Axel Rio terjebak bertahun-tahun dalam kesalahan masa lalunya. Ia terlibat dalam penghilangan nyawa sekeluarga. Fatal! Mau-maunya dia diajak bertindak kriminal atas iming-iming uang.
Karena merasa bersalah akhirnya ia membesarkan anak perempuan si korban, yang ia akui sebagai 'adiknya', bernama Hani. Tapi bayangan akan wajah si ibu Hani terus menghantuinya. Sampai beranjak dewasa ia menghindari wanita yang kira-kira mirip dengan ibu Hani. Semakin Hani dewasa, semakin mirip dengan ibunya, semakin besar rasa bersalah Axel.
Axel merasa sakit hati saat Hani dilamar oleh pria mapan yang lebih bertanggung jawab daripada dirinya. Tapi ia harus move on.
Namun sial sekali... Axel bertemu dengan seorang wanita, bernama Himawari. Hima bahkan lebih mirip dengan ibu Hani, yang mana ternyata adalah kakak perempuannya. Hima sengaja datang menemui Axel untuk menuntut balas kematian kakaknya. Di lain pihak, Axel malah merasakan gejolak berbeda saat melihat Hima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
His Majesty
Saat semua petinggi keluar dari ruangan itu, aku masih lemas berdiri di samping jendela sambil menjernihkan pikiranku. Sementara Himawari, si Mawar, masih menangis terisak di sofa tadi sambil ditenangkan oleh Leyla, sekretaris Pak Zaki.
Kami berdua terperangkap dalam lingkaran dosa yang berkaitan.
Setiap langkah yang kulalui adalah Perlindungan dari Tuhan.
Perjalananku sekilas terasa mengerikan, jahat dan egois. Namun kalau kulakukan sebaliknya, aku bisa jadi tak selamat, tak sampai di sini. Aku bisa saja mati, Hani bisa saja dimutilasi bapaknya sendiri demi sample obat jahanam. Dan akan banyak korban lain akibat hal ini kalau bapakku masih hidup.
Menantu Pak Damaskus menghampiriku sambil merangkul bahuku.
“Em, A-a-axel? Saya mau memberikan Instruksi se-se-selanjutnya. Hehe.”
Putra ini selalu tertawa ya, bagaimana kalau ia sedih? Apakah ia akan tertawa juga?
“Pak Ivan, Sa-saya pinjam dokumentasinya sebentar.” Ia berjalan ke arah Ivander, dan herannya aku baru kali ini melihat Ivander menunduk serendah itu ke arah Putra. “Baik Yang Mulia, silahkan.” Katanya.
Dan panggilan Yang Mulia itu diucapkan dengan mimik serius oleh Ivander.
Aku sampai memicingkan mata ke arah Pria dengan tinggi 2 meter di sebelahku ini.
Siapa sebenarnya dia? Kerja apa? Kenapa tampaknya 4 algojo begitu menghormatinya?
Rasanya 4 algojo tidak sampai segitunya ke Pak Damaskus, tapi kalau menghadapi Putra ini mereka lebih waspada.
“Maaf, Mas.” Aku menghadap ke arah Putra ini, “Atau Pak? Atau Bang? Atau... em... Yang Mulia?” aku kebingungan sendiri.
“Eh? Khehehehe, panggil aja Putra lah. Ini yang lain kelewat resmi kalau manggil saya padahal saya sudah bilang kalau di Negara ini saya ya sama saja dengan mereka. Setara.”
“Memang kalau di negara lain gimana?!”
“Kalau di Eterny dia Raja.” Sahut Ivander. “Raja Roganvaldar yang kemarin memberlakukan tarif maksimal untuk impor terus berantem sama Perdana Menterinya sendiri di depan publik.”
Eh, Buset.
Dia Raja?
“Eterny tuh dimana ya?” aku balik bertanya.
“Ah elah!” seru Invander.
Sementara Putra langsung ngakak.
“Nggak, Nggak, Khihihi, Nggak usah dipikirin nanti kamu makin pusing.” Putra mengibaskan tangannya dan menuntunku ke depan TV.
Sudahlah, pokoknya kuanggap saja dia berdarah biru, Pak Damaskus memiliki menantu bangsawan yang keturunan Raja. Dah itu aja. Daripada makin ribet hidupku. Mengenai kenapa bahasanya dia lancar kuanggap saja dia lama tinggal di sini.
Lagipula, dia tampak lebih ramah dibanding orang-orang yang ada di sini. Kurasa memang orangnya kocak aja jadi sering ketawa.
“Jadi, Axel... em? Jackson?” Putra memicingkan mata menatap id Cardku.
“Nama Samaran Mas,” aku menyeringai.
“Oh, Oke. Kupanggil Axel saja ya, lebih ‘dirimu’.”
Aku melirik Ivander.
Ivander memberi kode ‘kan gue bilang apa?’ sambil cengar-cengir.
“Axel, kita nggak ikut-ikutan masalah perdamaian dunia ya, itu urusan Pejabat lain. Biarlah isi brankas itu diatur Bapak dan Om-Om yang lain. Kini fokus saja gimana caranya kamu bisa bebas menjalani hidup sebagai manusia. Saya nggak bisa bilang normal, tapi setidaknya kamu akan memiliki cara untuk ‘menjadi dirimu sendiri’. Gi-gi-gimana? Hehe.”
“Itu yang saya inginkan sejak lama.” Kataku cepat.
Putra ini... aku semakin penasaran dia siapa karena dia tampaknya memahami diriku.
“Jadi, saya sekitar seminggu yang lalu mengerahkan satu batalyon untuk menjadi mata-mata di negara ini. Berkedok Kantor Private Investigation, dan akhirnya kami menemukan kalau teman kamu berada di Tangerang Selatan. Nggak usah tanya gimana saya bisa menemukannya. Ribet. Dia operasi plastik di Thailand beberapa kali sampai wajahnya tak bisa dikenali lagi. Tapi begonya... yang namanya anak muda nggak lepas dari medsos lah ya, kami melacak Facebook dengan foto lamanya, dan akhirnya keselip tuh walau pun sudah dihapus, keselip kalau dia liburan ke Thailand. Nah dari situ kami telusuri ke ig barunya, Tiktoknya, inilah wajah baru Irvin Eri.”
Layar tv pun berubah menjadi sosok pemuda yang sedang makan di salah satu cafe mahal di mall Jaksel.
Aku langsung ketawa lihat tampang Irvin sekarang.
Eh gila macam artis Dracin aje nih anak. Padahal dia kan item keling dulu!
Mau nyama-nyamain tampang gue kali yak! Terobsesi nih anak...
“K-k-kami akan berikan alamat dimana dia tinggal, juga nomor teleponnya, alamat ig dan tiktoknya, kamu bisa mulai minta ketemuan. Terserah kamu gimana caranya, kamu yang kenal dia, kamu pasti bisa melakukan pendekatan. Tugas saya hanya sampai di sini.” Kata Putra sambil menepuk-nepuk bahuku.
Tepukannya, entah bagaimana membuatku tenang.
Dia sangat mengayomi ya.
Seandainya aku memiliki seorang kakak, mungkin sosok seperti ini yang akan kupilih.
“Gimana, Cinta? Berat banget nggak tugas lo, hah? Mau dibantuin?” Devon memelukku dari belakang sambil berbisik di telingaku.
Aku menekan sikutku ke ulu hatinya.
“Njing!!” dia langsung mental ke belakang sambil memegangi perutnya.
Makan tuh bogeman. Merusak suasana aja sih.
Putra terkikik, “Sa-sa-saranku sih Axel, kamu tetap aja kerja di Cafe itu. De’Monsieur. Udah nggak masuk 3 hari kan? Aku udah bilang ke Elisa kalau kamu sakit jadi untuk sementara digantikan sama pengawalku.”
“Pengawal...?” Maksudnya apa sih?
“Iyaaa, kan nggak enak kalau kamu menghilang nanti dikira resign lagi. Kami berharap kamu bisa sambil bekerja di sini, part-time juga di sana. Racikan kopi kamu kan sudah jadi signature di sana. Kasihan Elisa dan Oliver kalau kamu resign.” Kata Putra sambil duduk di sebelah Ivander, “Cafe itu tempat yang pas untuk kamu bicara sama Irvin, jadi tempat pertemuan kalian.”
Sepertinya aku mulai bisa membaca maksud kalimat Putra.
“Berapa pengawal kamu yang ada di sana?” tanyaku akhirnya.
“Sekitar 5 orang.”
Aku pun mencibir. Ini sih... cafe itu akan dijadikan kantor penyamaran dadakan.
Kasihan banget Elisa, bisa jadi dia lagi ketakutan sekarang gara-gara aku.
“Kalian butuh tempat mengintai yang sudah memiliki reputasi baik di masyarakat ya.” Tebakku,
Putra dan Ivander mengangguk sambil menyeringai.
Kesempatan banget deh mereka.
Menggunakan namaku untuk diam-diam menyusup ke sana. Kutebak juga kantor dadakan mereka di loteng tempatku tadinya menaruh brankas.
“Lagian kalau anak buah Bapak yang di sana bakalan cepat diketahuan, lah penuh tato begini. Kalau anak buahku kan stylenya kalem-kalem, khihihi!” kikik Putra.
“Orang Kerajaan kan nggak boleh Bertato, Yang Mulia...” kata Devon sambil mengelus perutnya dan menegakkan tubuhnya. “Nggak kayak Rajanya punya tato segede gaban.”
“Lah kenapa kamu tahu? Itu kan letaknya di punggung. Mengintip saya mandi yaaaa?” Putra ketawa.
“Iya laaaah, kan CCTV saya juga ada yang di dalam air, Bro King!” Devon mengerling. Kayaknya dia bercanda.
“Nakutin amat teman kamu,” Putra melirik Ivander. “Saya pulang ah daripada nanti diintipin lagi. Ada pervert di sini.”
“Pulang sana, badan lo makan tempat.” Devon membalas Putra.
“Salah ruangan kamu kekecilan, segini sih cuma luas kamas mandi saya di Eterny.” Putra menjulurkan lidahnya.
Dasar orang-orang sombong.
“Segini kalau di kampung saya sudah bisa menampung 20 kepala keluarga.” Kataku spontan sambil memandang ruangan meeting itu.
Tiba-tiba suasana jadi hening.
“Salah ngomong lagi kan saya.” Aku melihat Putra melirik Devon dengan pandangan menyalahkan.
“Jackson, dulu si Bang Putra ini anak Kampung, tinggal di rumah triplek di Tambora. Kerjanya tukang parkir sebelum dicariin sama pengawalnya katanya dia pewaris kerajaan. Jadi dia ngerti banget penderitaan kamu.” Kata Devon.
Dunia ini sinting.
**
Sekali up perasaan baca bentar kok dah habis aja
Kurang madam 🤭🤭
tranding lintas ini jackkkkkk
blm di kasih ambil jatah ternyata ini pak Devon
😆
sabar paaaakkk
maklumlah gimana kehidupan Hani
gimana penjagaan Jackson dulu
sabaaarrrr