Empat tahun berlalu, Jagat Hartadi masih larut dalam perasaan cinta tak berbalas. Dia memilih menjalani hidup sendiri, hingga suatu malam dirinya membantu seorang wanita yang pingsan di pinggir jalan.
Jenna, itulah nama wanita tersebut. Siapa sangka, dia memiliki kisah kelam menyedihkan, yang membuat Jagat iba.
Dari sana, timbul niat Jagat untuk menikahi Jenna, meskipun belum mengenal baik wanita itu. Pernikahan tanpa dilandasi cinta akhirnya terjadi.
Akankah pernikahan yang berawal dari rasa kasihan, bisa menjadi surga dunia bagi Jenna dan Jagat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29 : Rindu Tanpa Penawar
Persiapan untuk perjalanan ke Inggris telah rampung. Ini merupakan pengalaman baru bagi Jagat, berhubung berangkat ke sana dengan membawa Sakha.
Malam itu, Jagat tidak bisa tidur. Padahal, dia akan berangkat besok pagi. Jagat yang sudah berbaring, memutuskan turun dan mendekat ke box bayi, kemudian berdiri di sana memperhatikan Sakha yang tertidur lelap. Bayi itu belum tahu apa pun tentang yang terjadi kepada ibunya.
Jenna sudah dijatuhi hukuman. Dia akan mendekam di balik jeruji besi selama bertahun-tahun. Itu berarti, tanggung jawab untuk merawat Sakha ada di tangan Jagat sepenuhnya. Ya. Jagat memiliki hak penuh untuk menentukan akan diarahkan ke mana anak angkatnya tersebut.
“Kamu bukan darah dagingku, Sakha. Ibumu mantan wanita penghibur, sedangkan ayahmu pria tak tahu malu yang senang berselingkuh.”
Jagat menggeleng tak percaya, diiringi embusan napas berat. “Astaga. Apa yang ingin Kau tunjukkan padaku, Tuhan? Aku menjadi ayah angkat bagi anak dari hasil perselingkuhan yang berujung tragis. Ini sangat luar biasa. Apa bedanya dengan memutuskan melajang seumur hidup?”
Jagat terus memandangi Sakha yang tidur tanpa bergerak karena terlalu lelap. Bayi yang sudah berumur 6 bulan tersebut kenyang minum susu. Sakha juga sudah diberikan makanan pendamping.
“Baiklah, Sakha,” ucap Jagat lagi. “Kamu adalah putraku. Aku akan membuatmu jauh lebih baik dari ayah dan ibumu. Kamu akan menjadi duplikat Jagat Hartadi.”
Membebaskan diri dari segala beban penyesalan atas apa yang diterima, itulah yang harus Jagat lakukan mulai sekarag. Seperti yang Nayeli katakan, dia membutuhkan penyegaran otak agar bisa kembali berpikir jernih. Jagat tidak bisa terus-menerus larut dalam perasaan tidak menentu, yang membuat suasana hatinya jadi kacau.
Pagi yang cerah telah tiba, menggantikan malam yang dipenuhi renungan seorang Jagat Hartadi. Seiring munculnya sinar mentari sebagai penyibak kabut malam, Jagat meyakinkan hati dengan tekad kuat untuk memulai hidup baru.
Keberadaan Sakha tak lagi jadi beban penyesalan, tetapi justru jadi penyemangat baru bagi Jagat. Persetan dengan latar belakang orang tua kandung bayi itu. Jagat hanya akan melakukan tugas sebagai ayah yang baik dan bertanggung jawab.
“Semua sudah siap, Pak.” Yanti yang juga akan ikut ke Inggris, terlihat sangat bersemangat. Pasalnya, ini merupakan kali pertama bagi wanita yang sudah mengabdi cukup lama kepada Jagat tersebut, melakukan perjalanan ke luar negeri.
“Hey, Jagoan. Sudah siap untuk perjalanan panjang?” Jagat mengambil Sakha dari gendongan Yanti.
Sakha begitu senang ketika Jagat mengambil alih menggendongnya. Bayi tampan itu mengoceh, meskipun hanya mengeluarkan kata-kata sederhana yang entah apa maksudnya.
“Mobil sudah siap. Semua barang bawaan juga sudah semuanya masuk bagasi,” lapor sopir pribadi Jagat.
Jagat mengangguk penuh wibawa. Dia melangkah keluar sambil menggendong Sakha, kemudian masuk ke mobil.
Embusan napas berat dan dalam meluncur dari bibir Jagat. Dia menatap ke luar jendela, memperhatikan rumah yang ditempati selama beberapa waktu, setelah pindah dari kediaman lamanya yang jadi tempat tewasnya Viviana.
Sejak kejadian mengerikan yang menimpa Viviana, Jagat tidak lagi menginjakkan kaki di rumah mewahnya itu. Dia memerintahkan orang lain untuk memantau perkembangan di sana. Jagat bahkan berniat menjual salah satu asetnya tersebut, meskipun tak yakin akan ada orang yang tertarik membelinya.
Sementara itu, Jenna harus belajar membiasakan diri dengan suasana lapas tempatnya ditahan. Dia yang pernah tinggal di kawasan kumuh, tidak terlalu mengeluh dengan kondisi di dalam sel, meskipun dalam beberapa waktu terakhir menghabiskan hari dalam kemewahan bersama Jagat.
Satu hal yang membuat Jenna tak nyaman adalah karena tidak ada seorang pun yang datang untuk mengunjunginya, sekadar bertanya kabar atau membicarakan keadaan dunia luar. Itu menandakan bahwa dia tak memiliki siapa-siapa di dunia ini. Tidak juga Jagat, yang pasti tak ingin lagi bersinggungan dengannya, meskipun mereka masih terikat pernikahan.
“Kiriman dari suamiku,” ucap Susi, salah satu teman satu sel Jenna. Dia memperlihatkan foto anak laki-laki dalam pakaian wisuda.
“Itukah anak bungsumu, Mbak?” tanya Jenna.
Susi mengangguk. “Namanya Dika. Dia baru mau masuk SD tahun ini.”
Jenna tersenyum kelu. Ingatannya langsung tertuju kepada Sakha, bayi yang baru dilahirkan beberapa bulan, tetapi terpaksa ditinggalkan.
Sakit bagai teriris. Jenna berusaha menahan air mata agar tidak menetes. Kerinduannya terhadap sang putra begitu besar. Namun, tak pernah ada sedikit pun kabar yang diterima tentang bayinya tersebut.
Jenna tak tahu bagaimana perkembangan Sakha sekarang. Entah apa saja yang sudah bisa bayi itu lakukan, berhubung Jagat tak sekalipun mengunjunginya di penjara.
Malam hari merupakan waktu yang paling Jenna benci. Ketika teman-teman satu selnya terlelap, dia justru duduk menyendiri sambil termenung memikirkan banyak hal.
“Sakha ….”
Lewat selembar foto yang memperlihatkan kebersamaannya dengan Jagat dan Sakha dalam acara pembaptisan, Jenna biasa menumpahkan segala kerinduan. Dia berusaha membayangkan seperti apa perubahan Sakha, yang kini sudah berusia 6 bulan.
“Putraku ….” Suara Jenna begitu lirih, menahan perih yang disembunyikan dari dunia. Dia ingin berteriak sekencang mungkin, meminta agar dipertemukan dengan Sakha, meskipun hanya sekejap.
“Ya, Tuhan. Hukuman macam apa ini?” Jenna memejamkan mata, seraya menempelkan foto yang tadi dipandanginya di dada.
Sementara itu, Jagat baru tiba di Inggris, setelah menempuh perjalanan panjang.
“Selamat datang, Kak,” sambut Nayeli.