"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30: Kabut Biru dan Protokol Darurat
Jakarta, Tiga Hari Setelah Kasus Pertama.
Langit Jakarta tampak kelabu, seolah mencerminkan kecemasan yang menyelimuti kota. Jalanan protokol yang biasanya macet parah kini lengang. Hanya terlihat beberapa ambulans yang meraung-raung membelah kesunyian, membawa pasien dengan gejala sesak napas akut.
Wabah itu dinamai "Flu Biru" oleh media massa, merujuk pada gejala khas penderitanya: bibir yang membiru akibat kekurangan oksigen dalam waktu singkat.
Di dalam Menara Rasa Nusantara, suasana tidak kalah tegang.
Rian berdiri di depan layar raksasa di ruang "Crisis Center" yang baru saja ia bangun. Kenzo duduk di depan panel kendali, menampilkan peta penyebaran virus secara real-time. Titik-titik merah menyala bermunculan di peta Jakarta seperti cacar air yang ganas.
"Status terkini, Zo?" tanya Rian.
Kenzo mengetuk keyboard-nya dengan cepat. Wajahnya serius, tidak ada lagi cengiran santai seperti biasanya.
"Buruk, Bos. Tingkat penularan R0 mencapai angka 5. Artinya satu orang sakit menularkan ke lima orang lain. Rumah sakit rujukan sudah penuh 120%. Obat antivirus di pasaran langka, harganya digoreng penimbun sampai sepuluh kali lipat."
Maya masuk ke ruangan dengan langkah terburu-buru, membawa tumpukan dokumen. Ia memakai masker N95 ganda.
"Pak Rian, laporan dari lapangan. Panic buying terjadi di semua supermarket kita. Stok mie instan, beras, dan vitamin ludes. Orang-orang berkelahi memperebutkan susu kaleng. Polisi kewalahan menjaga ketertiban."
Rian mengangguk pelan. Ia sudah menduga ini akan terjadi. Manusia, saat terdesak rasa takut mati, akan kembali ke insting purba: bertahan hidup dengan segala cara.
"Stok bahan baku kita gimana, May?"
"Aman untuk produksi makanan dua bulan ke depan. Tapi kalau situasi begini terus, rantai pasok dari petani akan putus karena banyak sopir truk yang takut jalan atau sakit."
Rian memejamkan mata. Ia memanggil Sistem.
[TOKO SISTEM - FUTURE TECH]
[ITEM: Nano-Health Drink Formula (Level 1)]
[Harga: 15.000 Poin Kebahagiaan]
[Efek: Minuman dengan teknologi nano-enkapsulasi herbal. Meningkatkan respons imun tubuh 500% dalam 1 jam. Mencegah replikasi virus flu biasa dan varian baru. Bukan obat penyembuh total, tapi perisai imun yang sangat kuat.]
"Beli," perintah Rian dalam hati.
[Transaksi Berhasil.]
[Sisa Poin Kebahagiaan: 37.450]
[Resep dan Teknologi Produksi telah ditransfer ke Database AI Logistik.]
Rian membuka matanya. Ada kilatan tekad di sana.
"Maya, sambungkan saya ke Pak Gunawan di pabrik Pulo Gadung dan seluruh Manajer Pabrik Minuman Rasa Nusantara di Jawa Barat."
"Baik, Pak."
Dalam hitungan detik, layar besar menampilkan wajah-wajah manajer pabrik yang cemas via video conference.
"Selamat siang, Bapak Ibu sekalian," suara Rian bergema tenang namun tegas. "Dengarkan instruksi saya baik-baik. Ini adalah perintah darurat Direksi."
"Mulai jam ini juga, hentikan semua produksi minuman manis. Stop produksi teh botol, soda, dan jus buah. Kosongkan tangki *mixing*. Bersihkan jalur pipa dengan sterilisasi tingkat medis."
Para manajer saling pandang kebingungan.
"Tapi Pak, itu produk terlaris..." sela salah satu manajer.
"Saya tidak peduli soal laris!" potong Rian. "Kita akan ganti produksinya. Saya baru saja mengirimkan formula baru ke server pabrik kalian. Nama produknya: VITALITA."
Rian menampilkan spesifikasi produk di layar.
"Ini adalah minuman kesehatan berbasis herbal yang diekstrak dengan teknologi nano. Bahan utamanya jahe merah, madu, meniran, dan formula khusus. Ini satu-satunya hal yang bisa membantu masyarakat bertahan dari Flu Biru sampai vaksin ditemukan."
"Pak Gunawan," panggil Rian khusus.
"Siap, Pak Rian!" jawab Pak Gunawan yang tampak di layar memakai baju hazmat.
"Bapak pimpin konversi mesinnya. Saya mau batch pertama, satu juta botol, siap didistribusikan besok pagi."
"Satu juta besok pagi? Itu gila, Pak!"
"Kita punya AI Logistik sekarang. Gunakan itu. Dan satu lagi... Harga jualnya."
Rian menatap kamera lekat-lekat.
"Harga jualnya adalah Rp 5.000 per botol. Tidak boleh lebih. Siapapun distributor yang coba-coba menimbun atau menaikkan harga, izinnya saya cabut dan saya pidanakan."
"Laksanakan!"
Layar video conference mati.
Rian berbalik menatap jendela. Di bawah sana, kota Jakarta mulai terlihat seperti kota mati.
"Bos," panggil Kenzo pelan. "Ada satu masalah lagi."
"Apa?"
"Gue baru sadar. Formula VITALITA ini butuh bahan aktif 'Essence' yang... aneh. Di resep tertulis butuh ekstrak bunga langka yang cuma tumbuh di dataran tinggi tertentu."
Rian tersenyum tipis. Ia merogoh saku jasnya, mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan biru pekat yang bersinar samar. Ini adalah "Biang Bibit" yang diberikan gratis oleh Sistem sebagai paket pembelian resep tadi. Satu tetes bibit ini cukup untuk satu tangki raksasa.
"Jangan khawatir soal itu, Zo. Gue punya rahasianya. Tugas lo sekarang adalah retas sistem reklame digital (Videotron) di seluruh Jakarta."
"Buat apa, Bos?"
"Buat pengumuman. Besok pagi, saat orang-orang putus asa mencari obat, mereka harus tahu bahwa harapan sudah tersedia di rak minimarket terdekat."
----------------------------------------------------------------------------------
Keesokan Harinya. Pukul 06.00 WIB.
Jalan Sudirman, Jakarta Pusat.
Videotron raksasa yang biasanya menayangkan iklan rokok atau mobil mewah, pagi itu berubah tampilan. Layar hitam polos, lalu muncul tulisan putih sederhana:
JANGAN PANIK.
PERKUAT IMUNMU.
VITALITA. SUDAH TERSEDIA.
RP 5.000.
Di sebuah minimarket di daerah Tanah Abang, truk logistik Rasa Nusantara datang dikawal oleh mobil Brimob (berkat koordinasi Rian dengan pemerintah yang panik).
Pegawai minimarket menurunkan kardus-kardus berisi botol kaca kecil berwarna hijau.
Seorang bapak tua yang batuk-batuk kecil, dengan wajah pucat, memberanikan diri mendekat.
"I-ini obat flu biru, Mas?" tanyanya.
"Bukan obat, Pak. Tapi peningkat imun. Kata berita sih ampuh," jawab kurir sambil menyerahkan satu botol.
Bapak itu meminumnya langsung. Rasanya hangat, pedas jahe, tapi menyegarkan tenggorokan.
Lima menit kemudian, bapak itu menarik napas panjang. Rasa sesak di dadanya berkurang drastis. Matanya yang sayu kembali berbinar.
"Alhamdulillah... lega..."
Kabar itu menyebar lebih cepat dari virusnya sendiri.
Bukan lewat bot, bukan lewat buzzer, tapi lewat testimoni nyata.
Siang harinya, Rian duduk di kantornya, melihat grafik penjualan VITALITA.
Bukan grafik keuntungan yang ia cari. Tapi grafik lain di layar Kenzo.
Kurva penularan virus di Jakarta mulai melandai untuk pertama kalinya dalam seminggu.
"Kita berhasil menahan gelombang pertama," gumam Rian.
Namun, pintu ruangannya terbuka kasar.
Pak Teguh masuk dengan wajah tegang yang belum pernah Rian lihat sebelumnya.
"Bos. Gawat."
"Kenapa, Pak? Produksi macet?"
"Bukan. Bu Ningsih."
Jantung Rian berhenti berdetak sesaat. "Kenapa Bu Ningsih?"
"Tadi pagi beliau maksa ikut bagi-bagikan nasi bungkus gratis di daerah zona merah. Sekarang... beliau pingsan. Bibirnya membiru. Dibawa ke RS Pusat Pertamina tapi ditolak karena penuh."
Rian bangkit dari kursinya, kursi itu terguling ke belakang.
"Siapkan mobil. Kita ke sana sekarang. Bawa VITALITA konsentrat tinggi."
"Tapi Bos, itu zona merah! Bos bisa tertular!" cegah Maya.
Rian menatap Maya tajam. Tatapan seorang anak yang takut kehilangan ibunya.
"Dia yang kasih gue makan pas gue nggak punya apa-apa, May. Kalau gue harus sakit demi selamatin dia, gue siap."
"Pak Teguh, tabrak semua lampu merah. Kita selamatkan Ibu."
[MISI DARURAT TERDETEKSI: SAVE THE MOTHER FIGURE]
[Waktu: Kritis]
[Kegagalan: Penyesalan Seumur Hidup]
Mobil Alphard Rian meluncur keluar dari gedung, membelah jalanan Jakarta yang mencekam, membawa sang Raja yang sedang bertaruh nyawa demi orang yang dicintainya.