NovelToon NovelToon
Obsesi Tuan Adrian

Obsesi Tuan Adrian

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / CEO / Diam-Diam Cinta / Mafia / Cintapertama / Balas Dendam
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Azona W

Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.

Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.

Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Bersamamu

Angin malam menggesek ranting pepohonan, menambah suara berdecit tajam di luar rumah. Namun suara itu kalah oleh langkah kaki cepat yang melintasi halaman belakang, suara yang tidak manusiawi dalam ketenangan malam.

BRAK!

Jendela belakang bergetar keras.

Elena menjerit kecil dan langsung merapat ke Adrian. Pria itu memeluk pinggangnya, menariknya ke belakang tubuhnya dengan satu gerakan instingtif.

“Elena, di belakangku,” bisik Adrian. Suaranya rendah. Serius. Bergetar oleh ketegangan yang tidak ia tunjukkan, tetapi Elena bisa rasakan.

Sebastian bergerak cepat ke sudut ruangan, mengambil remote kecil, menekan tombol.

Seluruh lampu rumah padam.

Gelap total.

“Kita tidak boleh terlihat,” kata Sebastian setenang malaikat maut.

Elena mencengkeram jaket Adrian. Jantungnya berdebar begitu keras ia takut suara itu terdengar dari luar.

Adrian menunduk, bibirnya nyaris menyentuh telinga Elena.

“Jangan lepas tanganku, apa pun yang terjadi.”

Elena mengangguk, napasnya pendek dan panik.

Di luar, langkah kaki itu berhenti tepat di bawah jendela dapur.

Diam. Menunggu.

Adrian menyipitkan mata, tubuhnya bergetar bukan karena takut…

tetapi karena kemarahan yang ia tahan sampai titik mendidih.

Sebastian bergerak perlahan ke samping tirai, mengintip dari celah sekecil kuku.

“Ada seseorang,” bisiknya. “Sendirian. Masker hitam. Tinggi.”

Adrian menggeram rendah. “Dorian?”

Sebastian menggeleng.

“Tidak. Gaya geraknya bukan Dorian. Ini orang lain. Kemungkinan besar… pengamat.”

“Pengamat?” Elena berbisik.

Sebastian mengangguk.

“Cassian biasanya mengirim seseorang lebih dulu untuk mengukur kondisi target. Dia melihat siapa yang panik, siapa yang melindungi, dan bagaimana kalian bereaksi.”

Adrian menyipitkan mata. “Dia mengukur aku.”

Sebastian menatap Adrian. “Ya.”

Hening yang berat menguasai ruangan.

Adrian melingkarkan tangannya di pinggang Elena lebih erat, seolah takut sesuatu akan merenggutnya dari sisi Adrian kapan saja.

Langkah kaki di luar bergerak lagi, kali ini menuju pintu belakang.

“Dia menuju pintu,” bisik Sebastian.

Adrian mengeluarkan pisau lipat dari saku belakang.

“Elena, pegangan.”

Elena memeluk pinggangnya dari belakang, menahan tubuh Adrian agar ia tidak menyerbu keluar tanpa pikir panjang.

“Adrian, jangan!” Elena menahan, “Ini yang Cassian mau! Dia ingin kau keluar!”

Adrian berhenti.

Nafasnya gemetar.

Elena menempelkan dahi di punggung Adrian.

“Jangan tinggalkan aku…”

Kalimat itu merobek sisa kontrol yang Adrian punya. Dia tidak bisa meninggalkan Elena, tidak malam ini. Tidak setelah pesan simbol dua goresan itu.

“Elena…” Adrian membalik tubuhnya, memegang wajah Elena. “Aku tidak akan kemana-mana.”

Sebastian mendesis dari jendela. “Dia pergi! Orangnya bergerak ke arah pagar samping, dia kabur.”

Adrian menoleh cepat.

“Bisa kau kejar?”

“Aku bisa,” jawab Sebastian. “Tapi itu akan membuat rumah tidak terjaga.”

Adrian memandang Elena.

Lalu memandang pintu.

Pilihan itu menyayat dalam dirinya.

“Elena…” suaranya rendah, getir, “aku ingin mengejarnya. Tapi aku tidak akan tinggalkan kau sendirian. Tidak malam ini.”

Elena menggenggam tangannya. “Adrian… pergilah.”

Adrian membeku. “Tidak.”

“Sebastian ada di sini,” Elena meyakinkan. “Dan aku… aku tidak mau menjadi alasan kau kehilangan kesempatan ini.”

Adrian memegang pipi Elena, ibu jarinya mengusap lembut.

“Aku tidak peduli dengan pengamat itu. Aku peduli padamu.”

Elena meletakkan tangan di dadanya.

“Aku aman. Aku tidak akan ke mana pun.”

Adrian menahan napas. Kemudian menunduk dan menyentuhkan bibirnya ke kening Elena, lama. Dalam. Seolah ia sedang menandai Elena dalam ingatannya sebelum berpisah sesaat.

“Elena…” bisiknya, “…aku akan kembali dalam sepuluh menit.”

Elena mengangguk.

Adrian akhirnya menoleh ke Sebastian.

“Kau jaga dia. Nyawamu bayarannya.”

Sebastian mengangkat alis. “Sejak kapan aku tidak?”

Adrian tidak menjawab.

Ia membuka pintu belakang, tanpa suara, dan menerjang ke kegelapan.

...

Di dalam rumah, Elena menahan napas.

Sebastian menutup pintu perlahan.

“Dia marah,” katanya singkat. “Bahaya kalau Adrian marah.”

Elena menelan ludah. “Aku tahu…”

Sebastian memeriksa jendela sekali lagi.

“Orang itu tidak menyerang karena dia tidak diperintah menyerang. Dia hanya mencatat bagaimana Adrian bereaksi.”

Elena memeluk dirinya sendiri.

“Jadi ini permainan… psikologis lagi?”

Sebastian mengangguk.

“Ada satu hal yang kupelajari dari Cassian,” katanya pelan. “Dia tidak pernah menyerang sebelum dia tahu persis apa yang membuat musuhnya runtuh.”

Elena merinding.

“Lalu… apa yang membuat Adrian runtuh?”

Sebastian menatap Elena, panjang dan penuh makna.

“Kau.”

Elena tersentak.

“A-apa maksudmu?”

“Ancaman terhadapmu,” Sebastian menjelaskan. “Itu titik terlemah Adrian. Dan Cassian sudah tahu itu sejak dulu.”

Elena memeluk tubuhnya. “Dan itu berarti… Cassian akan mengincar aku terus?”

“Ya,” jawab Sebastian jujur.

“Tapi bukan untuk membunuhmu. Untuk menghancurkan Adrian dari dalam.”

Elena menutup mata, tubuhnya gemetar.

Sebastian melunakkan suaranya, hal yang jarang ia lakukan.

“Elena, aku tahu ini menakutkan. Tapi kau harus ingat satu hal.”

“Apa?”

“Adrian bukan hanya mencintaimu.” Sebastian menatapnya dalam. “Dia hidup darimu.”

Elena nyaris menangis mendengar itu.

Sebastian menambahkan.

“Dan kau satu-satunya alasan dia tidak tenggelam malam ini.”

....

Pintu belakang terbuka keras.

Elena menoleh cepat.

“Adrian!”

Pria itu masuk, napasnya memburu, keringat bercampur hujan di pelipisnya. Matanya tajam, liar, namun langsung melunak saat melihat Elena.

Elena berlari memeluknya. Adrian membalas pelukan itu dengan kekuatan yang membuat Elena terangkat.

“Aku gagal menangkapnya,” Adrian menggeram. “Tapi dia meninggalkan sesuatu.”

Elena menarik diri sedikit. “Apa?”

Adrian mengeluarkan benda kecil dari jaketnya.

Sebuah kunci kecil. Model lama. Ditempel sesuatu di gagangnya.  Kertas kecil.

Sebastian mendekat.

“Apa itu?”

Adrian membuka lipatan kertasnya.

Elena dan Sebastian mendekat.

Hanya ada satu kalimat di sana.

“Kau ingin tahu siapa yang membakar rumah ibumu?

Mulailah dari tempat ini.”

Dan di bawahnya…

Alamat.

Elena membaca keras-keras dengan suara bergetar.

“Ravensfield… Gudang Nomor 4.”

Adrian menutup mata, rahangnya mengencang.

“Gudang itu…” bisik Sebastian, “…kota tua. Sudah tidak dipakai. Tempat sempurna untuk menyembunyikan sesuatu.”

Elena menatap Adrian, ketakutan dan tekad menyatu.

“Kita harus pergi ke sana,” katanya.

Adrian membuka mata.

Tatapannya gelap.

Tekadnya tak bisa dibantah.

“Besok,” katanya. “Aku tidak akan membawa kau ke sana malam ini.”

Elena mengangguk pelan.

Adrian menyentuh wajah Elena, lembut.

“Elena… aku butuh kau tetap di sisiku. Apa pun yang kita temukan besok,” bisiknya, “aku ingin kau tetap memegang tanganku.”

Elena menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Aku akan tetap memegang tangamu.”

Adrian menempelkan dahinya pada dahinya.

“Besok… kita buka pintu pertama menuju masa lalu yang Cassian sembunyikan.”

Elena memejamkan mata.

“Aku bersamamu.”

Di luar, angin mengaum.

Petir jauh terdengar.

Seakan alam pun tahu. Besok, kebenaran akan mulai terungkap.

 

1
Mentariz
Penasaran kelanjutannya, ceritanya nagih bangeett 👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!