Empat tahun berlalu, Jagat Hartadi masih larut dalam perasaan cinta tak berbalas. Dia memilih menjalani hidup sendiri, hingga suatu malam dirinya membantu seorang wanita yang pingsan di pinggir jalan.
Jenna, itulah nama wanita tersebut. Siapa sangka, dia memiliki kisah kelam menyedihkan, yang membuat Jagat iba.
Dari sana, timbul niat Jagat untuk menikahi Jenna, meskipun belum mengenal baik wanita itu. Pernikahan tanpa dilandasi cinta akhirnya terjadi.
Akankah pernikahan yang berawal dari rasa kasihan, bisa menjadi surga dunia bagi Jenna dan Jagat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33 : Bagai Bumi dan Langit
“Inggris?” ulang Jenna, seraya langsung mengalihkan perhatian kepada Haris.
“Ya. Itu juga jika kamu mau.”
Jenna terdiam memikirkan tawaran yang Haris berikan. Itu merupakan kesempatan baginya, agar dapat bertemu dengan Sakha.
“Aku tidak punya uang dan …. Bagaimana bisa pergi ke sana dengan keadaanku yang seperti ini. Aku tidak yakin,” ucap Jenna ragu.
“Kenapa?” Haris menatap tak mengerti.
Namun, Jenna tidak memberikan jawaban. Dia hanya menggeleng pelan, lalu mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Kembali diarahkannya pandangannya keluar jendela.
“Ini pasti sangat berat. Iya, kan?” Haris menghentikan laju kendaraan di halaman depan villa. Dia melepas sabuk pengaman, tetapi tidak segera keluar dari mobil. Pria itu justru setengah menghadap kepada Jenna, yang tak menoleh padanya.
Haris memperhatikan keadaan tubuh Jenna yang kurus dan kurang terawat. Ada rasa iba dalam hati kecil duda 50 tahun tersebut. Dia tahu betul bahwa dulu Jenna tidak seperti itu. Haris benar-benar mengetahui setiap inci dari tubuh indah Jenna. “Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya.
“Bagaimana aku bisa baik-baik saja? Hidup di dalam penjara sangat tidak nyaman,” jawab Jenna agak parau karena sambil menahan tangis.
“Kalau begitu, kembalikan dulu kesehatan mentalmu ____”
“Aku tidak gila,” sergah Jenna segera, seraya menatap tajam Haris.
Haris menggeleng pelan. “Ini bukan tentang gila atau semacamnya. Kamu butuh penyesuaian lagi untuk menjalani kehidupan di dunia luar. Semua pasti akan terasa berbeda karena kamu menghabiskan waktu cukup lama di penjara,” jelasnya hati-hati. “Kamu mengerti maksudku, Jenna?”
Jenna terdiam sejenak, kemudian mengangguk pelan.
“Bagus. Aku ingin kamu menenangkan diri terlebih dulu. Pulihkan seluruh pikiranmu, meskipun terasa sulit. Mentalmu harus sehat, agar bisa menghadapi semua kemungkinan dengan baik,” saran Haris.
“Aku sempat menemui Jagat Hartadi sebelum berangkat ke Belanda beberapa tahun lalu. Kami berbicara baik-baik. Namun, dia menekankan bahwa Sakha adalah putranya. Aku boleh menyayangi, tapi tidak untuk memiliki,” tutur Haris, dengan tatapan menerawang. Ingatannya kembali pada saat-saat di mana terjadi perbincangan serius antara dirinya dengan Jagat.
“Sebenarnya, aku dan Pak Jagat juga sempat melakukan perjanjian sebelum menikah. Dia mengatakan aku boleh pergi kapan saja dan melanjutkan hidup sesuai keinginan. Namun, Sakha tetap dalam tanggung jawabnya. Kupikir perjanjian itu tidak berlaku lagi karena hubungan kami mulai terjalin baik dalam beberapa waktu terakhir. Sayang sekali, tiba-tiba istrimu datang dan mengacaukan semuanya.”
Jenna menatap lekat Haris. “Kenapa Om tiba-tiba hadir di antara aku dan Pak Jagat? Apakah itu karena kebetulan atau …. Aku tidak yakin Om mengajak Pak Jagat bekerja sama murni karena alasan bisnis. Benar, kan?” Nada serta tatapan Jenna penuh selidik, tertuju lurus kepada Haris yang seperti tengah memikirkan jawaban.
Haris mengembuskan napas berat dan dalam, lalu membalas tatapan Jenna. “Ya. Kamu benar. Aku sengaja menawarkan kerja sama kepada Jagat Hartadi, dengan tujuan untuk menyelidiki kebenaran tentang keberadaanmu,” ungkapnya jujur.
“Dari mana Om mengetahui bahwa aku …. Apakah Kania?” Jenna menautkan alis, tanpa mengalihkan pandangan dari Haris.
“Ya. Dia yang memberitahuku bahwa kamu dinikahi Jagat Hartadi,” sahut Haris lugas. “Aku hanya ingin meminta penjelasan karena kamu melarikan diri saat tengah mengandung anak kita. Itu tindakan yang sangat konyol. Di saat wanita lain sibuk mencari pengakuan dan tanggung jawab dari anak yang dikandungnya, kamu justru melakukan hal yang berbeda. Dan aku tidak tahu alasanmu.”
“Alasanku hanya satu, yaitu karena Om tidak akan pernah menikahiku. Lalu, apa bedanya dengan membesarkan anak seorang diri tanpa ada sosok ayah?”
Jenna tidak mengalihkan perhatian dari Haris, yang juga menatapnya. “Aku dan istrimu bagaikan bumi dan langit. Untuk alasan apa pun, Om tidak akan pernah meninggalkannya demi wanita sepertiku. Jadi, aku tak mau terus-menerus mempermalukan diri. Biarlah kusisakan sedikit kehormatan, agar masih memiliki kebanggan di hadapan anakku kelak, meskipun ….”
"Semua tidak bisa kubersihkan seutuhnya. Noda dan dosa yang menyelimuti diriku selama ini. Aku juga tidak tahu harus bagaimana. Namun, dengan menjauh darimu, membuatku sedikit terhindar dari segala rasa bersalah."
Jenna terisak pelan. "Om tidak tahu betapa tersiksanya aku selama ini. Tanganku ... tanganku ini sudah berlumur darah. Tak pernah terpikir sama sekali, aku bisa menghabisi nyawa seseorang."
Linangan air mata terus membasahi pipi Jenna. "Aku memang mengatakan tidak menyesal karena telah membunuh istrimu. Akan tetapi, ada ketakutan yang terus menghantui dan membuatku sangat tertekan. Segala yang kuterima selama ini. Semuanya ...."
Haris tidak segera menanggapi. Dia ingin mendekap Jenna, sekadar menenangkan wanita itu. Namun, ada sesuatu yang menahan Haris. "Lupakan semua yang terjadi di masa lalu. Bukan hanya kamu yang membuat kesalahan. Kita berdua sama-sama merasakan dampak negatifnya," ucap pengusaha, yang bermukim di Belanda tersebut.
"Untuk saat ini, mari kita perbaiki diri. Aku sudah menjadi seorang ayah. Begitu juga denganmu yang telah menjadi seorang ibu, meskipun tidak merawat anak kita secara langsung. Aku tahu Jagat menjaga Sakha dengan sangat baik karena kami selalu berkomunikasi. Dia pasti mengabarkan setiap perkembangan Sakha. Itu sangat menakjubkan," tutur Haris, diiringi sorot penuh kebahagiaan.
"Tapi, tidak padaku sebagai ibunya. Aku bahkan tak pernah menerima foto Sakha."
"Aku yang melarang Jagat."
"Tapi, kenapa? Apa salahku?"
