NovelToon NovelToon
Keluargamu Toxic, Mas!

Keluargamu Toxic, Mas!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Dian Herliana

Annisa jatuh cinta pada Iman, seorang montir mobil di bengkel langganan keluarganya.
Sang Papa menolak, Nisa membangkang demi cinta. Apakah kemiskinan akan membuatnya sadar? atau Nisa akan tetap cinta?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29

"Pah?" hanya panggilan berupa desahan yang terlontar dari bibir Nisa saat pagutan itu berakhir.

"Kita lanjutin yang tadi pagi, ya?" Iman menarik Nisa masuk ke dalam kamar dan langsung menguncinya.

Iman perlahan mendorong Nisa ke tempat tidur.

Nisa memejamkan matanya saat Iman kembali melumat bibirnya. Ia membalas lumatan itu dengan bergairah.

"Emmmhh..' keluh Nisa saat Iman mulai memberi kecupan - kecupan kecil di lehernya.

"Paahhh..?" tubuh Nisa menggelinjang sesaat. Tubuhnya mulai terasa terbakar.

"Mmm?" nafas Iman mulai memburu. Ia membuka kancing daster Nisa. Begitu terbuka ia membenamkan wajahnya di sana.

"Awwhh...Geli.. Pah.."

Tok - Tok! Tok -Tok!

Tok - Tok! Tok -Tok!

"Mamaah! Kok dikunci, sih? Doni mau be - a - be!" suara Doni terdengar memaksa. Kenapa anak itu tiba - tiba pulang?

"Busyet, dah!" Iman mengucak rambutnya seraya bangun dari atas tubuh Nisa.

"Kenapa nggak di kamar mandi sana aja sih, Don?!" seru Iman gusar. Ia sudah berdiri di depan pintu tapi tidak ingin membukanya.

Nisa merapihkan kancing dasternya yang terbuka.

"Nggak mau! Buka, Pah!" teriak Doni lagi saat tahu Papahnya ada di dalam.

"Bukain, Pah. Doni nggak mau pakai kamar mandi yang itu."

"Emang kenapa, sih?"

"Klosetnya jongkok, Dia 'kan biasa pakai yang duduk."

Akhirnya Iman membukakan pintu.

"Lama banget! Ngapain aja, sih?" Doni langsung menghambur ke kamar mandi.

'Dasar nggak peka banget Kamu, Doon!' jerit hati sang Papah.

Nisa mengulurkan tangannya. Mengajak Iman untuk duduk.

"Ntar malem aja ya, Pah?" bisik Nisa.

"Papah maunya sekarang." Iman balas berbisik. Ia mendekatkan wajahnya lagi.

"Atuh gimana?" Nisa menjauhkan wajahnya untuk menghindar. ia ingin bangun tapi Iman menahannya.

"Kita tunggu Doni selesai, Mah."

"Bagaimana kalau Dia malah nggak mau keluar kamar?" Doni ini bungsu. Kadang ia ingin bermanja - manja. Melihat Mamah dan Papahnya berbincang di kamar, ia akan ikut bergabung. Kalau mereka sudah saling bercerita dengan ramai, Deni akan masuk dan ikut bergabung. Lalu Nino.

Itu adalah saat - saat yang membahagiakan untuk Nisa. Saling melempar canda. Sesuatu yang sangat jarang mereka lakukan sekarang.

"Don! Kok lama banget, sih?" teriak Iman. Iman membaringkan tubuhnya.

"Mamah bikinin kopi dulu, deh." titahnya.

Nisa menurut. Ia pun pergi ke dapur untuk membuatkan kopi yang Iman minta.

"Assalaamu'alaykum!"

"Wa'alaykumussalaam." balas Nisa. Nino dan Wiwi sudah pulang. Tentu saja bersama Rifki.

"Akek na nee?!" seru Rifki saat Nisa memeluknya. Rifki memang sangat dekat dengan kakeknya.

"Di kamar. Sana ke Kakek, gih." titah Nisa.

Nisa tersenyum. Acara bersyahdu ria sudah di pastikan gagal total.

Benar saja. Saat Nisa mengantarkan kopi ke kamar, sepasang Kakek dan cucu itu sedang asyik bermain.

"Ini kopinya, Pah." Iman mengangguk.

"Rifki mau kopi? Tunggu, ya. Masih panas." Rifki mengangguk. Ia memang acapkali Iman suapi kopinya meski tidak banyak. Katanya balita yang sering diberi kopi akan mencegahnya terkena step kalau badannya panas. Ini mitos atau fakta, ya?

"Rifki udah pulang?!" teriak Doni senang. Ia sangat menyayangi keponakannya ini.

Doni baru keluar dari kamar mandi.

"Lama banget di kamar mandinya!" sungut Iman kesal. Ia lalu mengajak Rifki keluar kamar sambil menenteng gelas kopinya.

********

Iman dan Nisa 'terkadang' terlihat saling mencintai tapi seringkali juga mereka meributkan hal yang sebenarnya tidak perlu di ributkan.

Rumah mereka yang sekarang ini besar, tidak kecil dan sempit seperti rumah lama mereka. Tapi Nisa merasa rumah kecil itu penuh dengan cinta. Tidak hampa seperti rumah ini.

Saat mereka baru saja pindahan, ketika keluarga yang lain belum menyelesaikan pembangunan rumahnya, banjir besar pertama melanda rumah mereka. Membaws lari sekian ton ikan di dalam empang. Membawa lumpur yang membuat pemancingan rusak parah.

Itu kebangkrutan yang pertama.

Mereka mulai saling menyalahkan karena mereka tidak memiliki pegangan uang sama sekali.

"Mamah, sih! Bikin rumah segede ini! Uangnya habis, 'kan?"

"Kok jadi Mamah disalahin? Papah main kredit mobil aja. 'Kan kata Mamah juga nanti dulu nunggu rumah selesai. Kalau masih ada uangnya, baru Kita ambil kreditan. Itu juga yang murah aja. Tapi Papah tetap ambil mobil yang ditawarin bang Ijay!" namanya perempuan yang katanya bermulut 2. Jadi kosa katanya juga 2 kali lipat.

"Kalau Rumahnya nggak kegedean juga Kita masih punya sisa uang, Mah!"

"Anak Kita 3, Pah. Nanti Kita bakal punya cucu. Bagaimana kalau mereka main di rumah Kita yang sempit?"

"Udah - udah! Kok jadi pada berantem, sih?" Anto dan Eman yang saat itu sedang menengok rumah mereka yang kebanjiran jadi ikutan pusing.

"Masih mending di rumah depan juga! Kecil, jelek, tapi nggak pernah kebanjiran." Nisa mulai menangis. Apa senangnya rumah bagus tapi jadi was - was setiap kali hujan besar turun?

Iman diam. Ia tidak tau harus menjawab apa. Sebenarnya ia juga kangen rumah mereka yang lama. Saat semuanya berkumpul di ruang TV yang sempit, saat mereka harus berbagi kamar tapi mereka lebih suka berkumpul dalam 1 kamar.

Sekarang mereka mempunyai kamar masing - masing dan lebih sering menghabiskan waktu di kamarnya itu.

"Sekarang bagaimana? Apa Kita tutup aja pemancingan Kita?"

Nisa mendelik.

"Kok ditutup? Bagaimana caranya Kita bayar kreditan mobil, Pah?"

Lagi - lagi Iman diam.

"Rapihin aja dulu empangnya." Saran Eman.

"Duitnya?" sahut Iman lemas.

"Nanti Aku pinjemin. 10 juta cukup?" Iman mulai terlihat cerah. Ia masih mempunyai harapan.

Tapi mereka bertengkar lagi. Iman ingin membayar orang yang akan mengangkat lumpur yang di bawa banjir. Dan orang itu minta 6 juta rupiah.

"6 juta?!" Nisa kalap. Sebanyak itu? Bahkan untuk menggali mereka menghabiskan lebih dari setengah uang yang Eman pinjamkan.

"Terus harus bagaimana, Mah?" tanya Iman tidak kalah kalapnya.

"Papah pikir, dong. Bagaimana untuk merenov lampak yang hancur itu, apa cukup dengan uang 4 juta?"

"Terus gimana? Apa Kita tutup aja pemancingannya?" lagi - lagi. Iman selalu mengedepankan ambek nya.

"Papah mau cari uang seperti dulu lagi?" Iman terdiam. Ia memang sudah merasakan kenyamanan selama bertahun - tahun memiliki pemancingan ini.

"Pah, karyawan Papah aja suruh bantuin ngangkatin lumpurnya." karyawan Iman ada 3 setelah Rasya di pecat. Mereka memang pernah mendapat gantinya tapi ia sudah berhenti juga.

"Mana mereka bisa, Mah? Lumpur itu berat bsnget." nada suara Iman melunak.

"Pelan - pelan aja, Pah. Kita minta tolong sama mereka untuk sama - sama merapikan tempat mereka bekerja juga. Kita kasih pengertian kalau Kita nggak bisa ngasih banyak. Makan Kita bareng - bareng." sepertinya semua omongan Nisa dapat diterima oleh Iman.

Iman mengumpulkan anak buahnya. Ternyata mereka sama sekali tidak keberatan dengan permintaan Iman.

"Siap, Bos!"

"Tapi Aku nggak bisa ngupahin Kalian. Hanya makan aja yang kenyang!"

"Nggak masalah, Bos. Ini 'kan buat Kami juga!"

Dengan giat mereka mulai bekerja. Setiap pulang sekolah Deni ikut turun ke empang untuk membantu.

Mereka bekerja sambil bersenda gurau sehingga pekerjaan yang berat itu tidak terasa.

********

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!