Aira tidak pernah berharap menikah untuk kedua kalinya. Namun dia menyangka, takdir pernikahan pertamanya kandas dengan tragis. Seiring dengan kepedihan hatinya yang masih ada, takdir membawanya bertemu dengan seorang pria.
"Aku menerimamu dengan seluruh kegetiran dan kemarahanmu pada seorang lelaki. Aku akan menikahimu meski hatimu tidak tertuju padaku. Aku bersedia menunggu hatimu terbuka untukku," ujar pria itu.
"Kamu ... sakit jiwa," desis Aira kesal sambil menggeram marah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu sakit jiwa
Sebelum kembali duduk, Ibrar menoleh pada Aira. Ingin mencoba mencari tahu. Namun Aira sepertinya juga tidak paham apa yang akan di katakan oleh ayahnya. Perempuan ini bingung ayahnya menyuruh Ibrar tetap duduk di sana.
"Duduk saja, Nak Ibrar ...," ujar ibu sambil tersenyum. Akhirnya Ibrar pun duduk lagi.
"Aira, tidak ada orang tua yang tidak ingin anaknya bahagia. Ayah dan ibu selalu ingin kamu bahagia. Meskipun kadang jalan pikiran kita tidak sama." Aira mendengarkan ayah bicara dengan banyak praduga di otaknya tentang inti dari pembicaraan ayahnya. "Ayah mendengar soal Ibrar yang melamarmu."
Tidak. Jangan bahas itu.
Ibrar menundukkan pandangan saat manik mata Aira melihat ke arahnya. Wanita itu seperti naik darah.
"Ayah dan ibu setuju jika Ibrar menikahimu. Jadi, permintaan ayah adalah ... menikahlah dengan Ibrar," lanjut ayah yang membuat daun telinga Aira serasa memerah panas.
Bukan aku Aira. Aku tidak pernah membahas soal pernikahan pada ayahmu. Ini pasti ulah Wira, racau Ibrar dalam hati saat manik mata Aira kembali menatapnya. Lebih tajam dan dingin. Ibrar tidak bisa berkata apa-apa.
"Ayah ... Aku tahu ini mungkin adalah hal baik untukku, tapi maaf ... aku enggak ..."
"Bukalah hatimu untuk Ibrar. Ayah sangat ingin melihatmu dengan seorang suami lagi. Melindungi dan menjagamu." Ayah memotong kalimat Aira.
"Aira bisa jaga diri ayah," keluh Aira memohon.
"Kamu tidak bisa mengabulkan permintaan Ayah?" tanya Ayah dengan wajah mengiba.
"Bukan begitu, Ayah ..."
"Jadi terimalah lamaran Ibrar. Menikahlah anakku." Tangan ayah menyentuh punggung tangan putrinya. Seperti sedang memohon. Melihat ini hatinya miris. Ingin berteriak dan marah.
Aira langsung bangkit dari kursinya dengan cepat. Ibrar menoleh kearah tubuh Aira. Perempuan itu berdiri menjulang di sebelahnya yang masih duduk.
Bila itu sudah menyangkut soal orangtua, Aira sebenarnya tidak sanggup. Jadi dia menggeram dalam hati dan keluar dari ruangan. Tidak ingin kemarahannya memuncak di sini.
Mengapa begini? Mengapa harus seperti ini?
Ai mengusap wajah dan rambutnya di balkon rumah sakit. Memandang jalanan di bawah sana dengan mata merah ingin menangis.
"Ai ...," tegur Ibrar yang ternyata mengikuti Aira yang berlari keluar tadi. Aira segera mengusap airmata di ujung matanya. Menatap pria yang tak lain adalah atasannya itu dengan sendu, penuh pertanyaan dan marah.
"Lamaranmu sudah sampai pada ayahku. Kamu puas?" Aira berkata dengan menahan amarah di dadanya. Ibrar terdiam melihat mata itu berkaca-kaca. Menatap perempuan yang berusaha menahan perih di hatinya dengan sekuat tenaga.
"Maaf. Aku memang puas saat orangtuamu ternyata mendengar lamaranku tanpa perlu aku mengatakannya dan menyetujuinya, tapi ... aku semakin puas jika kamu yang menerima lamaranku. Tujuanku adalah kamu, kemudian orangtuamu. Namun jika yang menginginkanku hanya orangtuamu, apalah arti lamaranku."
Aira membuang muka. Ibrar tidak membantah tuduhan Aira. Dia justru seperti sengaja mengakui bahwa memang mengatakan soal lamaran itu pada kedua orangtua Aira.
"Aku menginginkanmu, Ai." Ibrar mengatakan hal indah itu saat hati Aira belum bisa menerima apapun yang berkaitan dengan cinta laki-laki dan perempuan. Hingga kalimat itu lewat begitu saja di relung hati perempuan ini.
Ibrar membiarkan Aira mengabaikannya dengan terus saja melihat keluar balkon. Mengawasi orang-orang yang pastinya bertujuan seputar mengantar orang sakit atau menjenguk. Pria ini diam sambil berdiri bersandar pada dinding pagar balkon. Menciptakan keheningan yang panjang di antara mereka.
"Meskipun aku menolak, orangtuaku pasti memaksakan pernikahan ini. Karena merasa pasti sangat mengenalmu dengan baik. Kamu tahu, itu artinya kamu membebaniku." Aira mengatakan itu tanpa melihat ke arah Ibrar.
"Maaf."
"Bisakah kamu membantah bahwa kamu sudah melamarku? Katakan pada orangtuaku bahwa kamu tidak pernah mengatakannya." Kali ini kepala Aira menoleh ke arah Ibrar yang bersandar pada dinding pagar tak jauh darinya. "Bisakah kamu memperbaiki pemikiran orangtuaku bahwa kamu adalah pilihan terbaik mereka? Bisakah?"
"Bisakah kamu memberiku sedikit kesempatan?" Ibrar tidak memberikan jawaban atas pertanyaan Aira, tapi dia memberi perempuan ini pertanyaan.
"Jadi kamu tetap maju meskipun aku tidak menginginkan pernikahan ini?" tanya Aira menggebu.
"Aku bersungguh-sungguh memintamu menjadi istriku, Ai."
"Ibrar!" teriak Aira marah. Aira berdecak kesal dan marah. Ibrar tidak mempedulikan teriakan marah perempuan ini. "Aku tidak tahu harus berkata apa lagi padamu. Aku ini tidak ingin menikah. Aku tidak mencintaimu!"
"Aku tahu."
"Tahu? Lalu? Kenapa kamu tetap memaksa ingin menikahiku?"
"Karena aku mencintaimu."
Aira mendesis kesal mendengar pernyatsan cinta Ibrar. " ... dan aku tidak. Jika kamu memaksa, bisakah kamu menerima itu saat kita menikah nanti?" Aira merasakan wajahnya panas karena marah. Dia tidak bisa lagi memendam perasaan ini. Ia harus berkata jujur.
"Aku menerimamu dengan seluruh kegetiran dan kemarahan hatimu pada seorang lelaki. Aku akan menikahimu meskipun hatimu tidak tertuju padaku. Aku bersedia menunggu hatimu terbuka untukku," ujar Ibrar bertekad kuat.
"Kamu ... Kamu sakit jiwa," desis Aira tidak menahan-nahan rasa marahnya lagi dan berlalu pergi meninggalkan Ibrar. Memandangi punggung perempuan ini dari belakang sambil berbisik lirih ...
"Aku memang merasa jiwaku sakit, Ai. Karena aku terlalu menginginkanmu saat ini."
Pernikahan Aira sudah tidak bisa di elakkan lagi. Demi memenuhi keinginan kedua orangtuanya, Aira menerima lamaran Aira. Walaupun berat hati, Aira berusaha bersikap biasa saja. Pasrah. Dia sudah bertekad mengabaikan perasaannya sendiri demi orangtua. Apalagi yang bisa dia lakukan selain membahagiakan mereka. Sebagai anak dia wajib melakukan itu.
Pernikahan mereka berdua berjalan dengan khidmat dan suka cita dari kedua keluarga. Berbanding terbalik dengan hati Aira yang penuh luka. Namun tidak ada yang bisa tahu bagaimana keadaan hati perempuan ini sebenarnya. Kecuali Ibrar sendiri tentunya.
Tidak banyak orang yang datang di pesta pernikahan kecil ini. Pesta yang di adakan secara pribadi di resto yang dipilih keluarga Ibrar. Karena undangan yang di sebar juga terbatas. Namun tetap ada Pak Yuta dan Pak Wira ardenata selaku pemilik mall. Yeri dan Pima juga pasti ada karena tidak mungkin Aira tidak mengundang mereka.
"Keinginanmu tercapai, Brar." Yuta berceloteh sambil menepuk dada Ibrar.
"Aw ...," keluh Ibrar menahan tepukan Yuta.
"Hei, jangan menyakitinya sekarang. Dia harus fit untuk nanti malam," ujar Arden sang bos membela juga meledek. Yuta terkekeh. "Aku tidak menyangka Ibrar sedang mengejar karyawanku."
"Sejak awal. Sejak pertama, Ar." Yuta menunjuk-nunjuk Ibrar yang terlihat menawan memakai setelan jas putih.
"Oh, ya? Aku tidak bisa menemukan itu." Arden merasa kecolongan. Ibrar hanya tersenyum tipis.
"Tapi aku dengar, dia ...." Arden tidak meneruskan kata-katanya karena tatapan Yuta.
"Ya. Dia bukan single lagi. Dia seorang janda." Tentunya saat Ibrar mengatakan ini, dia sudah memastikan bahwa sekitarnya tidak banyak orang. Dia melihat situasi dengan ekor matanya. Arden mengangguk paham. " ... tapi dia perempuan berharga untukku," sambung Ibrar dengan tatapan matanya yang begitu menyayangi wanita dengan senyum tipis di sana. Yuta dan Arden akhirnya sangat paham.
banyak pelajaran yang di dapat
berharap ada bonchap sampai aira melahirkan
masih terbawa kesel sm nara dan eros
rasa sakit dan trauma aira belum sebanding sakitnya nara dan penyesalan eros
Aira masih sangat ingin dekat eros
Buktinya dia masih g bisa move on
Kesan nya kayak perempuan bodoh
Anak dalam nikah meninggal
Jadi aira ga da iktan lagi
kalo Aira, kakaknya Ibrar dijodohin sama Yuta gimana y...?