Menginjak usia 20 tahun Arabella zivana Edward telah melalui satu malam yang kelam bersama pria asing yang tidak di kenal nya,semua itu terjadi akibat jebakan yang di buat saudara tiri dan ibu tirinya, namun siapa sangka pria asing yang menghabiskan malam dengan nya adalah seorang CEO paling kaya di kota tempat tinggal mereka. Akibat dari kesalahan itu, secara diam-diam Arabella melahirkan tiga orang anak kembar dari CEO tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda wistia fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Pagi itu langit San Francisco diselimuti awan kelabu. Hujan turun dengan irama lembut, mengetuk kaca jendela seperti ingin mengingatkan bahwa hari ini bukan hari biasa.
Arabella berdiri di depan pintu rumah, menatap ketiga anaknya yang bersiap berangkat ke sekolah. Michelle memeluk bonekanya erat, sementara Dimitri dan Michael sibuk berebut payung biru kecil.
“Jangan berlari saat turun dari mobil, jalan pelan-pelan saja,” pesannya lembut sambil membetulkan kerah seragam Michael.
“Baik, Mama,” jawab mereka serempak.
Setelah mengantar anak-anak sampai gerbang sekolah dan memastikan mereka masuk dengan aman, Arabella menarik napas panjang. Ia menatap dari kejauhan, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terasa semakin cepat.
Begitu mobil anak-anak menghilang di tikungan, Arabella membuka tas tangan kecilnya. Di dalamnya, tersimpan tiga plastik bening berisi helai rambut milik Dimitri, Michael, dan Michelle. Ia memegangnya hati-hati, seolah benda itu bisa pecah jika disentuh terlalu keras.
Langit semakin gelap ketika Arabella melajukan mobil oranye metaliknya menuju laboratorium di pinggiran kota. Setiap detik di perjalanan terasa panjang, menegangkan. Pikiran tentang masa lalu, tentang malam kelam di hotel itu, tentang jebakan yang dibuat Vania semuanya datang silih berganti.
Sampai akhirnya, ia berhenti di depan gedung bercat putih dengan tulisan “GenTech Laboratorium Center.”
Leo sudah menunggunya di depan pintu, jasnya sedikit basah oleh hujan.
“Bella,” sapanya pelan, “aku sudah pastikan semua aman. Tidak ada data yang keluar tanpa izinmu.”
Arabella mengangguk, menatap wajah sepupunya itu dengan rasa lega. “Terima kasih, Leo. Aku tidak mau ada yang tahu, terutama Vania.”
“Sudah pasti,” jawab Leo tegas. “Aku tahu betul siapa yang kita hadapi.”
Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di pelataran. Dari sana, Nicholas keluar dengan langkah mantap. Meski wajahnya tenang, ada kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan dari matanya. Ini pertama kalinya ia bertemu Arabella di tempat yang seserius ini dan kali pertama ia melihat wanita itu dalam cahaya yang sebenarnya.
“Arabella,” sapanya pendek, suaranya berat, namun penuh penyesalan yang disembunyikan rapat.
Arabella hanya menatapnya datar, tanpa senyum. “Kau sudah datang. Baiklah, kita selesaikan ini cepat.”
Leo menatap Nicholas dengan pandangan tajam. “Sebelum mulai, aku ingin memastikan satu hal, Tuan Nicholas,” katanya dingin. “Hasil tes ini tidak boleh bocor pada siapa pun. Termasuk tunanganmu.”
Nicholas menahan napas sejenak sebelum menjawab, “Aku janji. Tidak akan ada satu pun yang tahu sebelum Arabella sendiri yang mengizinkan.”
“Baik,” ujar Leo singkat. “Kalau begitu, kita mulai.”
Mereka bertiga kemudian masuk ke ruang laboratorium. Ruangan itu dingin, steril, hanya terdengar dengung lembut mesin pendingin.
Arabella duduk di kursi, jemarinya saling meremas karena gugup. Petugas laboratorium menyiapkan peralatan, sementara Nicholas duduk di seberang meja, diam menunduk.
Petugas membuka satu per satu plastik kecil yang dibawa Arabella. “Ini rambut anak-anak, ya?” tanyanya sopan.
Arabella mengangguk. “Ya. Tiga anak, tiga sampel.”
Sementara Nicholas memberikan sampel darahnya tanpa banyak bicara. Ia hanya sesekali menatap Arabella pandangan yang lebih banyak berisi penyesalan dari pada keberanian.
Setelah proses pengambilan selesai, petugas memasukkan semua sampel ke wadah khusus. “Hasilnya akan keluar sore nanti,” katanya. “Kami akan kirim langsung kepada pihak yang berwenang.”
Leo segera menimpali, “Langsung ke saya. Hanya ke saya.”
Petugas itu mengangguk dan meninggalkan ruangan.
Hening menyelimuti mereka bertiga. Hanya suara rintik hujan di luar yang terdengar.
Arabella berdiri perlahan, meraih tasnya. “Aku sudah lakukan bagianku. Sekarang tinggal menunggu.”
Nicholas menatapnya, suaranya hampir bergetar. “Arabella… apa pun hasilnya nanti, aku tidak akan lari dari tanggung jawabku.”
Arabella berhenti di depan pintu, menatapnya dingin namun lelah. “Tanggung jawabmu seharusnya muncul lima tahun lalu, Nick. Sekarang, aku hanya ingin kebenaran bukan belas kasihan.”
Setelah itu, ia melangkah keluar, meninggalkan Nicholas yang terdiam di ruangan putih itu bersama rasa bersalah yang menyesakkan dada.
Leo menyusul di belakang, lalu menatap Nicholas satu kali sebelum berkata pelan namun tajam,
“Kalau sampai satu kata saja bocor keluar dari laboratorium ini, aku pastikan hidupmu akan jauh lebih buruk dari rasa bersalah yang kau bawa sekarang.”
Nicholas menatap lantai, tak mampu membantah.
Sementara di luar sana, Arabella berdiri di bawah hujan, membiarkan rintiknya jatuh di wajahnya, setelah merasa sedikit tenang dengan bermain sedikit air hujan dia masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan gedung laboratorium itu.
Hari itu bukan sekadar hari hujan itu adalah awal dari kebenaran yang mungkin akan mengubah segalanya.
Mobil berhenti di depan gedung tinggi berlogo Arabella Technology, perusahaan yang dalam beberapa minggu terakhir namanya mencuri perhatian dunia. Dari chip mobil pintar, sistem keamanan kendaraan, hingga perangkat otomatis semua berawal dari otak brilian seorang wanita yang kini sedang berjuang menenangkan diri setelah badai emosional di laboratorium.
Begitu pintu lift terbuka, karyawan yang melihat Arabella langsung menunduk hormat. Mereka tahu, meski penampilannya tenang, wanita itu membawa aura tegas yang tak bisa diganggu.
Leo mengikuti di belakang tanpa banyak bicara. Ia tahu sepupunya sedang di ambang letih.
Begitu masuk ke ruang kerja, Arabella langsung menaruh tas dan mantel, lalu berjalan ke arah jendela besar yang memperlihatkan panorama kota San Francisco yang masih diselimuti hujan. Pandangannya kosong.
Leo tanpa diminta langsung membuatkan kopi hangat, aroma robusta segera memenuhi ruangan itu. Ia meletakkannya di atas meja kerja Arabella, lalu duduk di sofa, memperhatikan dari jauh.
“Terima kasih, Leo,” ucap Arabella pelan, tanpa menoleh.
Leo tersenyum samar. “Aku tahu kau butuh itu lebih dari apa pun saat ini.”
Hening sejenak. Hanya suara hujan yang terdengar di balik kaca.
Arabella memutar kursi dan duduk, membuka laptopnya seolah memaksa dirinya kembali fokus pada pekerjaan. Di layar, laporan kerja sama dengan ZhongXiang Industries dari China sudah menunggu tanda tangannya. Investor itu tertarik dengan teknologi chip mobil pintar hasil pengembangannya inovasi yang bisa membaca pola cuaca dan menyesuaikan performa mesin otomatis.
Namun kali ini, tangan Arabella gemetar kecil. Ia menatap nama kontrak itu lama, lalu berbisik, “Aku hampir membatalkan semua ini… hanya karena masa lalu yang tidak pernah kuminta.”
Leo menatapnya penuh empati. “Kau tetap bisa menandatangani, Bella. Tapi jangan paksakan dirimu. Aku bisa tangani rapat dengan pihak China kalau kau mau.”
Arabella menggeleng pelan. “Tidak. Aku harus hadapi semua nya termasuk diriku sendiri.”
Ia mengambil pena, menandatangani berkas kerja sama itu satu per satu.
Begitu tanda tangan terakhir selesai, ia bersandar, menutup mata sejenak.
Leo mendekat, meletakkan map hasil tes sementara di meja, belum dibuka. “Hasil DNA akan keluar sore ini,” katanya hati-hati. “Aku akan ambil sendiri. Kau tidak perlu ikut.”
Arabella menatap map itu tanpa suara. Ada rasa takut di sana, tapi juga kekuatan yang anehnya tumbuh di tengah kepedihan.
“Leo…” suaranya nyaris berbisik. “Aku tidak tahu harus berharap apa.”
Leo menatapnya lembut. “Haraplah yang paling sederhana, Bella. Bahwa apa pun hasilnya nanti, kau tetap ibu dari ketiga anakmu. Tidak ada tes yang bisa menghapus itu.”
Arabella tersenyum tipis, tapi senyumnya pahit. “Dan jika ternyata Nicholas benar-benar ayah mereka?”
Leo terdiam sejenak sebelum menjawab, “Maka dia harus bertanggung jawab pada kalian"
Arabella menatap keluar jendela, hujan masih belum reda. Ia menatap refleksinya di kaca seorang wanita yang dulu hancur, kini berdiri di puncak kesuksesan, tapi masih dikejar bayang-bayang masa lalu.
“Entah kenapa,” ucapnya lirih, “kadang aku merasa hidupku seperti chip buatanku sendiri kuat di luar, tapi rapuh di dalam sistemnya.”
Leo menatapnya dengan tatapan lembut namun bangga. “Bedanya, Bella… chip ciptaanmu bisa diperbaiki. Tapi kamu, kamu belajar bertahan tanpa pernah dimatikan.”
Hening kembali mengisi ruangan itu. Di luar, suara hujan mulai mereda, seolah dunia ikut menahan napas menunggu hasil yang akan menentukan arah hidup mereka selanjutnya.