Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : Between Us
Pagi itu, sebelum berangkat bekerja, Xavier terlebih dahulu singgah di rumah Zora. Ia membawa dua kotak sarapan yang sudah ia pesan lebih awal, seperti hari sebelumnya.
Saat tiba, Zora sudah berdiri di depan pintu dengan senyum lebarnya. “Tepat waktu seperti biasa,” sapanya ceria.
Xavier hanya mengangguk kecil. “Sarapan. Untuk Mama dan kau.”
“Aku tahu,” Zora mengambil kotak di tangannya. “Mama sudah menunggu di meja makan. Katanya, hari ini kamu tidak boleh kabur begitu saja.”
Xavier menarik napas, lalu mengikuti Zora masuk ke dalam rumah. Mama Anet sudah duduk dengan anggun di ujung meja makan, mengenakan piyama sutra biru muda, dengan cangkir teh di tangannya.
“Anakku datang juga akhirnya,” ucap Mama Anet begitu melihat Xavier. Matanya berbinar, entah karena kehadiran putranya, atau karena aroma sarapan yang mulai memenuhi ruangan.
“Aku hanya singgah sebentar,” kata Xavier pelan, duduk di kursi seberangnya.
“Sarapanlah dulu. Kita belum benar-benar menghabiskan waktu bersama sejak Mama datang,” sahut Mama Anet sambil mulai membuka kotak makanannya. “Lagi pula, Mama punya ide bagus.”
Xavier mengernyit. “Ide?”
Mama Anet menegakkan tubuhnya. “Liburan tiga hari. Hanya kita bertiga. Mama sudah menyiapkan tempat di pegunungan. Tenang, indah, jauh dari segala kesibukan.”
Xavier langsung menggeleng. “Aku tidak bisa. Minggu ini penuh. Jadwal padat.”
Zora yang duduk di samping Xavier menoleh cepat. “Tapi tidak ada salahnya menyisihkan waktu sedikit, kan? Lagipula, Mama memang sudah lama tidak menghabiskan waktu denganmu.”
“Kamu butuh rehat juga, Xav,” lanjut Zora, nada suaranya lembut, hampir seperti membujuk. “Tidak semuanya tentang pekerjaan.”
Xavier menoleh ke arah ibunya, yang kini memandangnya dengan penuh harap. “Xavier,” kata Mama Anet lirih, “Mama hanya ingin tiga hari. Tidak lebih. Anggap saja ini waktu kita, sebelum kamu kembali dikubur dengan tanggung jawabmu itu.”
Hening sejenak. Wajah ibunya, antusiasme Zora, semuanya menyatu menjadi tekanan yang pelan-pelan menggoyahkan penolakannya.
Akhirnya, ia mendesah panjang. “Baiklah,” ucapnya akhirnya. “Tiga hari.”
Wajah Mama Anet langsung berseri-seri. Zora pun tersenyum puas.
“Terima kasih, Sayang,” ujar Mama Anet, menepuk tangan Xavier dengan lembut. “Kau tidak akan menyesal.”
Xavier hanya mengangguk lemah, tidak yakin apakah ini keputusan yang tepat. Sebagian dirinya ingin kabur sekarang juga. Tapi di sisi lain… mungkin ini akan menjernihkan segalanya.
*
Malam itu, rumah Zora tampak lebih sibuk dari biasanya. Beberapa koper telah tertata rapi di depan pintu masuk, sementara Zora dengan semangat memeriksa daftar barang bawaan di ponselnya. Ia mengenakan kaus santai dan celana pendek, rambutnya diikat tinggi, dan wajahnya tampak berseri.
“Obat-obatan sudah dibawa?” tanya Mama Anet dari ruang tamu, sambil melipat sweater ringan ke dalam tas kecil.
“Sudah, Ma,” jawab Zora tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. “Kita akan berangkat jam tujuh pagi, kan?”
“Benar. Supir akan datang menjemput kita. Mama ingin sampai sebelum matahari terlalu tinggi,” ujar Mama Anet sembari mengecek dompet dan dokumen pribadi.
Zora melirik ke arah jam dinding. “Xavier belum datang?”
“Dia bilang akan mampir setelah selesai mengatur jadwal operasinya,” jawab Mama Anet, kali ini suaranya sedikit lembut. “Mama senang dia mengalah. Jarang sekali dia begitu.”
Zora tersenyum samar, namun ada kilatan tipis di matanya. “Xavier memang keras kepala, tapi dia tidak bisa menolak permintaan orang tuanya.”
Beberapa saat kemudian, suara mobil terdengar dari halaman depan. Zora langsung menghampiri pintu dan membukanya. Xavier muncul dengan setelan santai, mengenakan kaus abu-abu dan celana jeans. Di bahunya tergantung tas ransel hitam.
“Maaf, agak telat,” katanya sambil masuk.
“Kau datang tepat waktu,” ujar Mama Anet, berdiri dan menyambut putranya dengan pelukan singkat. “Kita semua sudah siap.”
Xavier memandang koper-koper di depan pintu, lalu menoleh pada Zora. “Kau bawa semua ini untuk tiga hari?”
Zora tertawa kecil. “Namanya juga perempuan. Siapa tahu butuh baju ganti lima kali sehari.”
Xavier hanya mengangguk pelan, lalu menaruh tasnya di sisi sofa. Ia tampak lelah, tetapi berusaha tetap terlibat dalam obrolan.
“Kita akan berangkat pagi, jadi istirahatlah malam ini,” kata Mama Anet. “Mama sudah menyiapkan kamar untukmu, seperti biasa.”
“Terima kasih, Ma.”
“Dan jangan bawa laptop kerja, ya,” Zora menambahkan sambil terkekeh. “Liburan artinya benar-benar liburan.”
Xavier tidak menjawab. Ia hanya mengangguk tipis sebelum pergi ke kamarnya untuk beristirahat.
Namun jauh di dalam hati, rasa gelisah itu belum hilang. Entah karena perjalanan yang akan datang, atau karena seseorang yang kini justru tak lagi muncul dalam hidupnya seperti dulu.
*
Pagi itu, Luna masih terbaring malas di sofa. Selimut tipis masih membungkus tubuhnya, dan gelas kopi semalam dibiarkan kosong di meja, bersanding dengan semangkuk sisa mie instan yang sudah dingin.
Ia menggulir layar ponselnya tanpa semangat, melewati deretan pesan masuk dan notifikasi tak penting. Hingga matanya tertumbuk pada sebuah postingan terbaru di Instagram. Akun itu milik Zora.
Foto koper-koper tersusun rapi di depan pintu rumah, disandingkan dengan sepasang tiket dan topi lebar. Caption-nya berbunyi:
"Finally! A short gateway with my love and his mama. Can't wait for these three beautiful days 💛✨ #shortvacay #qualitytime"
Luna mematung. Jari-jarinya berhenti menggulir, dan pandangannya terpaku pada emoji hati kuning yang terasa lebih menusuk dibanding warna merah darah.
Ia membalikkan badan di sofa, menghempaskan wajahnya ke bantal. Bukan karena iri, bukan karena patah hati. Ia hanya… merasa hampa.
Seolah ada kekosongan yang semakin meluas, makin tak berbentuk, makin sulit dijelaskan. Luna mencoba membenamkan pikirannya dalam logika, seperti biasanya.
Dia bukan milikku. Dia bukan siapa-siapaku. Dan aku yang memilih jalanku sendiri.
Tapi suara itu tak cukup kuat menutupi detak jantungnya yang tiba-tiba mengencang. Tak cukup mampu menghapus gambaran Xavier dalam benaknya, pria yang selalu muncul saat ia terluka, marah, bahkan saat ia diam.
Namun kini, Xavier pergi tanpa kabar. Tak ada pesan, tak ada panggilan, hanya jejak samar dari postingan seseorang yang kini menggenggam hari-harinya.
Luna menarik napas panjang, lalu bangkit dari sofa. Ia berjalan ke dapur, menyalakan air untuk menyeduh kopi, lalu membuka kulkas, mencari sesuatu untuk dimakan.
Tapi ia kembali terhenti. Karena ia sadar, ia hanya ingin sibuk agar bisa melupakan.
Tapi melupakan Xavier... ternyata bukan perkara sibuk atau tidak sibuk.
Luna menatap lemari es yang terbuka, kosong. Bukan karena tidak ada bahan makanan di sana—tetapi karena pikirannya kosong. Tangannya menyentuh sebuah kotak susu, lalu menariknya keluar hanya untuk meletakkannya di atas meja tanpa benar-benar berniat menggunakannya.
"Ini gila," gumamnya lirih, kemudian tertawa hambar.
Ia menatap bayangannya sendiri di pintu kulkas yang mengilap. Mata sayu, rambut berantakan, dan tatapan yang sulit dikenali. Itu bukan Luna yang ia kenal. Itu bukan dirinya yang biasanya tegar, bebas, dan tak peduli.
Ia butuh udara.
Dengan cepat, Luna mengenakan jaket panjangnya dan menggantung tas kecil di bahunya. Ia melangkah keluar apartemen, tidak tahu akan ke mana, hanya ingin menjauh dari ruang yang terlalu sunyi, terlalu banyak bayangan Xavier di dalamnya.
Langkahnya membawanya ke taman kecil dekat stasiun. Tempat yang dulu sering ia kunjungi untuk membaca atau sekadar menggambar sketsa di buku kecilnya.
Pagi ini, taman itu sepi. Hanya beberapa anak kecil bermain bola di kejauhan, dan seorang pria tua memberi makan burung merpati.
Luna duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang. Ia memejamkan mata, menghirup udara pagi yang segar, mencoba membersihkan pikirannya.
Namun bayangan Zora dengan koper dan senyum lebarnya kembali terlintas.
“Liburan bersama Xavier dan mama Anet,” ulang Luna dalam hati, getir.
Entah kenapa, ia merasa... tersisih. Seperti seseorang yang tak pernah menjadi bagian dari cerita, tetapi diam-diam berharap ada satu halaman yang ditulis untuknya.
Matanya terbuka pelan. Ia mengeluarkan buku sketsanya dari dalam tas, membuka halaman kosong, dan mulai menggambar. Garis demi garis, membentuk sosok pria dari belakang—duduk di pinggir tempat tidur, memandangi jendela dengan tubuh membungkuk sedikit ke depan.
Xavier.
Ia bahkan tak sadar bahwa tangan dan pikirannya masih memanggil nama itu.
"Aku harus berhenti," bisiknya.
Namun ujung pensilnya terus bergerak. Menggores bayangan, membentuk siluet, membingkai kenangan yang tak bisa diajak kompromi.
semangaaattt ya thor