Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.
Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.
Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.
Bab 28: Tersudut
Bau mesiu masih samar-samar tercium saat Leonhard keluar dari gudang. Kemejanya sedikit kusut, dia bari sadar masih berdandan selayaknya Baskara. Sorot matanya tajam—masih menyimpan sisa amarah yang belum sempat dilepaskan. Raghav mengikutinya dari belakang, wajahnya kaku.
“Gua udah update ke Prima untuk ngurusin orang tadi,” kata Raghav cepat. Leonhard menarik nafas panjang dan menepuk pelipisnya sendiri.
“Jangan bawa-bawa polisi dulu, nanti jadi ribet. Males.”
“Tenang aja. Gua cuma nyuruh dia bersihin jejak, baru lacak dalangnya,” jawab Raghav.
Leonhard mengangguk kecil. Otaknya masih berputar cepat, menyusun potongan informasi dari interogasi tadi. Orang itu cuma kaki. Bayaran besar. Perintah via orang tengah. Terlalu rapi untuk kerjaan amatir.
“Pastikan semua CCTV internal disimpan double. Kalau ada kebocoran, gua gak segan singkirin siapa pun yang teledor,” ujarnya datar, nada suaranya bikin udara di sekitar mendadak berat.
“Copy,” jawab Raghav cepat.
Leonhard berjalan ke ruangannya dengan langkah cepat dan terukur. Begitu pintu tertutup, dia bersandar di kursi dan menghembuskan nafas keras—baru saat itu dia sadar dasinya masih tergantung rapi, jam tangan Baskara masih menempel di pergelangan, dan wajahnya masih wajah “dosen terhormat” fakultas.
“Brengsek,” gumamnya pelan, membuka kancing kemeja untuk menggantinya dengan yang baru. Bayangan wajah Selina muncul begitu saja—ekspresi kagetnya waktu dicium, sorot matanya yang gugup. Entah kenapa, semua itu bikin dadanya terasa panas.
Ponselnya tiba-tiba bergetar. Notifikasi kalender muncul di layar:
[Kelas Survey of American Literature – 10 Menit Lagi]
“Perfect timing,” desisnya sarkastik.
*
*
Leonhard—atau tepatnya, Baskara melangkah cepat ke gedung fakultas. Langit sore mulai meredup, tapi lorong kampus tetap ramai. Kelas ini adalah kelas terakhir sebelum jam perkuliahan benar-benar habis.
Dari luar, siapa pun akan melihatnya sebagai dosen muda yang tenang dan kharismatik. Padahal, beberapa menit lalu dia nyaris menembak orang.
Begitu masuk ke kelas, suara ribut mahasiswa langsung mereda. Semua otomatis duduk tegap begitu melihatnya datang dengan kemeja rapi dan ekspresi datar khas Baskara.
“Good afternoon,” sapanya singkat sambil meletakkan tas kerja di meja dosen. Suaranya terdengar stabil, padahal dalam kepalanya masih bersisa bau mesiu dan wajah orang yang dia interogasi.
“Maaf saya sedikit terlambat.”
Dia mulai menulis beberapa poin materi di papan tulis, tapi pikirannya melayang. Setiap suara spidol menyentuh papan seolah menjadi gema samar dari suara tembakan di gudang tadi. Fokusnya mulai kabur.
Dan seperti sengaja, bayangan Selina muncul begitu saja. Bibirnya. Tatapan matanya setelah ciuman. Cara dia mendorong dengan panik tapi wajahnya masih memerah. Dia meremas spidolnya tanpa sadar, tinta sedikit keluar ke tangannya.
“Pak?” suara salah satu mahasiswa memanggil, memecah lamunannya.
Baskara berkedip, kembali ke realita. “Ya?”
“Spidolnya… bocor, Pak,” ujar si mahasiswa hati-hati.
Dia menatap tangannya yang kini belepotan tinta hitam. “Oh,” gumamnya datar. Suasana kelas mendadak jadi canggung.
Selina yang duduk di kursi paling belakang bisa merasakan aura yang aneh dari dosennya itu. Dia bisa melihat kalau Baskara tidak seperti biasanya—pikirannya seperti bukan di kelas. Selina pun memperhatikannya dengan penasaran.
“Tessa bolos lagi?” Megan membuyarkan fokusnya pada Baskara.
“Hah? Lah… mana gua tau. Emang gua satu kosan?” jawab Selina cepat, tapi matanya masih memperhatikan gerak-gerik dosennya yang bersikap aneh di depan kelas.
Baskara mencoba melanjutkan penjelasan materi. “Jadi, seperti yang kalian lihat di sini…,” ujarnya sambil menunjuk papan tulis. Tapi lidahnya seperti ketinggalan dua langkah dari otaknya. Kalimat yang biasanya mengalir lancar kini tersendat. Beberapa mahasiswa mulai saling pandang.
Kepalanya gak bisa diam. Tiap kali dia mencoba fokus ke materi, otaknya malah muter ulang adegan Selina—terutama waktu bibir mereka bersentuhan. Detak jantungnya berdetak lebih cepat ketika tatapannya bertemu dengan Selina, tangannya refleks mengusap tengkuk seperti berusaha menghapus sisa sensasi itu.
Sial.
Suasana hening sesaat. Lalu dari pojok belakang kelas, terdengar suara celetukan lirih, “Pak Baskara lagi jatuh cinta ya?”
Seketika ruangan pecah oleh tawa tertahan. Beberapa langsung menutup mulut, beberapa yang lebih berani cuma pura-pura batuk padahal ngakak. Baskara terpaku sepersekian detik, lalu mengangkat alis ke arah sumber suara. Mahasiswa di pojok itu langsung pura-pura fokus ke catatan.
Tatapan Baskara tajam, tapi matanya sedikit membulat seperti orang ketahuan. “Fokus ke materi,” ujarnya datar tapi tegas. Suaranya cukup untuk membuat ruangan kembali diam dalam sekejap.
“Dia aneh banget hari ini,” bisik Megan di sebelah Selina. “Lo tau sesuatu?”
Selina hanya menggeleng. Matanya terus terkunci pada gerak-gerik Baskara. Dia yakin pasti asa sesuatu yang menyangkit dirinya dan Leonhard.
“Kayaknya ada yang terjadi deh… haruskah gua tanya Leonhard?” gumam Selina.
Megan langsung menoleh cepat. “Apa hubungannya sama bos lo anjir?”
Tangan Selina yang sedang mencatat materi seketika langsung berhenti. Dia baru saja menjatuhkan fakta baru tanpa sadar. Selina masih diam, dia pun takut untuk menatap Megan di sampingnya.
“Sel! What do you mean?!” Megan berbisik tapi sedikit seperti berteriak sambil menggoyangkan bahunya. Selina menangkap wajahnya di dalam kedua telapak tangannya.
“Fuck my life,” kata Selian dalam hati lalu dia menoleh ke Megan sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Don’t you dare lari ya, Sel. Tell me.”
Senyumnya luntur karena benar-benar terjebak dengan kesalahannya sendiri. “Uhm… agak panjang. Nanti aja selesai kelas gua ceritain.”
“Gak bisa—at least lo kasih tau dulu apa hubungannya? Kenapa tiba-tiba lo mau nanyain tentang Pak Baskara ke bos lo?”
Fokus mereka sudah hilang, bukan lagi soal materi kelas. Selina menarik nafasnya sebelum berbicara—celingukan melihat keadaan.
“I found out… kalau Pak Baskara itu kembarannya Leonhard,” bisik Selina dengan hati-hati.
Megan membelalak, refleks menutup mulutnya sendiri terlalu keras sampai bunyinya terdengar ke seantero kelas. “WHAT—” hampir saja teriak, untung separuhnya masih bisa dia tahan jadi lebih seperti suara melengking aneh yang bikin beberapa mahasiswa di sekitar mereka menoleh.
“Shhh!” Selina panik, buru-buru menekan bahu Megan supaya tenang. Tapi Megan keburu heboh—matanya berbinar seperti baru dapat spoiler besar dari drama favoritnya.
“Lo serius?” bisiknya lagi, kali ini tetap keras. “Gila lo? Don’t fool me, Sel.”
“MEGAN.” Suara itu datar, dalam, dan sangat familiar.
Megan langsung membeku. Semua kepala di kelas serentak menoleh ke arah depan. Baskara menatap tajam dari depan kelas.
“Kalau pembahasannya lebih menarik daripada kuliah saya, saya boleh ikut?” katanya dingin.
Selina merinding. Megan menutup wajahnya pakai buku catatan, pura-pura gak ada di dunia ini. Suasana kelas mendadak kaku. Selina cuma bisa nunduk dalam-dalam, pipinya panas.
Baskara melangkah pelan ke arah barisan bangku mereka, langkahnya tenang tapi tekanannya bikin suasana kelas makin mencekam. Sepatu kulitnya terdengar jelas di antara keheningan.
“Dan kamu juga, Selina.” Suara itu bikin Selina langsung tegak seperti tentara.
“Apa saya harus ganti topik materi jadi topik gossip kamu supaya kamu bisa lebih engage dengan kelas saya?” lanjut Baskara tanpa ekspresi.
Selina mengigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menjawab apa. Dia sangat paham, apapun yang keluar dari mulutnya sudah pasti salah.
“Enggak, Pak,” jawab Selina pelan, nyaris tak terdengar.
“Kalau begitu, fokus,” tegas Baskara. Tatapannya menusuk seperti laser. “Saya nggak butuh ketua kelas yang sibuk ngomentarin kehidupan orang lain waktu saya ngajar. Saya butuh kamu jadi contoh, bukan sumber distraksi.”
Seluruh kelas mendadak senyap. Suara kipas angin di langit-langit jadi terdengar jelas. Selina cuma bisa menunduk, pipinya panas menahan malu.
Baskara menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, memastikan semua murid paham pesan tersiratnya. “Kalau masih ada yang lebih tertarik gosip daripada pelajaran saya, silakan keluar. Saya nggak maksa siapa pun bertahan.”
Nggak ada yang bergerak. Semua menahan napas. Situasi benar-benar beku.
Baskara menahan napas dalam-dalam, mencoba menjaga ekspresinya tetap netral. Dia tahu, yang dia lakukan barusan bukan cuma soal kedisiplinan kelas. Ada emosi lain yang ikut nyelip—emosi yang seharusnya nggak dia bawa ke ruang kelas.
Baskara kembali pada laptopnya, mencatat sesuatu—kemungkinan besar catatan mahasiswa sebagai evaluasi. Sedangkan Selina sibuk mentap teman-temannya di ruang kelas sambil meminta maaf.
“Lo sih…” bisik Selina pada Megan.
“Sorry…”