Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa pengkhianat Manguntirto?
Kabut tipis menyelimuti jalanan tanah yang basah oleh darah dan air mata Desa Manguntirto. Asap dari rumah-rumah yang terbakar masih mengepul, bercampur harum rumput basah dan abu. Burung-burung kembali bersuara perlahan dari pepohonan yang mulai bernyawa lagi.
Warga berjalan pelan, saling membantu memungut sisa-sisa harapan di antara reruntuhan. Anak-anak yang sebelumnya bersembunyi kini berlari mengejar ayam yang lolos dari kandangnya. Seorang ibu menangis lega sambil memeluk anak laki-lakinya yang selamat dari kurungan musuh. Beberapa pemuda menggantungkan bendera kecil buatan sendiri dari kain lusuh di sepanjang pagar rumah.
Shantand, dengan wajah lelah dan jubah yang koyak, ikut mengangkat reruntuhan dan membagi air bersih dari gentong besar. Tangannya kotor oleh tanah dan darah, tapi matanya tetap bening, penuh semangat untuk membantu siapa pun yang ditemuinya.
Ia melihat seorang kakek duduk bersandar pada tiang pagar, wajahnya penuh guratan waktu, tapi matanya jernih memandang sekeliling.
“Maaf, kek...” Shantand berjongkok di hadapannya, “Saya belum melihat Lurah Samunthu sejak kemarin-kemarin... Apakah beliau selamat?”
Kakek itu mengernyit, lalu menatap Shantand dengan alis terangkat.
“Lho, nak Shantand belum tahu?”
“Belum tahu apa, kek?”
Kakek itu menurunkan pandangan, seperti sedang memilih kata.
“Aku curiga... dialah dalang perang ini. Samunthu...” bisiknya, hampir tak terdengar, “...terlalu sering kedatangan orang-orang asing. Sejak lama. Sebelum perang ini, dia sudah pergi dari desa tanpa kabar.”
Shantand mengernyit, namun belum sempat menjawab, si kakek kembali menatapnya, kali ini lebih dalam.
“Kau... bukannya anak dari Dipa dan Keram?”
Jantung Shantand berdebar.
“Iya, benar kek… apa kek juga tahu ke mana mereka pergi? Bude Patmi bilang mereka sedang ke rumah nenek.”
Kakek itu menarik napas panjang… sangat berat. Wajahnya mengeras.
“Tenangkan hatimu, nak…” katanya pelan. “Beberapa waktu setelah kau pergi… aku melihat orang asing—berjas panjang, tubuh tinggi, orangnya menyebut dirinya sebagai Tuan Teles Klebes… dia mendatangi rumahmu.”
Shantand membeku. Nama itu seperti… tidak asing. Tapi mencurigakan.
Belum sempat ia bertanya lebih jauh, tiba-tiba:
"Aduh!!"
Brukk!!
Tubuh kakek itu jatuh terguling keras di tanah. Tangannya mencengkeram lehernya sendiri. Wajahnya merah, lalu berubah ungu. Kakinya menendang-nendang lemah sebelum akhirnya lemas total.
"Kek!! Kekkkk!!!" Shantand berlutut dan menyentuh tubuh renta itu.
Tak ada denyut. Tak ada suara. Hanya sepasang mata yang menatap kosong… dan tubuh yang masih panas.
Shantand tercekat.
Ada jejak racun di sana.
Wajah kakek itu mulai membiru…
"Ada yang ingin membungkamnya...!"
***
Tubuh si kakek masih hangat ketika para warga mulai berlarian mendekat.
Sorak kemenangan yang tadi bergema berubah jadi bisik-bisik panik.
Beberapa ibu memekik, dan anak-anak kecil bersembunyi lagi di balik rok ibunya. Shantand berdiri membeku, matanya masih tertuju pada tubuh yang menggelepar lalu diam selamanya itu.
Pak Lanselod datang tergesa. Napasnya belum sepenuhnya teratur setelah memeriksa puing-puing barat desa.
“Minggir...! Semua minggir dulu...!” serunya.
Ia berlutut cepat di samping Shantand. Tangannya langsung menyentuh nadi kakek tua itu, lalu membuka sedikit bagian lehernya dengan cekatan. Matanya mengamati sesuatu—halus, tak terlihat oleh warga biasa.
“Benar dugaanku...” gumamnya.
Shantand menoleh cepat.
“Kau juga menduga… racun?”
Pak Lanselod mengangguk pendek, serius.
“Ini bukan sembarang racun, Shantand. Lihat ini…”
Dengan hati-hati, ia mengeluarkan pisau kecil dari balik ikat pinggangnya. Ujungnya tajam seperti jarum semat.
Ia menyelipkan ujung pisau itu ke bawah kulit leher kakek itu—tepat di dekat urat nadi. Dengan gerakan lambat tapi pasti, ia mengangkat sesuatu yang nyaris tak terlihat…
…sebuah jarum. Tipis. Kecil. Tapi panjang.
Warnanya kehijauan seperti menyerap cahaya. Bagian pangkalnya ada bekas hitam mengering.
“Jarum beracun,” ucap Lanselod dengan suara dalam. “Ini bukan senjata orang biasa.”
Ia membungkus jarum itu dalam selembar kain putih dari saku dadanya, lalu mengikatnya erat.
“Ada dua pihak yang bisa menggunakan ini,” katanya tanpa menoleh.
“Satu... Perguruan Terate Beracun. Dikenal mengajarkan seni lempar jarum dari usia sangat muda.”
“Yang kedua… seorang tokoh hitam, gila, tak tertebak… dikenal sebagai Nyanyuk Kunyuk.”
Ia menghela napas. “Entah mana yang terlibat... atau keduanya.”
Shantand mengepalkan tangan. “Jadi... pelakunya bisa saja berada di antara kita saat ini?”
Pak Lanselod mengangguk.
“Bukan hanya bisa… tapi sangat mungkin.”
Matanya menyapu warga yang masih berdiri melingkar, penuh rasa ingin tahu dan ketakutan.
“Pelaku tahu kakek ini tahu terlalu banyak. Dia membunuhnya dengan cara diam-diam, cepat, tanpa suara. Ini seni… seni pembunuhan kelas tinggi.”
Lanselod berdiri dan mengangkat suaranya.
“Sekarang… tolong, warga semua! Kita harus segera menguburkan jasad kakek ini dengan hormat. Bantu kami menyiapkan liang kubur di sisi barat dekat pohon jambu. Hari ini kita kehilangan seorang saksi yang mungkin tahu kebenaran besar…”
Warga langsung bergerak. Beberapa pemuda membawa cangkul, beberapa perempuan menyiapkan kain penutup, dan yang lainnya membacakan doa perlahan.
Sementara itu, Shantand masih memandangi kain putih kecil berisi jarum di tangan Lanselod.
Entah mengapa, hatinya gelisah.
Shantand mencoba duduk bersila di bawah pohon besar yang menjulang di tepi desa, setelah pemakaman kakek itu. Angin sore menyentuh pelipisnya pelan saat ia memejamkan mata, mengirimkan gelombang pikirannya ke dalam labu tuak yang tergantung di pinggangnya.
“Guru, apa kau bisa memberikan petunjuk soal ini?” bisiknya dalam hati.
Suara gurunya terdengar berat namun tenang, "Tadi waktu Lanselod mengeluarkan jarum itu, aku sudah mencium sesuatu... racunnya, baunya aku kenal. Itu... racun katak paling mematikan.”
Shantand tersentak, “Katak?”
“Ya. Ini racun dari jenis katak tertentu yang hanya muncul di hutan terlarang Zam-Zamar. Racun ini sangat halus dan hanya aktif lewat suhu tubuh manusia. Tapi yang membuatku heran...” suaranya menggantung, seperti menahan satu kemungkinan yang tak ingin diucap.
“Apa, guru?”
“Racun ini... tidak bisa digunakan oleh sembarang orang. Kecuali dia adalah... seseorang dari zamanku, yang mungkin ikut terlahir kembali seperti aku.”
Shantand berdiri, matanya tajam. “Berarti… pelakunya kemungkinan besar bukan manusia biasa?”
“Tepat. Ia menyamarkan dirinya. Tapi cara menemukannya juga tak biasa.”
“Maksud guru?”
“Amati... hewan-hewan di sekitarmu. Jika ada makhluk yang berperilaku aneh—entah terlalu tenang, terlalu agresif, atau terlalu licik—itu bisa jadi jelmaan si pembunuh. Ilmu penyamaran dari zamanku tak terbatas pada manusia.”
Shantand menelan ludah. Aneh, tapi masuk akal. Ia pun mulai melangkah perlahan, mengitari sudut desa. Matanya mengamati setiap hewan yang berkeliaran di antara reruntuhan desa dan batang-batang kayu.
Ada ayam jantan yang berkokok lambat, bebek yang sibuk mencari serangga, bahkan seekor anjing tua yang tidur pulas.
Namun matanya terpaku pada seekor kodok bangkong.
Diam. Tapi matanya... terlalu tenang.
Bahkan saat seekor ayam lewat di dekatnya, ia tidak bergerak. Hanya menatap.
“Hmm…”
Namun sebelum sempat melangkah, tiba-tiba dari dalam labu tuak, melesat sebuah butiran tahu putih, kecil dan cepat seperti peluru!
Ziiiuuuttt!
Crak!
Kodok bangkong itu melompat tinggi, mengejutkan! Namun kakinya—kaki kirinya—tertancap butiran putih itu hingga patah!
Kodok itu menjerit, tidak seperti kodok biasa. Seperti makhluk yang panik karena identitasnya hampir terbongkar.
Ia berusaha kabur, melompat tertatih, menggores tanah dengan satu kaki.
“Ketahuan kau!” teriak Shantand, langsung mengejar.
Namun… belum sempat tangannya meraih kodok itu, bayangan besar melintas cepat di atasnya.
Sreeeeekkhh!!
Seekor elang besar menyambar turun dengan gerakan tajam, mencengkeram kodok bangkong itu dengan kedua cakarnya!
Sayapnya mengepak lebar, menciptakan angin besar yang membuat Shantand terdorong mundur.
“Hyaaa!”
Ia hampir jatuh, namun berhasil bertahan.
Elang itu tidak menyerangnya, hanya membawa kabur kodok yang terluka!
Beberapa bulu cokelatnya berjatuhan, dan dalam sekejap… lenyap di langit malam.
Shantand berdiri membeku.
“Guru… kau lihat itu?”
Suara di dalam labu tuak terdengar perlahan tapi tajam.
“Aku melihatnya, muridku. Ini... permainan lama yang kembali dimainkan. Sang elang itu bukan sembarang burung. Dia adalah bagian dari mereka… yang hidup di bayangan.”
“Mereka?”
“Ya… para pengawal bayangan. Tugas mereka adalah menjaga para pembunuh yang menyamar. Mereka... mulai bergerak kembali.”
Shantand menatap ke langit yang mulai berubah gelap pekat. Sorot matanya berubah.
Tak lagi penuh keheranan—tapi tekad.
“Kalau begitu, aku juga akan bergerak… mulai malam ini.”