku sendiri di kamar. Jantungku berdebar tak menentu, resah mengusik relung ketenanganku. Apa yang aku pikirkan saat ini? Mengapa air mata ini ingin menerobos mataku?
Bukankah ini sudah menjadi keputusan yang aku ambil? Mengapa aku masih saja ragu dan sedih. Tangaku meraih gagang laci lemari dibawah meja rias. Membuka pelan seiring debar jantung yang semakin menggila. Mataku terpejam saat benda didalam laci itu terlihat.
Surat dari Azam yang dititipkan pada Sarah juga kado yang dia berikan semalam. Dengan gemetar aku membuka isi kado dari Azam. Semalam tak sempat aku buka karena keburu menangis semalaman, membuat mata ini tak terpejam sedikitpun.
Perlahan aku buka bungkus kado itu, gemetar tangan ini. Azam mengapa kau perumit hatiku dengan ini? Tak tahukah dirimu jika belum sepenuhnya rasa ini sirna untukmu.
Parfum dari arab juga pashmina berwarna navy, warna kesukaanku. Yang dulu aku minta jika akan melamarku sebagai sederahan. Tangan ini meraih botol parfum yang lama ingin aku miliki. Menyemprotkan ke lengan tangan. Aroma parfum seketika menguar di udara menguasai indra penciumanku, memberikan sensasi yang menenangkan.
Mata ini berair, Allah mengapa hati ini belum bisa mantap sepenuhnya?
Hari ini aku akan jadi istri Kak Adam, tapi mengapa bayangan Azam masih berkeliaran di pikiranku? Membuat aku kembali ingat kejadian semalam.
Acara pengajian yang di adakan telah usai satu jam lalu, mba-mba pesantren telah istirahat selesai beres-beres.
Aku masih duduk di pendopo belakang, memandangi ikan emas yang belum tidur. Besok aku akan menjadi istri Kak Adam, seluruh hidupku akan habis bersamanya menemani dalam suka dan duka. Semua ini masih seperti mimpi,mimpi yang tak pernah aku inginkan.
Mimpi, Azam orang yang aku harapkan jadi imamku kini jadi adik ipar. Mimpi, Kak Adam yang hanya rekan duet novel tapi dia yang akan mengikat aku dengan janji suci pernikahan.
Sejenaka itukah takdirmu, Robb? Terkadang apa yang menurut kita benar. Namun, salah bagimu, yang menurut kami bukan yang terbaik,justru itu yang terbaik darimu.
"Neng.." suara yang tak asing lagi di telingaku membuat aku terlonjak kaget. Azam? Dia berdiri di belakangku dengan tenang. Mau apa dia? Jika ada yang tahu akan heboh untuk yang kedua kalinya.
"Maaf, gus. Aku mau masuk!" ucapku seraya berjalan menghindari Azam.
"Lima menit saja, Neng. Aku mau kasih ini!"
Langkah kakiku berhenti saat Azam berucap, bisa aku dengar langkah kaki itu mendekat ke arahku yang telah berjalan agak jauh.
"Aku hanya ingin memberikan hak kamu!" ucap Azam menyerahkan benda yang di balut kertas kado di tangannya. Dia berdiri di hadapanku.
"Apa ini Azam? Aku tidak ingin membuat Aisha salah paham kembali!" ucapku ketus.
Azam menarik lagi tangannya, raut wajahnya terlihat kusut sedikit pucat. Kantung matanya terlihat jelas, apa dia sakit? Lirih hati ini bertanya.
"Sesuatu yang menjadi hak kamu dan tertahan selama dua tahun lebih. Sesuatu yang selalu membuat aku sesak jika melihatnya, Neng."
Aku tak tahu maksud ucapan Azam, sesuatu apa yang dia maksud? Bahkan tertahan dua tahun lebih untukku.