NovelToon NovelToon
Dion (1)

Dion (1)

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat / Cintapertama / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Murni / Anak Lelaki/Pria Miskin
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29: Janji Cinta

Hari-hari berikutnya berjalan dengan normal, meskipun Dion menghadapi dilema, apakah ia akan menceritakan perihal Reinhard pada Wina atau tidak.

Minggu kedua, Juni 2000.

Juli dan suaminya sudah pindah ke salah satu kabupaten di Sumatera Utara karena ia diterima sebagai guru honor di sana. Keputusan itu mereka ambil untuk memperbesar peluang Juli menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Si kembar, Oscar dan Tian juga sedang bersiap menghadapi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau UMPTN.

Meskipun masih menyempatkan diri mengantar dan menjemput Wina ke kampus, Dion terpaksa membatasi interaksinya dengan kekasihnya itu karena tak ingin mengganggu konsentrasi Wina yang sedang menjalani Ujian Akhir Semester (UAS) Genap.

Hati Dion sedikit senang ketika mendapat kabar dari Felix bahwa Joni bersedia lepas tangan atas konflik antara Dion dan Reinhard.

“Bang Joni pernah hutang budi pada Reinhard. Katanya dengan kejadian terakhir itu, hutang budinya sudah lunas,” ujar Felix pada Dion di sebuah warung kopi sehabis jam kantor.

“Hebat juga kau Dion. Kau buat terkencing-kencing anak buah Bang Joni,” tambahnya sambil tertawa.

“Bang Joni jadi ikut ketakutan ketika anak buahnya melapor dan memohon perlindungan. Mereka bilang Dion adalah anggota kelompok pembunuh bayaran profesional. Katanya kau hampir saja mengeksekusi salah satu dari mereka. Apa yang terjadi?”

Sejenak Dion tertawa lalu menceritakan kejadian di rumah Marihot. Felix yang mendengarkan dengan serius pun kagum akan keberanian Dion.

“Nyalimu besar juga dan perhitunganmu tepat. Aku suka kau. Bergabunglah dengan organisasi. Kami membutuhkan orang pintar dan bernyali seperti kau,” Felix mengajak Dion untuk bergabung dengan organisasi kepemudaan yang ia ikuti.

“Ah, aku cuma didorong rasa penasaran, Bang. Lagipula aku tak berbakat untuk ikut organisasi abang itu,” tolak Dion.

“Justru orang sepertimu, yang bicara ramah tapi bernyali, penuh perhitungan dan bermental baja, adalah orang yang tepat. Kau pikirkan lah. Kalau kau mau tinggal bilang sama, nanti aku kenalkan pada Ketua. Dia pasti menyukaimu,” Felix masih berharap Dion mau bergabung dengan organisasinya.

Hari sudah hampir menjelang subuh ketika Dion meninggalkan warung itu.

...***...

Dion belum puas tidur dan masih merasakan kantuk ketika menyadari seseorang membuka pintu kamarnya.

“Wina,” tebak Dion tapi tetap enggan membuka kelopak mata. Wina memang memiliki kunci kamarnya. Pemuda itu makin yakin dengan tebakannya ketika ia mengenali aroma minyak wangi yang dikenakan kekasihnya itu.

“Sudah jam berapa? Wina datang pagi-pagi sekali,” ujar Dion masih dengan mata terpejam dan memukul-mukul kasur di samping meminta Wina duduk di situ.

“Bangun, ini sudah hampir jam 9,” kata Wina sembari duduk di kasur. Sontak Dion membuka matanya dan menatap ke arah jendela kemudian jam dinding.

“Ha? Sudah sesiang itu?” serunya kaget.

“Tadi malam Bang Felix ajak ngobrol di warung kopi sehabis jam kantor. Hampir subuh baru pulang,” ujar Dion dengan nada malas-malasan lalu menguap karena masih merasakan kantuk.

“Sarapan dulu, nanti tidur lagi. Aku bawakan nasi tim,” ujar Wina.

Dion lalu mengangkat dan merebahkan kepalanya di pangkuan kekasihnya.

“Lima menit yah, Win. Di sini enak sekali.” Dion lalu meraih tangan Wina memeluk lengan itu dan kembali menutup matanya.

Dion hampir tertidur ketika menyadari sesuatu. Wina yang biasanya cerewet soal bangun pagi, kali itu hanya diam. Dion membuka mata dan melihat Wina duduk terpatung, tampak bersedih.

“Wina kenapa? Aku lupa jemput yah pagi ini?” tanya Dion bangkit duduk dan coba mengingat apakah ia melupakan janji pagi itu.

Wina menggeleng-gelengkan kepala. “Mami akan datang besok.”

Meskipun sedikit kaget tapi Dion tak menemukan keanehan pada rencana kedatangan ibu Wina.

“Bukankah wajar seorang ibu mengunjungi putrinya?” pikir Dion sambil menatap Wina menunggu kalimat selanjutnya dari gadis itu.

“Mami datang untuk mengurus kepindahan kuliahku ke Jakarta,” ungkap Wina dengan mata berkaca-kaca.

Dion lalu memahami apa yang terjadi. Ibu Wina sudah mengambil tindakan yang lebih lanjut dari usahanya melarang hubungan Dion dan putrinya. Sepertinya Ibu Wina merasa intimidasi yang hampir menghilangkan nyawa Dion tidak cukup untuk memisahkan keduanya. Padahal, kuliah Wina hanya menyisakan magang dan skripsi.

“Ibunya Wina jahat sekali,” pikir Dion.

“Mami jahat sekali,” entah bagaimana Wina mengulangi kalimat yang Dion ucapkan dalam hati.

Tak tega melihat kekasihnya bersedih, Dion memeluk dan menarik kepala Wina ke dadanya.

“Sabarlah, Win!” ujarnya lirih lalu mencium kepala gadisnya itu.

Dion juga ikut merasa sangat sedih karena akan berpisah dari kekasih walaupun hanya sementara.

“Biarlah mereka memisahkan kita. Tapi itu tak berarti hubungan kita berakhir bukan?”

“Lagipula kuliahmu sudah hampir selesai. Itu artinya kita akan punya kesempatan untuk bersama lagi dalam waktu tak terlalu lama,” Dion coba membujuk tapi justru membuat tangis Wina semakin menjadi-jadi.

“Wina tak mau berpisah. Lebih baik berhenti kuliah daripada meninggalkanmu,” sungut gadis itu menangis dengan tubuh terguncang.

“Wina kan tidak benar-benar meninggalkanku. Kita berpisah hanya sementara.”

“Bayangkan saja seperti seorang suami atau istri berpisah sementara karena salah satu dari mereka melanjutkan pendidikan di luar negeri. Bisa toh? Kita juga bisa dong,” bujuk Dion.

“Berarti Dion nikahin Wina dulu?” cetus gadis itu sejenak mengangkat kepalanya menatap Dion. Wina lupa bahwa pemuda kekasihnya itu baru berusia 20 tahun.

“Iyah. Tapi nikahnya kalau Wina tamat kuliah dulu,” ujar Dion membuat gadis itu kembali menangis dan memeluknya lebih erat.

“Bagaimana kalau Wina di Jakarta trus kamu didekati cewek lain?”

“Itu nggak mungkin. Memangnya ada cewek secantik kamu yang mau denganku?”

“Seandainya ada? Dion mau juga?”

“Nggak! Wina bukan cuma cantik. Wina itu baik, perhatian dan tulus mencintaiku. Lagipula Dion sudah berjanji pada Oppung.”

“Iyah aku ingat. Dion berjanji akan menjaga Wina. Berarti Dion nggak akan biarkan Wina pergi bukan?”

“Aku memang berjanji menjaga Wina. Tapi aku juga punya janji lain pada Oppung,” sahut Dion membuat Wina mengendurkan pelukannya agar ia bisa melihat wajah pemuda itu.

“Janji apa?”

“Ingat waktu aku dipanggil Oppung karena tak pernah lagi datang ke rumah?” tanya Dion yang dibalas Wina dengan anggukan.

“Oppung janji akan mendukung kita asal Dion berjanji setia pada Wina. Dan Oppung juga memintaku berjanji untuk tidak bertindak apapun seandainya orang tua Wina melarang, sampai Wina menamatkan kuliah. Dan Dion sudah memberikan janji itu pada Oppung,” jelas Dion sambil menatap Wina tajam.

Wina tak hanya merasa senang mendengar janji Dion pada Oppung, tapi juga senang karena Dion kembali memberinya tatapan yang selalu ia rindukan.

“Bertindak seperti apa?” tanya Wina yang sebenarnya sudah bisa menebak maksud kekasihnya itu.

“Ya seperti menikah, kabur atau semacamnya,” terang Dion.

“Tapi Dion hanya berjanji pada Oppung. Belum berjanji pada Wina,” tuntut gadis itu masih dengan wajah merengut.

Dion masih menatapi wajah kekasihnya yang sendu dan panik, lalu meraih jemari kedua tangan gadis itu.

“Wynna Pingkan Arina, aku mencintaimu sepenuh hatiku. Aku berjanji akan setia padamu. Aku berjanji akan memperjuangkan cinta kita bila Wina sudah menamatkan kuliah. Tak peduli meskipun harus mempertaruhkan jiwaku.”

Janji yang diucapkan Dion dengan sungguh-sungguh itu menyentuh hati Wina. Ia merasa terharu dan bahagia lalu mengecup singkat bibir Dion.

“Gideon Manasseh, aku berjanji akan mencintaimu seumur hidupku dan berjanji akan kembali padamu,” Wina mengucapkan janjinya sambil menatap Dion.

Wina lalu coba kembali mencium bibir Dion tapi pemuda itu mengelak dengan memiringkan wajahnya.

“Aku belum mandi, belum sikat gigi,” bisik Dion ke telinga Wina.

“Biarin,” sahut Wina singkat lalu kembali menyerang bibir Dion.

Keduanya pun larut dalam ciuman panjang. Keduanya saling menyerang membuat napas keduanya memburu.

Wina menaiki pangkuan Dion dan memberi tatapan memohon. Tatapan yang sudah dimengerti oleh Dion karena sudah beberapa kali menerima tatapan seperti itu dari kekasihnya.

Merasa mendapat lampu hijau, Wina membuka kancing kemejanya lalu menyodorkan dadanya pada Dion.

Dion luruh. Ia mencumbui dada itu, memenuhi keinginan gadisnya yang larut dalam buaian nafsu asmara.

“Aku akan memberi dengan ikhlas kalau Dion menginginkannya,” ujar Wina yang terkulai dalam pelukan Dion usai keinginannya tercapai.

Dion menciumi kepala Wina. “Aku sangat menginginkannya. Tapi cintaku lebih besar dari itu. Kita harus menunggu saatnya,” kata Dion lirih lalu mendorong halus gadis itu agar berpindah dari dadanya.

Dion memperbaiki letak bra Wina dan menutup kancing kemeja gadis itu, persis seperti yang pernah ia lakukan beberapa bulan lalu.

“Tapi aku masih mau mencium dan memelukmu!” seru Dion tiba-tiba menindih tubuh Wina dan mencium keningnya usai membereskan kancing baju gadis itu. Wina yang kaget dan menjerit lemah lalu membalas pelukan Dion yang membawanya bergulingan.

...***...

“Makan yang banyak, setelah ini Dion tidak akan makan masakan Wina untuk waktu lama,” ujar Wina sendu. Ia kembali teringat akan segera meninggalkan Kota Medan.

Dion yang baru saja mandi pagi segera duduk di meja makan ketika mendapati sarapan telah disiapkan bersama dengan secangkir kopi panas yang tampak mengepul.

Di dalam hati, Dion membenarkan perkataan Wina. Dion yang belakangan mulai terbiasa dengan perhatian kekasihnya itu pun mulai merasa kehilangan.

Hari itu Dion merasa Wina berbeda dari biasanya. Wina tak henti-hentinya berberes-beres di kamar Dion. Menyapu, mengepel lantai kamar lalu mengganti sprei dan sarung bantal Dion.

“Kalau Wina tidak ada, Dion harus tetap rapi. Sprei dan sarung bantal harus diganti tiap minggu. Handuk diganti setiap dua hari,” pesan Wina.

Hari itu Wina banyak sekali memberi nasihat dan terkesan merepeti Dion. Jangan malas dan telat makan. Jangan tidur terlalu pagi, jangan bangun terlalu siang, jangan begadang. Jangan biarkan cucian menumpuk, dan masih banyak jangan-jangan yang lain.

“Baju yang sudah lama tidak digunakan harus dicuci ulang agar tidak berjamur dan bau apek. Jangan menyimpan baju basah atau lembab di dalam lemari,” Wina tak mau berhenti memberi nasihat sambil merapikan pakaian-pakaian di lemari Dion.

Dion hanya mendengar dan membiarkan repetan Wina yang tidak ada hentinya itu. Ia tahu Wina sebenarnya tak terlalu mengkhawatirkannya. Wina hanya sedih harus meninggalkan Dion.

Setelah merapikan barang-barang di rak plastik, Wina juga mulai membersihkan meja komputer Dion dengan kain lap dengan air mata berurai.

“Wina, hentikan!” kata Dion memegangi tangan Wina agar gadisnya itu menghentikan kegiatannya.

“Sangat sedih melihatmu begini. Aku akan sangat merindukanmu tapi aku akan baik-baik saja. Wina tau kenapa? Karena kita hanya berpisah sementara,” ujar Dion lalu menarik kepala gadis itu ke dadanya.

“Jangan bersedih lagi. Bersabarlah! Tiap hari yang akan kita lalui berarti semakin dekat kita akan bersama selamanya,” ucap Dion sambil mengusap air mata di pipi Wina.

“Wina adalah satu-satunya milikku di dunia ini. Melihatmu bersedih membuat hatiku tersayat. Pedih rasanya!” kata Dion mempererat dekapannya.

Kata-kata Dion berhasil menenangkan gadisnya. Wina yang tak ingin membuat Dion bersedih mulai menghentikan tangisnya dan membalas pelukan pemuda itu. “Aku mencintaimu,” ucap Wina lirih.

Tak lama kemudian, si kembar Oscar dan Tian yang baru kembali usai memeriksa tempat ujian UMPTN sudah tiba di rumah. Kehadiran keduanya menceriakan hari itu.

1
Anonymous
Bikin baper... /Drool//Drool//Drool/
Desi Natalia
Ingin baca lagi!
Type2Diabetes
Terharu...
Anonymous
/Drool//Drool//Smile//Smile/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!