Gita terjatuh saat merenovasi balkon bangunan yang menjadi tempatnya bersekolah saat SMA.
Saat terbangun, ia berada di UKS dan berada dalam tubuhnya yang masih berusia remaja, di 20 tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Verlit Ivana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konspirasi
Gedung administasi SMA Pelita menampung fasilitas terutama untuk pihak yayasan dan para guru, juga sebuah ruang auditorium yang cukup luas di dalamnya. Pada tahun 2004, gedung tersebut adalah satu-satunya bangunan di SMA Pelita yang memiliki empat lantai, dengan roof garden pada bagian atas. Di mana taman tersebut hanya bisa dinikmati pihak tertentu saja.
Seperti pagi ini. Harun, seorang pria tua dengan setelah pakaian olahraga putih dari brand ternama tengah melakukan beberapa gerakan senam meski tanpa musik pengiring. Tak jauh darinya, seorang pria muda dengan setelan kemeja dan celana bahan warna gelap berdiri, menunggu pria dengan rabut memutih seluruhnya itu selesai berolahraga.
"Sudah Kau bereskan masalah anak itu?" tanya pria tua yang senantiasa tampak bugar, meski usianya sudah hampir menyentuh angka 70 tahun.
Harun menunggu jawaban si pria necis sambil mengayun-ayunkan tangannya. Beberapa pekan sudah berlalu sejak terakhir kali ia membahas 'anak itu' yang tak lain adalah Gita. Gita, anak beasiswa yang bertingkah mencurigakan dengan melalaikan kewajibannya untuk mengikuti ajang lomba bergengsi.
Beberapa waktu setelahnya Harun mendapat laporan, jika ada sebuah hal yang terjadi di SMA Pelita, dan Gita terlibat di dalamnya. Meski 'orang-orangnya' sudah mengurus kejadian memalukan itu dengan baik, namun ia masih agak berhati-hati mengurus Gita, karena gadis itu siswa di sana yang bukan merupakan anak bermasalah.
"Belakangan ini dia tidak berusaha lagi mengadukan sesuatu tentang kejadian itu. Pasti dia sudah takut karena sadar berurusan dengan sesuatu yang berbahaya," jawab pria berkemeja rapi itu dengan rasa bangga, namu berusaha terdengar sopan.
"Saya tidak mau lagi ada kehebohan dengan kedatangan polisi seperti waktu itu." Pria tua itu menegaskan. Meski polisi itu tanpa seragam dan hanya berdua saja, tapi karena wajah mereka tak asing, tentu saja aku bisa mengenali identitas mereka.
Pria berkemeja menelengkan kepalanya, "Kenapa kita mengambil tindakan hanya pada anak itu? Bukankan yang memanggil polisi itu adalah anak bernama Tomy?" Gita itu ... dia hanya siswi penakut mantan penerian beasiswa. Tidak punya koneksi dengan orang penting.
Meski begitu cukup menyusahkan, karena berusaha memberi tahu beberapa guru dengan cukup presisten, namun udah berhasil gue cegah. Tentu saja diikuti peringatan setelahnya.
Justru Tomy ... anak orang kaya itu bahkan memanggil polisi, untung saja Gita sudah kepalang ketakutan dan tidak berani memberi persaksian.
Harun melotot marah dan membentak bawahannya itu, "Apa Kau bodoh?! Kau sama saja dengan keponakanku yang sudah tua itu. Sama-sama berakal pendek! Kau mau kita menyenggol anak konglomerat itu? Entah bagaimana nasib kita. Ingat! Orang tuanya adalah salah satu donatur sekolah ini." Pria tua itu menggeram, kesal dengan pikiran sang bawahan.
Sang pria muda tak terima disebut bodoh, namun ia diam saja. Perkataan pemimpin Yayasan Pelita itu ada benarnya.
"Bapak benar, setidaknya dengan melihat anak itu mendapat peringatan, Tomy akan berpikir dua kali untuk ikut campur. Dia pasti berempati pada gadis payah itu. Tapi...."
"Kenapa? Apa ada yang hal lain yang ingin Kau laporkan?" tanya pria tua tanpa kumis itu tak sabar.
"Ah tidak apa-apa. Bukan hal penting." Pria berkemeja urung bicara. Kayaknya enggak perlu bilang, kalau si anak payah itu sepertinya agak berbeda belakangan ini. Setelah dengan beruntungnya lolos dari kematian berkali-kali.
Pria tua itu pun menyuruh anak buahnya tersebut pergi dengan gerakan tangannya.
Setelah menutup pintu roof garden, sang lelaki muda menghela napas kasar.
"Hah. Dasar manusia tua licik. Kalau gak ingat dengan imbalannya, gue gak mau berurusan sama dia." Pria tampan itu menggeram kesal.
Sepatu kulitnya menapak tergesa menuruni anak tangga, lantai demi lantai, lalu berbelok menelusuri koridor panjang, kemudian ia berhenti sejenak untuk menetralkan hati dan mengatur eskpresi. Usai mengucap salam, ia pun memasuki ruang guru.
Sebenarnya, ada beberapa kejadian yang menimpa Gita di masa lalu, ancaman yang lebih dari sekedar tulisan merah pada buku sketsa. Ancaman sesungguhnya yang selalu hampir membuat Gita celaka, namun ingatan gadis itu masih menguburnya.
***
"Pak Rudi ... selamat pagi! Sapa para siswa yang sedang melintasi samping kubikel Rudi di ruang guru tersebut dengan ramah.
Rudi hanya tersenyum tipis dan mengangguk, namun gerakan singkat dan sederhana itu langsung membuat dua siswi tersebut memekik girang.
"Pak Rudi selamat siang!" sapa guru olah raga meniru para siswi tadi yang langsung disambut gelak tawa para guru lainnya, sedangkan Rudi terkekeh pelan saja.
"Pagi juga Pak Sopian," balas Rudi kemudian.
"Duh kalau saya punya nol koma nol lima persen aja kemiripan sama Pak Rudi, kayaknya saya udah gak jomblo lagi," seloroh Sopian.
Pria yang sudah hampir menginjak usia 40 tahun, termasuk guru senior di sana. Namun tetap bugar karena dulunya ia adalah seorang atlet lari.
Rudi tertawa lepas bersama para guru lainnya, hal yang jarang ia lakukan di depan para siswa. Rudi cenderung terlihat kaku di hadapan murid-muridnya, kecuali seorang siswi yang istimewa, sayangnya nasib siswi itu tidak terlalu baik.
"Pak Rama, nanti jangan lupa kita ada rapat dengan wali murid," ucap Rifda sang guru bimbingan konseling.
Rama mengaduk kopi yang baru ia buat di pantry khusus guru, kepalanya mengangguk. Rapat yang sebenarnya merupakan sidang pendisplinan pelaku perundungan yang menimpa Gita akan diadakan siang nanti.
Mereka berdua mengulas kembali point-point penting yang akan dibahas. Rama dan Rifda berbincang dengan serius, dan tak menyadari jika Rudi yang berada tak jauh dari mereka, diam-diam menajamkan telinga, mencoba menguping pembicaraan dua rekan kerjanya itu. Sedangkan tangannya tetap terlihat sibuk menyusun bahan ajar yang akan ia bawa ke kelas.
Sementara Rudi menguping pembicaraan Rama dan Rifda, sebenarnya Rama pun memperhatikan gerak-gerik Rudi dengan waspada.
***
Jam makan siang sebentar lagi berakhir, Gita menunggu ayahnya di dekat gerbang bersama Yuli. Ia mulai cemas karena ayahnya tak kunjung datang, sementara orang tua para perundungnya sudah berada di ruang rapat, mendampingi anak-anak mereka, bersama para guru yang berwenang.
Akhir pekan kemarin, akhirnya Gita menceritakan tentang perundungan yang ia alami, berserta penyebabnya. Namun ia tak menyinggung sedikitpun tetang penyerangan Denting. Kedua orang tuanya yang pernah sempat menduga putri mereka murung akibat dirundung pun merasa terpukul dan bersalah.
Ayah dan ibu Gita sibuk banting tulang mencari nafkah sebagai karyawan di sebuah pabrik tekstil, yang bahkan sering mendapat jadwal pergantian jam kerja. Ayahnya bekerja di bagian distribusi, dan ibunya di bagian produksi.
Rasa lelah membuat mereka seolah kekurangan energi untuk membahas persoalan rumit bersama putri mereka, dan kala melihat Gita telah kembali ceria dan bahkan lebih komunikatif, ayah dan ibu Gita menganggap permasalahan sebelumnya tak pernah ada.
"Kok belom dateng ya?" tanya Gita cemas.
"Telpon coba Git!" usul Yuli.
Di tahun ini meski memiliki ponsel, Gita kurang tertarik memakainya, karena sudah terlalu menikmati ponsel pintar sebelumnya. Meski demikian, orang tuanya senantiasa berpesan agar Gita selalu membawa ponselnya saat berpergian, termasuk saat ke sekolah.
Gita pun meronggoh sakunya, meraih ponsel berwarna abu-abu, dan menghubungi nomor sang ayah. Namun beberapa kali setelah nada sambung, hanya mesin penjawab otomatis saja yang menyahuti panggilan Gita.
Resah.
Ia hendak bertanya pada ibunya, tapi urung kembali, karena teringat bahwa saat bekerja, sang ibu tak diizinkan membawa ponsel.
Tidak ada informasi yang bisa ia cari tentang keberadaan ayahnya saat ini. Tiba-tiba ada firasat buruk menyerangnya.
"Kalau Kamu tidak berhenti ikut campur, lain kali bukan hanya Kamu yang bakalan celaka, tapi juga keluarga Kamu!"
Gita membeku, ingatan menakutkan itu kembali. Suara parau seorang pria yang mengahampiri dirinya saat terjatuh di tengah jalan raya, kembali terngiang di dalam kepalanya.
Gadis itu menelan ludahnya kasar. Bagaimana jika orang yang ngancem gue itu tau, kalau sekarang gue kembali menyelidiki Denting?
"Yul ... gue ... harus gimana? Ayah gue, apa baik-baik aja?" tanya Gita panik.
"Tenang Git, kita tunggu aja ya. Mungkin macet, ayah lo naik angot kan? Bisa juga ban angkotnya kempes, atau supirnya melipir dulu gegara panggilan alam," tutur Yuli berusaha menenangkan sahabatnya itu.
Gita memejamkan matanya dan berdoa dengan sungguh-sungguh, agar ayahnya tidak dalam bahaya.
***