Dalam dunia yang koyak oleh perang berkepanjangan, dua jiwa bertolak belakang dipertemukan oleh nasib.
Yoha adalah bayangan yang berjalan di antara api dan peluru-seorang prajurit yang kehilangan banyak hal, namun tetap berdiri karena dunia belum memberi ruang untuk jatuh. Ia membunuh bukan karena ia ingin, melainkan karena tidak ada jalan lain untuk melindungi apa yang tersisa.
Lena adalah tangan yang menolak membiarkan kematian menang. Sebagai dokter, ia merajut harapan dari serpihan luka dan darah, meyakini bahwa setiap nyawa pantas untuk diselamatkan-bahkan mereka yang sudah dianggap hilang.
Ketika takdir mempertemukan mereka, bukan cinta yang pertama kali lahir, melainkan konflik. Sebab bagaimana mungkin seorang penyembuh dan seorang pembunuh bisa memahami arti yang sama dari "perdamaian"?
Namun dunia ini tidak hitam putih. Dan kadang, luka terdalam hanya bisa dimengerti oleh mereka yang juga terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr_Dream111, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelukan yang menyatukan luka
Tubuhku terbaring lemas di antara gulungan selimut yang basah oleh keringat dingin. Seminggu sudah demam ini menggerogoti, menyisakan hanya kulit dan tulang yang menggigil. Seolah-olah aku tenggelam dalam samudra kelam, di mana udara adalah racun dan setiap tarikan napas terasa seperti menghirup air asin yang menusuk paru-paru.
Di luar jendela, rintik hujan menari pelan di atas kaca, menciptakan melodi sunyi yang bersahutan dengan detak jam dinding. Langit kelabu menggantung rendah, seakan turut berduka atas keadaanku. Awan-awan hitam bergulung-gulung, memantulkan bayang-bayang suram yang mengintip ke dalam kamar.
Namun di tengah dinginnya dunia luar, ada kehangatan yang bertahan di sini—selimut tebal yang membungkus tubuhku, kompres dingin di dahi yang perlahan menghisap panas demam, dan secangkir obat herbal di meja samping ranjang. Uapnya mengepul lembut, membawa aroma yang seakan berbisik, " Tahanlah, sedikit lagi. "
Menerima kenyataan ternyata tidak semudah mengucapkannya.
Setiap malam, ketika kegelapan menyergap, mereka datang—para arwah yang kurenggut nyawanya. Mereka berbaris di pinggiran mimpiku, mata kosong menatap, tangan-tangan berlumuran darah meraih leherku, menuntut balas.
" Kau membunuh kami. "
" Kau monster. "
Aku terbangun dengan teriakan yang terperangkap di tenggorokan, tubuh basah oleh keringat dingin.
Tapi kemudian—
Flerina, dia selalu ada. Pelukannya bagai perisai yang melindungiku dari teror malam. Napasnya yang teratur di dekat telinga menjadi mantra penenang yang perlahan mengusir bayang-bayang itu. Berkat dialah, aku belajar berdiri lagi setiap kali terjatuh, walau harus tumbang berulang kali oleh demam yang tak kunjung reda dan sakit kepala yang menusuk-nusuk seperti belati tumpul.
Dan di saat-saat paling lemah ini, rasa malu itu datang.
Aku, yang seharusnya menjadi pelindung, kini terbaring tak berdaya seperti anak kecil yang menunggu ibunya pulang. Flerina—gadis yang seharusnya kujaga, kini justru menjadi sandaranku. Tangannya yang halus mengusap keringat di dahiku, suaranya yang lembut membacakan dongeng untuk meninabobokkan, dan matanya yang hijau itu selalu memancarkan keyakinan bahwa aku akan sembuh.
" Kau kuat, " bisiknya tadi malam, saat gemeretak giginya yang menggigil kedinginan membuatku terbangun. " Kau selalu kuat. "
Dan aku—
Aku hanya bisa menatapnya, sambil merasakan sesuatu yang lebih panas dari demam ini membakar dadaku.
...Kreek... ...
Suara pintu yang terbuka samar-samar menembus kesunyian rumah. Derap langkah kaki yang tergesa naik tangga—ringan namun pasti membuatku mengerahkan sisa tenaga untuk membuka kelopak mata yang berat.
Dan di sana, di ambang pintu kamar, berdiri sosok itu.
Flerina.
Rambut pirangnya basah oleh rintik hujan, wajahnya yang biasanya bersemu merah oleh dingin kini pucat karena kekhawatiran. Mata hijau itu—yang selalu bisa menenangkan badai dalam diriku, kini menatap dengan pandangan yang membuat dadaku sesak.
" Bagaimana keadaanmu? " Suaranya mengalun lembut, lebih halus dari gemerisik hujan di luar sana.
Aku mengerutkan dahi. Baru 1 jam yang lalu kusaksikan dia mengenakan mantelnya, berangkat ke laboratorium dengan senyum penuh janji.
" Ini masih pagi, " suaraku parau, lebih mirip dengusan nafas daripada ucapan. " Kenapa sudah pulang? "
Dia mendekat, dinginnya udara luar masih melekat pada bajunya. Jemari yang dingin namun lembut itu menyentuh pipiku, membuatku sadar betapa panasnya tubuhku.
" Aku ambil cuti sementara waktu, " bisiknya sambil tangan itu berpindah ke dahiku, mengecek demam. " Mana mungkin kutinggalkan dirimu begini setiap hari. "
" Maaf merepotkanmu, " ucapku, merasa tak berdaya seperti anak kecil yang terjatuh.
Flerina menggeleng, senyum kecil mengembang di bibirnya. " Sudah sewajarnya seorang istri menjaga suaminya yang sakit, " katanya, jari-jarinya yang dingin menyisir rambutku yang basah oleh keringat. " Jadi tak perlu minta maaf. "
Aku hanya bisa menatapnya—wajah yang selalu tegar itu kini terlihat lelah, namun tetap bersinar dengan ketulusan yang membuat tenggorokanku mengencang.
" Mumpung aku di rumah, " ujarnya tiba-tiba, suaranya cerah seperti mencoba mengusir kesuraman kamar, " mau kumasakkan sesuatu? "
" Bubur nasi, " jawabku pelan. " Dan... teh hangat. "
Dia mengangguk, senyumnya semakin cerah, sebelum berbalik meninggalkan kamar. Aku menyaksikan bayangannya menghilang di balik pintu, mendengar langkah kakinya yang perlahan menuruni tangga.
Dan di kesendirian ini, dengan hanya ditemani rintik hujan dan detak jam dinding, aku menyadari sesuatu—
Betapa berartinya kehadiran seseorang yang bersedia pulang untukmu.
Beberapa menit kemudian, Flerina kembali dengan baki berisi semangkuk bubur nasi yang masih mengepul dan secangkir teh hangat. Aromanya menyergap udara, membangunkan indra penciumanku yang selama ini terbuai oleh demam.
Tanpa diminta, dia duduk di tepi ranjang, sendok perak kecil sudah terhunus di tangannya.
" Enak...? " Tanyanya sambil menyuapkan bubur pertama ke mulutku, matanya yang hijau berbinar penuh harap.
Aku mengangguk pelan, butiran nasi yang lembut meleleh di lidah. " Ini pertama kalinya aku makan bubur nasi, " gumamku, heran bagaimana makanan sederhana bisa terasa begitu nikmat.
Flerina tiba-tiba tersenyum aneh, bibirnya bergetar menahan tawa.
" Apa ada yang salah? " Tanyaku, merasa pipi memanas bukan karena demam.
Jemarinya yang hangat menyentuh bibirku, menghapus butiran nasi yang mungkin tersisa. " Akhir-akhir ini aku sering melihatmu tersenyum lagi, " ujarnya lembut, " dan kupikir itu awal yang bagus. "
Tersenyum?
Tanganku refleks menyentuh pipi sendiri. Benar juga semenjak ada dia, aku memang sering tersenyum tanpa kusadari. Senyum yang hilang semenjak kematian kapten Alvar.
Keberadaan Flerina seperti air segar yang merembes masuk ke retakan-retakan jiwaku, menyatukan serpihan-serpihan diriku yang lama. Perlahan tapi pasti, bayangan Lena mulai memudar—mungkin apa yang kukira cinta hanyalah ikatan saudara yang keliru kupahami.
Renunganku terpenggal saat bibir Flerina menyentuh pipiku. Ciuman singkat itu, yang selalu dia berikan setiap akan menidurkanku, tetap saja membuat jantungku berdegup kencang.
" Aku punya teman dokter psikologi di markas rahasia intelejen kami, " bisiknya sambil menaruh baki di meja, suaranya bergetar antara harap dan was-was. " Mungkin kita bisa mencoba... "
" Apa menurutmu aku bisa sembuh? " Suaraku parau. Dokter Kai saja sudah menyerah, apalagi seorang dokter yang juga agen rahasia?
Tangannya yang hangat menggenggam erat jemariku. " Kita tidak akan tahu sebelum mencoba, " matanya berkilau seperti embun pagi. " Dan jika tidak berhasil, aku akan membawamu keliling dunia mencari yang terbaik—sampai ujung bumi jika perlu. "
" Kenapa kau mau melakukan itu untuk penjahat perang sepertiku? "
Dia tiba-tiba mengembungkan pipi, wajahnya merah padam seperti anak kecil yang kesal. " Sudah kubilang bukan? " Tangannya menepuk lembut pipiku, " Karena aku mencintaimu! "
Kali kelima kalimat itu meluncur dari bibirnya—lembut tapi teguh, seperti akar yang perlahan mencengkeram batu.
" Kau cantik, pintar... tapi kenapa memilihku? Aku bahkan tidak mengerti apa itu cinta. "
Flerina mendekat, nafasnya yang hangat berbaur dengan wangi dari rambutnya. " Cinta tidak butuh penjelasan, " bisiknya, jemarinya menelusuri bekas luka di tanganku. " Dan jika kau merasa tidak pantas, akan kubuat kau pantas! "
Jantungku seakan berhenti sejenak mendengar perkataannya dan tanpa kusadari, tanganku sudah meraih tubuh mungilnya, menariknya dalam pelukan erat. Tubuhnya yang hangat, wangi sabunnya yang sederhana, degup jantungnya yang stabil—semuanya mengingatkanku pada ibu.
" Yoha...? " Suaranya terkejut, tubuhnya kaku sejenak sebelum akhirnya melebur dalam pelukan.
Air mata panas mengalir tanpa kusadari, membasahi bahunya yang ramping.
" Pasti lelah ya menjadi dirimu? " Tangan Flerina mengelus lembut rambutku, suaranya bergetar seperti dawai biola. " Menangislah... Aku di sini untukmu. "
Setiap katanya bagai palu godam yang meruntuhkan tembok tebal di hatiku. Aku menangis—seperti anak kecil yang baru menyadari betapa perih luka di lututnya.
" Kau hebat sudah bertahan selama ini, " bisiknya sambil terus mengelus, " Bertahanlah sedikit lagi. Setelah misi selesai, kita akan pergi dari dunia kejam ini. "
Bayangan itu muncul dengan jelas—sebuah rumah kayu di desa kecil, pagi yang diisi dengan bercocok tanam, malam yang dihabiskan dengan cerita di depan perapian. Hidup tenang jauh dari peperangan... bersama Flerina.
" Bagaimana? Mau tinggal bersamaku kan? "
Aku mengangguk pelan dengan wajah masih terkubur di bahunya. Ya, inilah yang kuinginkan sekarang—bukan lagi bayangan Lena, tapi masa depan bersamanya.
" Berjanjilah padaku, " bisiknya sambil mulai bersenandung—lagu pengantar tidur yang selalu dinyanyikannya di malam-malam kelamku. Suaranya merdu bagai aliran sungai di musim semi, membawa pergi segala kegelisahan.
" Maaf, aku jadi cengeng, " gumamku setelah cukup lama menikmati pelukannya.
Flerina tiba-tiba menarikku ke ranjang, tubuhnya yang hangat menjadi selimut terbaik. " Justru sifat cengengmu itu, " bisiknya sambil mengecup keningku, " yang membuatku merasa berguna untukmu. Sekarang tidurlah, biar kujaga kau malam ini. "
Di pelukannya yang erat, di antara senandung dan detak jantungnya yang teratur, akhirnya kuakui dalam hati.
Maafkan aku, Lena. Bersamamu aku mendapatkan hari yang begitu indah, tapi Flerina... dia memberiku lebih dari sekadar itu.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidup yang penuh luka ini, aku tertidur dengan senyum tulus—bukan karena obat penenang, bukan karena kelelahan, tapi karena percaya bahwa besok akan lebih baik.
^^^To be continued^^^