NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Di Era 70-an: Takdir Peran Pendukung Perempuan

Reinkarnasi Di Era 70-an: Takdir Peran Pendukung Perempuan

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Transmigrasi ke Dalam Novel / Menjadi NPC
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: YukiLuffy

Zhao Liyun, seorang pekerja kantoran modern yang gemar membaca novel, tiba-tiba menyeberang masuk ke dalam buku favoritnya. Alih-alih menjadi tokoh utama yang penuh cahaya dan keberuntungan, ia malah terjebak sebagai karakter pendukung wanita cannon fodder yang hidupnya singkat dan penuh penderitaan.

Di dunia 1970-an yang keras—era kerja kolektif, distribusi kupon pangan, dan tradisi patriarki—Liyun menyadari satu hal: ia tidak ingin mati mengenaskan seperti dalam buku asli. Dengan kecerdikan dan pengetahuan modern, ia bertekad untuk mengubah takdir, membangun hidup yang lebih baik, sekaligus menolong orang-orang di sekitarnya tanpa menyinggung jalannya tokoh utama.

Namun semakin lama, jalan cerita bergeser dari plot asli. Tokoh-tokoh yang tadinya hanya figuran mulai bersinar, dan nasib cinta serta keluarga Liyun menjadi sesuatu yang tak pernah dituliskan oleh penulis aslinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YukiLuffy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26 Fitnah Baru

Pujian itu datang bagai hujan di musim semi—menyegarkan tapi juga membawa banjir kecil yang tak terduga. Dalam beberapa hari, nama Zhao Liyun terdengar di setiap sudut Desa Qinghe, diucapkan dengan nada hormat dan kekaguman. Tapi di balik setiap pujian yang terdengar, ada bisikan-bisikan lain yang bergema di tempat yang lebih gelap.

“Dia pasti menggunakan sihir,” desis seorang wanita di sumur, suaranya hampir tertutup gemericik air. “Bagaimana mungkin gadis yang dulu bahkan tidak bisa memasak nasi dengan benar tiba-tiba tahu semua ini?”

Wanita di sampingnya, Ibu Leng—seorang janda yang dikenal karena lidahnya yang tajam—mengangguk dengan mata menyipit. “Aku dengar dia sering berbisik-bisik dengan Wu Shengli di malam hari. Mungkin dia belajar ilmu hitam darinya.”

Gosip itu merayap seperti kabut pagi, menyusup ke bawah pintu, melalui celah-celah jendela, sampai akhirnya mencapai telinga Liyun sendiri. Pagi itu, saat dia tiba di dapur kolektif, dia menemukan sekelompok wanita yang tiba-tiba terdiam, tatapan mereka menghindar saat dia mendekat.

“Selamat pagi,” sapa Liyun, berusaha terdengar biasa saja.

Hanya ada gumaman singkat sebagai balasan. Seorang wanita yang kemarin masih antusias belajar caranya mengawetkan kubis, hari ini dengan cepat pergi dengan alasan harus mengambil air.

Liyun merasakan sakit kecil di hatinya, tapi dia mengabaikannya. Sampai dia menemukan sesuatu yang aneh di tempat penyimpanan bahan makanan—beberapa kantong beras yang seharusnya masih penuh tiba-tiba berkurang drastis, dan seseorang telah menaruh garam berlebih di wadah gula.

“Ada yang tidak beres,” bisiknya pada diri sendiri, matanya memindai ruangan yang tiba-tiba terasa asing.

Masalah sebenarnya muncul saat makan siang. Ketika sup sayuran keringnya dihidangkan—resep yang kemarin dipuji semua orang—seorang wanita muda tiba-tiba berteriak.

“Ada yang aneh dengan rasanya! Pahit!”

Kemudian yang lain ikut bersuara. “Aku juga merasakannya!”

“Dia pasti menaruh sesuatu yang tidak seharusnya!”

Liyun dengan cepat mencicipi sup dari panci yang sama. Rasanya normal—sama seperti kemarin. Tapi kerumunan sudah mulai histeris.

“Dia pasti menggunakan ilmu hitam!” teriak Ibu Leng dari belakang kerumunan. “Aku sudah bilang dari dulu, tidak mungkin seorang gadis biasa tahu hal-hal aneh seperti itu!”

Saat itulah Wu Shengli memasuki dapur. Dengan beberapa langkah tegas, dia berdiri di samping Liyun, menghadapi kerumunan yang semakin gaduh.

“Cukup!” suaranya menggelegar, memotong semua teriakan. “Apa bukti kalian?”

Ibu Leng maju, wajahnya penuh kemenangan. “Buktinya adalah perubahan drastisnya! Buktinya adalah betapa mudahnya dia mempengaruhi orang-orang! Bahkan kau, Wu Shengli—kau yang dulu tidak pernah peduli pada siapa pun, sekarang jadi anjing penjaganya!”

Shengli tidak terpancing. Dengan tenang, dia mengambil mangkuk sup dan meminumnya langsung dari mangkuk. “Rasanya sama seperti kemarin. Enak.”

Tapi kerumunan masih ragu. Bisikan tentang sihir dan ilmu hitam terus bergema.

Liyun menarik napas dalam. Dia tahu ini bukan lagi tentang rasa sup—ini tentang ketakutan akan perubahan, tentang kecemburuan pada seseorang yang tiba-tiba naik derajatnya.

“Kalau kalian benar-benar percaya aku menggunakan ilmu hitam,” ujarnya, suaranya jernih meski jantungnya berdebar kencang, “maka seharusnya kalian takut pada aku. Tapi lihatlah—kalian berdiri di sini, berteriak padaku. Itu membuktikan kalian sendiri tidak benar-benar percaya pada omongan kosong itu.”

Dia berjalan menuju panci sup, mengambil sendok besar, dan menuangkan semangkuk penuh. “Ini dari panci yang sama. Aku akan makan di sini, di depan kalian semua. Jika ada racun atau kutukan, aku yang akan pertama kali merasakannya.”

Dia makan dengan tenang, setiap suapan terlihat oleh semua orang. Perlahan-lahan, keributan mereda. Beberapa wanita mulai merasa malu.

“Mungkin... mungkin hanya salah rasa,” kata seseorang akhirnya.

Tapi kerusakan sudah terjadi. Meski badai langsung ini reda, awan kecurigaan masih menggantung. Sepanjang sisa hari itu, Liyun bisa merasakan tatapan waspada mengikutinya.

Saat senja tiba dan dia bersiap pulang, Wu Shengli menghampirinya. “Mereka tidak pantas mendapat pertolonganmu.”

Liyun menggeleng, lelah. “Mereka hanya takut pada apa yang tidak mereka pahami. Ketakutan membuat orang melakukan hal-hal bodoh.”

“Ibu Leng yang memulai semuanya,” kata Shengli. “Aku melihat dia menaburkan sesuatu ke dalam sup tadi pagi.”

Liyun menatapnya. “Kenapa kau tidak bilang tadi?”

“Karena bukti saja tidak cukup melawan ketakutan. Mereka butuh waktu untuk menyadari kesalahan mereka sendiri.”

Malam itu, di kegelapan gubuknya, Liyun merenungkan kata-kata Shengli. Mungkin inilah harga yang harus dibayar untuk menonjol—kecemburuan, kecurigaan, dan pengkhianatan.

Tapi kemudian, ketukan lemah terdengar di pintunya. Seorang wanita muda—yang tadi ikut memprotes—berdiri di sana dengan mata merah.

“Maaf,” bisiknya, menyerahkan sekeranjang telur sebagai permintaan maaf. “Aku... aku hanya...”

“Takut,” lengkap Liyun dengan lembut. “Aku mengerti.”

Setelah wanita itu pergi, Liyun berdiri di ambang pintu, memandangi bulan purnama. Perlawanan terhadap takdir tidak hanya melawan nasib buruk yang tertulis, tapi juga melawan ketakutan orang-orang di sekitarnya—dan terkadang, melawan ketakutannya sendiri.

Dia mungkin telah memenangkan pertempuran hari ini, tapi perang melawan prasangka dan kecemburuan masih panjang. Dan dia tahu, ini baru awal.

1
Lala Kusumah
semangat Zhao Lingyun 💪💪💪
Lala Kusumah
pengen hajar tuh si madam 😡😡😡👊👊👊
Lina Hibanika
heh 😒 dah numpang belagu lagi 😡
Lina Hibanika
hadir dan menyimak
Fauziah Daud
trusemangattt...
Fauziah Daud
trusemangattt... lanjuttt
Dewiendahsetiowati
Zhao Liyun gak punya jari emas ya thor
YukiLuffy: ngga kak
total 1 replies
Dewiendahsetiowati
hadir thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!