Beni Candra Winata terpaksa menikah dengan seorang gadis, bernama Viola Karin. Mereka dijodohkan sejak lama, padahal keduanya saling bermusuhan sejak SMP.
Bagaimana kisah mereka?
Mari kita simak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kerjasama
"Ben, kenapa kamu menyuruh Dika dan Tina keluar? Mereka berhak tahu soal kerjasama kita!" Viola berkata tegas.
"Mereka hanya akan menganggu kita, Nyonya," ucap Beni tersenyum penuh arti.
"Gila kamu, Ben!" gerutu Viola, sambil menatap sengit suaminya.
"Anda harus bersikap sopan dalam meeting, Nyonya." Beni mulai melihat berkas-berkas kerjasama mereka.
Viola memutar bola matanya malas, ia menuruti perintah Beni daripada harus kehilangan kesempatan bekerjasama dengan perusahaan Candra Grup.
Susah payah Viola dan Tina membangun kepercayaan kepada Beni, dalam waktu singkat. Mereka juga hanya bisa pasrah, akan keputusan Beni diterima atau tidaknya.
"Desain perusahaanmu bagus, tetapi kurang menjual," kata Beni, meletakkan berkas di atas meja.
"Apa kita bisa bekerjasama?" tanya Viola, tidak sabar mendengar keputusan Beni.
"Lihat hasil kerjamu dulu. Aku belum bisa memutuskan sekarang, perbaiki desain yang ini," jawab Beni, apa yang dikatakan apa adanya. Soal pekerjaan Beni tidak akan pernah merugikan orang, hanya demi keuntungan sendiri.
Perusahaan Beni bukan perusahaan kaleng-kalengan, asal menerima kerjasama tanpa hasil yang memuaskan. Beni yang menangani dan turun tangan sendiri, jadi harus membuahkan hasil yang maksimal.
Mengenai persyaratan kerjasama juga sangat ketat, Tina bisa langsung diterima karena bantuan Tuan Winata. Kalau tidak ada yang membantu, mungkin Beni langsung menolak tegas permintaan kerjasama.
Walaupun bekerjasama dengan istrinya sendiri, Beni bisa bersikap profesional. Ia benar-benar hanya membahas masalah pekerjaan saja, tidak mengungkit hal lain.
"Besok Anda harus selesaikan desain yang saya minta, Nyonya. Kita bertemu di perusahaan Candra Grup, saya tunggu kedatangannya," kata Beni.
"Sekarang sudah selesai kan? Aku juga harus segera mengubah desain ini," ujar Viola, melihat desain buatannya sendiri.
"Iya, Nyonya," jawab Beni singkat.
Mendengar kata Nyonya dari mulut suaminya, rasanya Viola ingin menonjok muka Beni. Baginya terlalu asing dipanggil seperti itu, lantaran dirinya merasa umurnya jauh lebih muda.
"Ben, ada yang ingin aku katakan," ucap Viola, jantungnya berdegup kencang.
"Bahas masalah pribadi di rumah, Nyonya. Maaf, saya harus kembali ke kantor," kata Beni, ia bangkit dari duduknya lalu meninggalkan ruangan itu.
Viola menyandarkan tubuhnya di kursi, baru juga beberapa menit menghadapi Beni yang bersikap profesional rasanya menguras energi. Selain menahan amarah, Viola juga menahan rasa canggung.
"Nyonya, gimana proyek kita? Apa diterima sama Tuan Beni?" tanya Tina, tidak sabar untuk mengetahui hasilnya.
"Beni minta desain diperbaiki, Tina. Dia benar-benar keterlaluan," jawab Viola lesu.
"Harapan kita setipis tisu, Nyonya. Tuan Beni memang susah ditebak, apa mau dia. Dulu perusahaan Tuan Winata juga ditolak mentah-mentah, hanya karena berkas ketinggalan di kantor," ujar Tina, sampai hafal sifat Beni.
Berhubung sudah sore, Viola mengajak Tina pulang ke rumah. Ia meminta Tina istirahat cukup, karena besok masih ada kesempatan untuk menghadapi Beni. Walaupun tidak diterima kerjasama, Viola berharap bisa memperbaiki diri.
Ternyata Beni belum sampai di rumah, Viola segera masuk ke ruang kerja suaminya. Ia mencari tahu, sebenarnya seperti apa desain yang diharapkan Beni. Namun, semua berkas penting tidak ada yang diletakkan di luar berangkas.
Beni bukan orang yang sembarangan ketika menyimpan sesuatu penting, ia pasti menaruh di tempat aman. Dokumen perusahaan juga tidak ada di ruang kerja, hanya surat perjanjian pernikahan yang diletakkan di dalam laci.
"Mampus gue," gumam Viola dalam hati, ketika melihat ke arah kamera kecil dibalik pintu.
Viola mendudukkan diri sejenak, mencari ide untuk alasannya nanti ketika Beni bertanya. Semua CCTV di rumah ini, terhubung ke ponsel Beni.
Mengambil kertas kosong, dan menggambar desain dengan pensil. Viola berusaha mengelabuhi Beni, ia sangat yakin tidak akan dicurigai lagi. Sebelum Beni pulang, Viola tidak akan beranjak dari ruang kerja suaminya. Dengan begitu, Beni pasti tidak banyak tanya.
Terdengar suara pintu terbuka, Viola berpura-pura fokus menatap kertas yang ada di atas meja kerja Beni. Menggambar desain perhiasan asal-asalan, untuk mengelabui suaminya lagi. Ia hampir habis sepuluh kertas kosong, Beni belum juga terlihat batang hidungnya.
"Beni bisa marah kalau ruang kerjanya berantakan, tapi biarlah." Viola mengacak-acak rambutnya sendiri.
Saat Viola hendak beranjak dari duduknya, tiba-tiba Beni masuk ke dalam ruang kerjanya membawa berkas dari kantor.
"Apa yang kamu lakukan di sini? Beraninya masuk tanpa izin!" marah Beni, merebut kertas yang dipegang istrinya.
"Aku belajar saja," jawab Viola, berusaha bersikap tenang.
Beni tersenyum melihat hasil desain Viola, ia meremas kertas yang menurutnya tidak sesuai kriterianya lalu membuang ke tempat sampah.
"Aku buat desain dengan susah payah, Ben. Tega kamu buang begitu saja!" seru Viola.
"Karyamu tidak ada yang berkualitas, Viola. Kalau bukan karena Winata, aku tidak sudi berkerjasama dengan perusahaanmu!" Beni berkata dengan nada mengejek.
Apa yang dibilang Beni memang ada benarnya, semua ada hubungannya dengan Papa Winata. Beliau selalu memaksakan diri, untuk membuat Viola mengendalikan perusahaan.
Viola menatap Beni berkaca-kaca, ia menyadari dirinya belum banyak pengalaman di dunia desain perhiasan. Namun, ia harus berusaha memajukan perusahaan yang diberikan oleh mertuanya.
"Aku benci sama kamu, Ben!" Viola meninggalkan Beni di ruang kerja, ia berlari sambil menangis.
"Perbaiki dulu mentalmu!" teriak Beni.
Ternyata dugaan Viola salah, menganggap Beni pasti akan membantu dan membimbing dengan baik. Apa yang didapatkan hanya sebuah hinaan, bukan motivasi.
Beni mengikuti Viola yang berlari menuju kamarnya, ia melangkahkan kaki dengan pelan mendekati Viola yang sedang duduk menatap ke arah luar dari balik jendela. Tangan Beni mengulurkan sebuah tisu, untuk menghapus air matanya.
Viola tidak mengambil tisu pemberian Beni, hatinya masih terasa sakit. Apa yang dilakukan selalu salah dimata Beni, tanpa ada koreksi.
"Kamu perlu belajar lagi, jangan pernah putus asa. Aku menginginkan desain perhiasan yang berkualitas, karena setelah menjadi perhiasan akan menjadi barang limited edition," jelas Beni, kali ini suaranya sedikit lembut.
"Aku sudah tidak minat bekerjasama denganmu lagi," ucap Viola, ia berpikir masih bisa mendapatkan kesempatan dari perusahaan lain.
Dengan lapang dada, Beni menghormati keputusan istrinya. Ia tidak akan memaksa Viola, untuk membuat desain yang lebih menarik lagi.
"Perhatikan saham perusahaan, bisa anjlok kapan saja." Beni sedikit mengingatkan, agar istrinya tidak hanya fokus dengan perusahaan lain.
"Bukan urusanmu, Ben," kata Viola, terlihat pasrah.
"Oke! Apa yang ingin kamu katakan di hotel tadi?" tanya Beni tersenyum penuh arti.
"Lupakan saja!" ketus Viola.
Beni kemudian kembali ke ruang kerjanya, ia melihat desain Viola yang belum sempat dilihatnya. Ada satu yang ia kagumi, tetapi Beni masih mementingkan egonya sendiri. Ia menyimpan kertas itu di dalam laci, suatu saat akan diberikan ke Viola.
musuh jadi cinta😍😍😍🥳🥳🥳🥳