NovelToon NovelToon
HAJ Kesempurnaan Kehampaan

HAJ Kesempurnaan Kehampaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Identitas Tersembunyi / Dunia Lain / Kutukan
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: Mult Azham

kehampaan dan kesempurnaan, ada seorang siswa SMP yang hidup dengan perlahan menuju masa depan yang tidak diketahui,"hm, dunia lain?hahaha , Hmm bagaimana kalau membangun sebuah organisasi sendiri, sepertinya menarik, namanya... TCG?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mult Azham, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BOLA

Wilayah Liar Skarnvale

Laila menahan langkah, "He-hei, bisa kita pergi saja?"

"Kenapa emangnya? Benda langka itu ada di depan mata," Vincent mencoba menarik Laila, tapi gadis itu tetap diam di tempat.

"Masalahnya bukan itu..." Laila menunduk sesaat. "Aku mengenal orang yang memimpin tempat ini."

Alis Vincent terangkat. "Apa kamu berasal dari sini?"

"Bukan.." Laila menjawab pelan. "Tapi aku tahu dia... karena keluargaku."

"Oh? Apa tempat bordir ini punya sesuatu, sampai keluargamu memiliki hubungan dengan mereka?" tanya Vincent, matanya sedikit menyipit penasaran.

Sekarang giliran alis Laila yang terangkat. "Kamu tahu keluargaku?"

Vincent menatap ke arah rumah bordir tiga lantai di depan mereka.

"Tentu saja aku tahu. Keluargamu itu pembunuh bayaran kan?" ucapnya santai.

"Setahuku, wilayah kalian jauh dari sini."

Laila menunduk, suaranya pelan. "Aku nggak nyangka kamu tahu tentang keluargaku. Apa kamu tahu semua hal di dunia ini?"

Vincent tersenyum kecil. "Tentu saja. Dunia ini saja."

Laila mengernyit. "Maksudmu, 'dunia ini saja'?"

Vincent hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke depan. "Kamu terlalu cepat untuk tahu soal itu." gumamnya datar

Laila mengerutkan kening, lalu menghela napas. "Haah… lupakan. Seperti yang kamu tahu, ada sesuatu yang jauh lebih besar dari tempat ini." Tatapannya tertuju ke bangunan bordir di depan mereka.

Tapi tiba-tiba ia menoleh lagi, buru-buru melanjutkan, "Tunggu. Apa kamu benar-benar nggak tahu soal ini? Kukira kamu tahu segalanya."

Vincent terdiam sejenak, lalu berbicara pelan. "Apa mereka tau.." Tatapannya kosong sesaat. "Aku hafal hampir segalanya, tapi... hubungan antara keluargamu dan tempat ini, tak ada satu pun yang muncul. "

Dia berbalik menatap Laila, sorot matanya penuh kesungguhan, jauh lebih serius dari sebelumnya.

"Laila," ucapnya pelan namun tegas. "Kau tahu soal Haj?"

"Haj?" Laila mengerutkan kening. "Itu apaan?"

Vincent menatapnya lekat. "Jadi, kamu tidak tahu, ya... berarti tidak mungkin kamu memilikinya." Ia melanjutkan, "Tapi, pernah dengar namanya? Mungkin ada cerita, bisik-bisik, atau legenda?"

Laila terlihat bingung, tapi tetap mencoba mengingat. Matanya kosong, alisnya mengernyit pelan.

"Hmm… nggak. Aku nggak pernah denger."

Vincent menghela napas panjang. "Sepertinya, benar seperti yang kamu bilang... tempat ini benar-benar aneh. Terlalu aneh."

"Berarti kalau begitu..."

Tapi Vincent langsung menyahut, "iya, kita harus masuk."

"Ah, kalau kamu aja sih nggak apa-apa." Laila sedikit kesal sambil menyilangkan tangan, tetapi tiba-tiba rasa penasaran muncul. "Kamu tahu tempat ini apa?"

Mata Vincent melirik ke arah bangunan, seolah tengah mempertimbangkan. "Tempat jahit-menjahit, mungkin," jawabnya.

Begitu melihat ekspresi Laila yang langsung tegang dan cemas, Vincent terkekeh pelan. “Haha, aku cuma bercanda. Aku tahu kok ini tempat apa.”

Laila mengerucutkan bibir sambil melipat tangan di dada. “Jangan bercanda soal beginian, Vin. Kita cari tempat lain aja, gimana?”

Vincent menatap Laila, matanya sedikit menyipit.

“Jadi, kamu nggak mau masuk karena ini rumah bordir… atau karena pemilik tempat ini mengenalmu?”

Laila menghela napas, lalu menunduk sebentar.

“Kalau cuma soal rumah bordir, aku nggak masalah. Tapi karena pemilik tempat ini kenal aku—nah, itu yang jadi masalah. Kenapa kamu tanya begitu?”

Vincent menatap Laila lama, tanpa bicara.

“K-kenapa?”

Vincent hanya mengangkat sebelah alis.

“Jadi… kalau wajahmu beda, seharusnya nggak akan ada masalah, kan?”

Laila langsung menyipitkan mata, curiga. “Yaa… harusnya sih begitu. Terus…?”

Matanya tiba-tiba membesar. “Jangan bilang!”

Vincent tertawa kecil dengan nada nakal.

“Yap, kamu benar. Aku tinggal ubah wajahmu saja, hehe.”

"Kamu bisa begitu?"

Vincent menyipitkan mata, mendekat perlahan sambil terus mengusap dagunya. “Umm... reaksimu membosankan.” Ia menghela napas pelan. “Tentu saja.”

Laila masih terlihat ragu.

“Tapi... kekuatanmu tuh jauh di bawah pemilik tempat ini. Kamu yakin?”

Vincent mengangguk tanpa ragu sedikit Pun.

...----------------...

Orang di luar rumah bordir

—"hei lihat, ada anak kecil masuk kerumah bordir"

-"mana mana?"

—"itu"

...****************...

Di dalam rumah bordir.

“Vincent, kamu yakin aku nggak bakal ketahuan?” suara Laila menggema di kepala Vincent, gelisah.

"Tenang aja." Vincent melirik ke depan. "Eh, ada orang."

Seorang wanita mendekat .

"Heii, sayang... tempat ini tidak boleh dimasuki sembarang orang—"

Tanpa sepatah kata, Vincent mengangkat tangannya ke udara.

Bruk!

Wanita itu langsung terjatuh ke lantai, tak sadarkan diri.

Laila menatap tubuh wanita itu yang tergeletak di atas lantai berkarpet merah, seperti tertidur lelap.

"...apa yang barusan kamu lakukan?"

Vincent tersenyum kecil. "Hanya... salah satu teknikku."

Suasana mendadak senyap.

Semua orang di lantai pertama rumah bordir menghentikan langkahnya, mata mereka tertuju pada Vincent dan Laila.

Beberapa wanita, mengenakan gaun malam dan korsase, perlahan menghampiri Vincent dan Laila.

“Mereka... semakin dekat” Ucap Laila dalam telepati.

Namun Vincent tetap tenang. Dari tubuhnya mulai terpancar aura samar—cahaya halus berwarna keperakan yang berdenyut pelan.

Laila mengernyit, terpana. “Itu... itu energi Aether?”

“Bukan,” sahut Vincent tenang.

“Ini Haj. Energi yang bisa dibengkokkan menjadi yang paling murni... sekaligus paling tercemar di dunia.”

Ia mengangkat tangannya, perlahan merentangkannya ke depan. Kelima jarinya terbuka, Seperti mencengkeram kekosongan yang bertenaga.

Seketika, udara di sekelilingnya bergetar pelan.

Wuuummm...

sebuah gelombang tak terlihat menyapu seluruh ruangan.

Bruk. Bruk. Bruk. Bruk. Bruk!

Kelima wanita itu roboh satu per satu, tubuh mereka jatuh ke lantai dengan lembut, seperti tertidur....

"Apakah kekuatan ini tidak terlalu membebanimu?" tanya Laila, masih menatap aura di sekeliling Vincent.

"Tenang saja," jawab Vincent dengan santai. "Aku hanya mengeluarkan sekitar satu persen dari total energiku. Ini belum seberapa."

Ia melirik Laila yang tampak bingung tapi juga penasaran.

"Aku tahu kamu ingin tahu lebih banyak tentang kekuatan ini. Nanti akan kujelaskan semuanya. Tapi sekarang... kita harus fokus pada tujuan awal."

Laila mengangguk pelan.

Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari arah tangga kayu. Beberapa pria bersetelan rapi menuruni tangga dengan wajah waspada, sementara sejumlah wanita berdiri di belakang mereka—samar di balik cahaya lampu gantung.

Vincent menoleh ke arah Laila.

Laila mengangguk. Kali ini, tubuhnya memancarkan energi samar berwarna biru keunguan.

"Biar aku saja yang urus," pesannya singkat sebelum menghilang dalam sekejap.

"...?"

Gedubrak!

Sebelum Vincent sempat memproses apa yang terjadi, seluruh orang di lantai pertama—pria maupun wanita—serempak ambruk. Tak satu pun tersisa berdiri.

Vincent terdiam. Matanya membelalak, bukan karena takut... tapi takjub.

"...Laila?"

Ia tidak bisa berkata-kata. Kecepatan dan kekuatan gadis itu benar-benar di luar dugaannya.

(Ranah...

Bentuk perwujudan dari eksistensi yang belum diketahui.)

Vincent dan Laila sontak menoleh ke arah pintu masuk.

Sebuah makhluk kecil—berbentuk kotak, dengan sayap yang berdengung lembut—melayang masuk. Tubuhnya terlihat kenyal, seperti terbuat dari slime yang bersinar dengan cahaya lembut.

“Kamu?!” seru Vincent dan Laila bersamaan. Keduanya saling menoleh satu sama lain, lalu kembali memandangi makhluk itu.

“Kenapa kau di sini?” tanya Vincent.

(aku kesini karena disuruh Tuan, ceritanya begini)

(begitu)

"Ooh..." Vincent mengerutkan dahi. "Apa itu tadi? Kami seolah... langsung melihat pembicaraanmu dan Azam, seperti kami ikut hadir di sana?"

Makhluk itu berputar sekali di udara dan menjawab:

(Itu disebut... hmm, bisa dibilang Ilusi Kilas Balik. Atau lebih tepatnya, Simulasi Memorik Proyeksi. Kalian boleh menyebutnya apa saja.)

Vincent dan Laila mengangguk bersamaan.

“Kalau begitu... apa yang bisa kamu lakukan?” tanya Vincent sambil menyilangkan tangan.

(Tenang saja. Kalian mendapat lima permintaan. Tuan telah menghabiskan sepuluh Poin untuk ini.)

Vincent mengernyit. “Jadi... ini nggak gratis?”

(Gratis? Hmm...)

Makhluk itu tampak memutar tubuhnya perlahan.

(Apa itu... gratis?)

Vincent dan Laila saling memandang sebelum menghela napas bersamaan.

“Berarti kamu tidak terlalu berguna. Hus, hus, pergi sana,” ujar Vincent sambil melambaikan tangan seperti mengusir kucing liar.

(Tidak bisa. Ini perintah langsung dari Tuan.)

Dalam telepati, suara Vincent terdengar, “Jadi... gimana ini?”

“Tinggal nggak dipakai aja, gampang itu,” sahut Laila santai.

Vincent langsung mengangguk cepat. “Lah iya, bener juga. Kalau begitu, kita lanjutkan misinya.”

Dengan keputusan bulat yang tidak terlalu dramatis, keduanya berbalik dan berjalan menuju tangga kayu besar yang melengkung ke lantai atas.

Sistem melayang mengikuti mereka, perlahan...

(...jangan... tinggalkan... sistem...)

Suaranya memudar, seperti suara boneka rusak yang sedih.

......................

......................

Lantai 3 Rumah Bordir

“S-siapa kalian…?” suara perempuan itu gemetar. Ia berdiri di hadapan Vincent dan Laila, dengan jendela besar di belakangnya.

Di tiap lantai, tubuh-tubuh tergeletak. Hening.

Vincent melangkah maju—perlahan. Perempuan itu panik. Ia jatuh duduk, lalu mundur sambil menyeret tubuhnya ke belakang, hingga punggungnya membentur dinding kayu yang dingin.

Vincent berjongkok di hadapannya, pandangannya tajam menekan.

"Tinggal kamu katakan saja. Apa susahnya?"

Ia mengangkat tangan. Jari telunjuknya mengarah tepat ke dahi perempuan itu.

“...Apa kamu tidak sayang nyawa?”

Saat ujung telunjuk Vincent hampir menyentuh kulit keningnya, perempuan itu menjerit pelan.

“I-iya! Iya! Di… di kotak itu!”

Tangannya gemetar menunjuk sebuah kotak kayu merah yang terletak di atas meja kecil.

“Di situ… ada kunci ke gudang. Aku... aku bisa tunjukkan jalannya... asal jangan bunuh aku…”

Vincent menatapnya lama, matanya menyipit seolah menilai apakah ia berbohong.

“Laila. Periksa kotaknya. Hati-hati.”

Laila tak berkata apa-apa, hanya mengangguk dan melangkah maju. Sepatunya berderit pelan di atas lantai kayu saat ia mendekati meja. Dengan hati-hati, tangannya menyentuh kotak kayu. Perlahan, ia membuka penutupnya...

"Benar. Ini sebuah kunci," ucap Laila tenang, lewat telepati.

Vincent mengangguk singkat.

"Sekarang, tunjukkan kepada kami letak gudangnya."

......................

Mereka berdua lalu mengikuti wanita itu menuruni tangga. Setelah beberapa langkah, mereka tiba di sebuah ruang rahasia yang mengarah ke ruang bawah tanah.

Di sana, berdiri sebuah tangga batu spiral yang melingkar ke bawah, tenggelam ke dalam kegelapan

Setelah tiba di dasar, mereka mendapati sebuah pintu besar yang tampak kuno. Pintu itu terbuat dari batu tua, dengan permukaan yang dipenuhi ukiran samar. Wanita itu mengambil kunci dari kotak kecil dan memasukkannya ke dalam lubang kunci yang terletak di tengah pintu.

Klik!

Suara kunci berputar pelan, diikuti derit berat saat pintu mulai terbuka

Ruangan di baliknya dipenuhi dengan tumpukan emas dan barang-barang berharga, namun itu bukan yang mereka cari.

Di tengah ruangan, sebuah benda bersinar lembut—memancarkan cahaya biru yang aneh dan tidak wajar.

"Di... sini tempatnya. Silakan," ucap wanita itu pelan. Nada suaranya terdengar gugup, dan wajahnya tampak murung.

Laila dan Vincent tanpa ragu melangkah masuk. Di setiap sudut ruangan, sihir cahaya berpendar lembut, menerangi jalan mereka. Mereka mendekati benda di tengah ruangan—sebuah bola bercahaya kebiru-biruan yang memancarkan energi kuat, seolah menyambut kedatangan mereka.

“Waaau, indah sekali,” ucap Laila, wajahnya hampir menempel pada bola bercahaya itu. “Aku merasakan energi yang sangat kuat.”

Tiba-tiba, matanya menyipit sedikit. Ada sesuatu yang terasa familiar. “Ini…”

“Benar,” jawab Vincent langsung. Ia mengangkat tangan, memperlihatkan pancaran energi Haj yang bersinar lembut di telapak tangannya. “Bola ini... penuh dengan energi Haj.”

Laila menatapnya sejenak, lalu beralih kembali ke bola itu. “Ini benar-benar mirip…"

Di belakang mereka, wanita itu terbelalak. Matanya membelalak lebar, napasnya tertahan karena terkejut. Apa itu... energi dewa? Bagaimana mungkin dia bisa memilikinya? pikirnya, tak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Aku tidak boleh terlibat lebih jauh. Sudah kuduga mereka bukan orang biasa karena mereka bisa mengalahkan semua orang di atas ranah Ascended Mortal.

Perlahan, ia mundur, tubuhnya nyaris tak seimbang. Tangannya yang gemetar terulur, mencoba meraih kunci yang masih tertancap di pintu batu.

Sistem mengawasi setiap gerakan wanita itu dengan cermat. Ia mendeteksi niat buruk yang tersembunyi di balik tindakannya, sementara Laila dan Vincent tetap terfokus pada bola bercahaya di depan mereka.

Sistem pun bergerak perlahan, mendekati keduanya.

Seolah hendak memberi peringatan.

Tapi tidak.

"..."

Ia hanya diam. Mengawasi.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Wanita itu merasakan tatapan dari entitas itu dan segera terperangah. 'Kenapa hewan itu memperhatikanku?' pikirnya, bingung dan cemas.

Dia memperhatikan dengan ketegangan saat kehadiran itu terbang mendekati Laila dan Vincent. Wanita itu menelan ludah, matanya tidak lepas dari gerakan sistem yang terus diam. Waktu berlalu, dan tidak ada yang terjadi.

'?' Wanita itu berpikir sejenak, bingung. 'Kukira hewan itu makhluk pintar, sepertinya aku terlalu khawatir.'

Dengan rasa lega yang masih terbalut ketidakpastian, wanita itu menarik kunci pintu dan, dengan gerakan perlahan, pintu itu tertutup kembali. Namun, suara pintu yang mulai tertutup terasa sangat samar, tertutupi oleh suara bola bercahaya yang mengeluarkan suara bergetar di sekelilingnya."

...----------------...

"Nah, kita sudah mendapatkan benda langkanya. Tugas kita selesai," ujar Vincent dengan senyum puas.

"Eh? Bukannya kita harus mencari dua benda langka?" tanya Laila, kebingungan.

"Dua benda langka? Aku tidak mendengar kalau kita harus mencari dua," jawab Vincent sambil mengernyitkan dahi. "Apa kamu yakin kamu tidak salah dengar?"

"Emm, aku juga tidak ingat..." Laila meragukan dirinya sendiri.

Krat! Pintu besar itu tertutup dengan suara keras, mengalihkan perhatian mereka. Kedua mata mereka langsung tertuju ke arah suara itu. Tiba-tiba, ruangan menjadi gelap, meski cahaya dari bola energi di tengah masih memberikan sedikit penerangan.

"Wanita itu..." gerutu Laila, nada suaranya dipenuhi amarah.

Vincent menghembuskan napas dan melihat ke arah sistem. "Kamu yang terbang."

"Apakah saya?" tanya sistem.

Vincent mengangguk. "Iya, benar. Apa kamu bisa mengeluarkan kami dari sini?"

"Mengeluarkan kalian berdua... berarti dua perintah sekaligus?"

"Wah, kamu perhitungan banget ya," Vincent mendengus, matanya menyipit. "Iya, iya."

"Baik, aku bisa. Beritahukan saja jika kalian ingin keluar sekarang," jawab sistem, nada suaranya terdengar ringan dan ceria.

Vincent berbalik dan menatap bola energi yang terletak di meja. Tanpa ragu, dia berniat untuk mengambilnya.

Duk!

Tiba-tiba, suara detakan jantung yang keras terdengar, tepat saat ia hendak menyentuh bola itu.

'Kenapa aku deg-degan seperti ini?' pikir Vincent, matanya terfokus pada bola energi di depannya. Ia hampir menyentuhnya, namun berhenti sejenak. 'Ah, sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja.'

Begitu Vincent menyentuh bola itu, pandangannya tiba-tiba gelap. Sekelilingnya menjadi gelap gulita, seolah dunia di sekitarnya lenyap begitu saja.

"Aku di mana?" pikirnya, kebingungan. "Laila? Makhluk aneh? Kalian di mana?"

Sunyi... Tak ada suara lain, hanya napasnya sendiri yang terdengar keras di antara keheningan yang menyesakkan.

Tiba-tiba, beberapa tangan muncul dari belakang—dingin, asing—mencengkeram tubuh Vincent. Kepala, tangan, kaki, pinggang, pundak—semuanya ditahan oleh genggaman yang kuat, menariknya perlahan ke belakang.

Vincent merasa seperti tenggelam dalam kehampaan. Kesadarannya mulai kabur, dan perasaan tenang perlahan menyelimuti dirinya.

"Tidak... ini aneh," pikir Vincent. Jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba memberontak, berusaha melepaskan diri dari tangan-tangan yang membelenggunya.

"Aaaaaaaah!" teriaknya, suaranya menggema di ruang kosong yang tak berujung.

Tiba-tiba, suara tawa terdengar—tajam dan menggema dari arah yang tak terlihat, seolah muncul dari kegelapan itu sendiri.

hAhAhAhA... heHeheHe...

Akhirnya kita bertemu kembali, saudaraku..."

Suara itu terdengar mengenalinya—dalam, berat, dan menggetarkan.

"Siapa? Siapa kamu? Siapa yang kau panggil saudara? Lepaskan aku!"

teriak Vincent sambil terus berjuang keras melepaskan diri dari cengkeraman itu.

Kamu... sau-da-ra... kuuuuu...

Mau... pergi... ke-ma-naaa... hEHehe...

Tawa itu meledak—melengking dan liar, bergema di setiap sudut kegelapan, seolah mengepung dan menekan jiwanya dari segala arah.

Tawa itu semakin keras, seakan-akan mengelilinginya, semakin menekan jiwanya.

Tiba-tiba, suara yang lebih familiar terdengar, seperti sebuah suara yang sangat dekat dan jelas dalam pikirannya.

"Vincent..."

"Vincent..."

"Sadar, Vincent..."

Suara itu semakin jelas, semakin kuat.

"VINCENT!"

Vincent terbangun dengan kaget. Tubuhnya terlonjak dari tempatnya.

"Waaah! Wah!"

Ia terengah-engah, keringat dingin membasahi dahinya. Rasa takut dan kebingungan masih menyelimuti dirinya.

"A-Apa yang terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" tanya Vincent, suaranya terdengar gemetar, matanya masih penuh kebingungan.

Dia menatap Laila yang kini berdiri di depannya. Di antara mereka, bola energi itu tergeletak di lantai, sepertinya jatuh dari tangannya tanpa dia sadari.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Laila, wajahnya begitu dekat dengan Vincent, tampak cemas.

Vincent terkejut, sedikit mundur karena jarak mereka yang terlalu dekat. "Ah, iya... sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya lagi, masih merasa bingung.

"Aku... tidak tahu. Tiba-tiba saja kamu berteriak saat memegang bola ini," kata Laila sambil menunjuk bola energi yang kini tergeletak di lantai.

Vincent menatap benda itu dengan dahi berkerut, wajahnya masih dibayangi kebingungan. Ia lalu menoleh kembali ke arah Laila.

"Benarkah begitu?"

Laila mengangguk pelan.

Vincent kembali menatap bola energi itu. Perasaan aneh dan ketidakpastian mulai merayap dalam dirinya. Ada sesuatu yang tak beres—sesuatu yang ia rasakan kuat, tapi tak bisa dijelaskan.

Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Lalu, Vincent menarik napas pendek dan berkata, masih menatap bola itu,

"Baiklah, kita keluar sekarang."

Ia menoleh pada Laila dan menambahkan,

"Emm... soal bolanya..."

Laila langsung menimpali, "Tenang saja. Biar aku yang bawa."

Laila menyentuh bola energi itu, dan seketika, sejumlah mata mulai bermunculan satu per satu di seluruh ruangan—di dinding, atap, lantai, bahkan di tempat ia berpijak.

Ia terkejut, namun tetap terkendali. Matanya sedikit membelalak, tapi tubuhnya tak banyak bergerak. Ketegangan mengalir dalam dirinya, tapi ia berusaha tetap tenang.

Laila mengusap matanya. Begitu ia melakukannya, mata mata aneh itu perlahan lenyap, seolah tak pernah muncul. Ruangan kembali seperti semula, tanpa jejak kejadian yang baru saja terjadi.

Dalam hati Laila bertanya, 'Halusinasi?'

Suara Vincent terdengar, memecah keheningan. "Laila, kenapa?"

Laila menoleh cepat, "Hah? Ooh... nggak apa-apa," jawabnya, mencoba terlihat santai meskipun dalam hatinya masih merasa aneh.

Vincent, beralih menoleh ke arah Sistem. "Oi, makhluk kecil, siapa namamu?"

Sistem memproses pertanyaan itu sejenak, lalu menjawab dengan nada datar, "Saya tidak punya nama."

Vincent mengangkat alis. "Kamu nggak punya nama? Kalau Tuan Azam biasanya memanggilmu apa?"

Sistem menjawab dengan singkat, "Kalau Tuan memanggilku 'Sistem.'"

Vincent mengangguk ringan. "kalau gitu, Sistem. Kami sudah siap."

1
Ryuu Ryugem
lanjut thor seru cerita nya
anaa
numpang singgah💐
🍁Ang❣️💋🅂🅄🄼🄰🅁🄽🄸👻ᴸᴷ
mampir
Daisuke Jigen
Senang banget bisa menemukan karya bagus kayak gini, semangat terus thor 🌟
Paola Uchiha 🩸🔥✨
Ngakak guling-guling 😂
Gái đảm
Waw, nggak bisa berhenti baca!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!