Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 28~ Dentuman pertama
Sepagi ini mereka sudah bangun dan langsung sarapan, tanpa perlu repot-repot membuatnya atau bekerja terlebih dahulu demi mendapatkan makanan, semuanya sudah disiapkan oleh para ambu di pawon keraton.
Sekar sudah duduk, tangannya memangku piring berisi nasi beserta lauk tahu tempe.
"Kar, mau liat pemandangan bikin hati adem ngga? Keluarga keraton sudah pada siap buat nyekar loh, ganteng-ganteng, cantik-cantik." Sari mengajak Sekar untuk mengintip para menak itu berangkat ke makam leluhurnya bersama beberapa abdi dalem dan biyung, serta Ais pangampih keluarga keraton (pendamping).
"Saya lagi makan teh, teteh sama yang lain saja." Tolaknya membuat Sari mencibir, "jangan nyesel, ya...saya udah ngajak loh. Moment kaya gini langka, Kar..." ocehnya tak mengganggu konsentrasi Sekar menyendok nasi dan sayur nangka kuah santannya.
Jujur saja, apa yang dikatakan Sari itu benar. Moment langka yang mampu membuat para penari termasuk para pemain gamelan dan para pelaku mapag menak (menjemput) berbondong-bondong melihat dari jarak jauh pendopo tamu ke arah lawang keraton dengan penuh seruan excited.
"Ngga mau ikutan lihat keluarga keraton, Kar?" tanya nyai Mirah digelengi Sekar, "saya laper nyai. Mana penuh disana, ngga keliatan, saya pendek."
Nyai Mirah tertawa kecil, sama halnya Sekar, ia pun memilih makan saja di tempatnya duduk.
Apa yang akan Amar lakukan bersama keluarganya adalah nyekar atau ziarah makam, ke makam-makam sesepuh yang ada di kompleks pemakaman raja-raja keraton, atau leluhur dan sultan-sultan serta permaisuri pendahulunya. Seperti----meminta ijin, atas acara yang akan digelar, meminta restu untuk Bahureksa dan Anjarwati. Hanya sebagai simbolis penghormatan saja.
Bunda menoleh pada Amar, membenarkan letak beberapa perintilan pakaian yang dipakai putranya itu, "semalam tidur jam berapa, sampai-sampai paling telat bangun?"
"Jam 1 bunda, mengerjakan skripsi yang harus kurombak."
Somantri melipat bibirnya sangat tau apa alasan dan penyebabnya.
Bunda menarik alisnya sebelah, "masih belum selesai, memangnya kapan sidang skripsi?"
"Masih agak lama. Tapi ngga apa-apa, mumpung ide ngalir, mumpung ada waktu." Jawab Amar sekenanya.
"Sudah, tampan anak bunda."
"Bunda, ini tolong, tadi sempet copot .." pinta Andayani menyerahkan tusuk konde dengan modelan bunga melati.
Ayahanda sudah datang bersama dua orang Ais pangampih, lalu kedua lelaki kepercayaan, kuncen keraton ini memimpin keluarga Kertawidjaja untuk berangkat menuju kompleks pemakaman raja-raja terdahulu.
Tatapan Wardana jelas jatuh pada setiap gerak-gerik orang-orang sekitar yang selalu mengelu-elukan mereka termasuk pagi ini, saat dari arah pendopo tamu disesaki oleh para pengisi acara yang berbondong-bondong melihat keluarga keraton.
"Kayanya si teteh yang cantik emang ngga minat sama anak raja. Hebat lah! kuat imannya nolak pesona menak..." celetuknya berbisik pada Amar yang juga di dengar Bahureksa. Keduanya sangat tau jika maksud Wardana si teteh cantik itu----Sekar Taji.
Somantri melipat bibirnya, Anda sudah terkekeh ketika para orangtua sudah berjalan duluan sementara langkah mereka menuju pelataran dimana mobil sudah menunggu terkesan lamban.
"Telinganya disumpalin sama headset walkman, jadi ngga tau kalo pagi ini, dua orang lelaki bela-belain sisiran sejam demi diliatin." Jawab Somantri mencibir keduanya, dan pecahlah tawa Wardana yang membuat para orangtua menoleh horor, "kenapa den? Ada yang lucu?" tanya bunda digelengi Wardana, "maaf bunda, amih, ayahanda, Abah..."
Bahureksa berdecak, Amar pun menggetok kepala adiknya itu. Mengenai walkman, Reksa baru sadar dan melirik Amar dengan kernyitan, adiknya bahkan sudah sejauh itu, memberi barang untuk Sekar?
Sekar sudah selesai sarapan, dimana yang lain berangsur membubarkan diri dari kerumunan sebab keluarga keraton sudah meninggalkan tempatnya, dan keramaian akan berpindah ke jalanan dimana mereka berada sekarang.
Apa enaknya hidup dikerubungi orang-orang macam lalat begitu. Yang jelas-jelas orang-orang itu cuma bikin pasokan oksigen kita berkurang dan tak bisa membantu disaat kita kesusahan.
Dan disaat yang lain berebut melanjutkan makan, Sekar sudah menarik peralatan mandi untuk duluan bersiap-siap.
Nanti siang, bagian mereka yang melakukan ritual simbolis, seperti nyekar ke kuburan Ais pangampih di area kompleks keraton dan menerima percikan air kembang setaman dimana airnya diambil oleh ais pangampih dan keluarga keraton tadi dari sumur yang ada di kompleks pemakaman raja-raja terdahulu, sebagai ijin dan restunya menggelar pementasan disini dan menjaga dari hal-hal buruk.
Sudah beberapa lama, keluarga keraton itu pergi. Dan para pengisi acara termasuk Sekar sudah bersiap-siap menunggu kedatangan mereka.
Sekar, ia mengepang rambut panjangnya bersama beberapa helai rambut yang tak terkepang membingkai wajah cantik, diantara balutan jarik coklat dan kaos hitamnya.
Mobil itu sudah kembali, mobil yang membawa keluarga keraton. Benar apa yang dikatakan Imas, apa yang dikatakan teh Sari tadi, jika....
Jantungnya berdegup kencang saat beberapa lelaki turun, terlebih seseorang yang semalam mengajaknya berdiskusi tentang mimpi dalam pakaian kebanggaan dan kebesaran kasepuhan.
Aura kharisma dan pesona dan rah birunya tidak tertandingi sampai tumpah-tumpah, bahkan untuk ukuran Andayani dan Wardana yang usianya muda saja, seolah memiliki aura kharisma tersendiri.
Kedua lelaki tua yang berperan sebagai Ais pangampih disana, kini memanggil para pengisi acara, termasuk nantinya ritual percikan air di alat musik yang akan digunakan.
"Yuk, sudah dipanggil..."
Awalnya ada beberapa puluh orang dari sanggar Ciptagelar, lalu pengisi gamelan dan musik tarawangsa, sampai pada ...
Ayunan langkah Sekar yang bertelan jank kaki itu membawanya ke hadapan keluarga ningrat ini.
Ia dan keenam lainnya bersama amih Mayang dan Nyai Mirah berjalan, berjongkok di depan mereka dan menunduk hormat. Saat air bunga setaman itu menyentuh dan membasahi kepalanya, Sekar masih berusaha mengontrol detakan jantungnya.
Kulitnya tidak seputih dan sepucat salju, melainkan kuning langsat ciri khas mojang Priangan, namun cukup mulus hingga saat tetesan air yang jatuh disana itu justru hanya lewat saja tak berani menggenang lama, seolah *mereka* minder dengan kulit mulusnya.
Cukup lama Sekar memejam, mendengarkan lantunan kidung dan komat-kamitnya sang Ais pangampih. Seseorang bernama Jembar Kasih turut melakukan itu sebagai seorang permaisuri, wanita yang Sekar lihat berwajah angkuh tak terbantahkan itu baru sekarang ia lihat. Oke, aura permaisurinya memang tak kaleng-kaleng.
Amih Mahiswar menyenggol Bahureksa, yang sejak tadi menatap lekat penuh puja pada Sekar, "jangan dilihatin terus begitu. Nanti calonmu minder. Dijaga, matanya untuk saat ini..." kelakarnya. Namun rupanya hal itu bukan hanya disadari oleh amih Mahiswar.
Ibunda, saat ia sempat berbalik dan melihat interaksi antara Mahiswar dan Bahureksa, tatapannya juga jatuh pada arah pandangan Amar, yang sama-sama melihat gadis berkaus hitam di hadapannya itu.
Yang benar saja, ia sangat hafal dengan tatapan *lelaki* *yang begitu* pada seorang wanita. Tatapan kekaguman dan memuja. Lantas kini Jembar Kasih melihat gadis yang masih berjongkok hormat padanya dan meresapi makna kidung abah Lilih.
Diantara langkah jongkoknya yang siap berlalu, dan prosesi yang hampir berakhir, Jembar Kasih lirih bertanya.
"Neng,"
Mereka melirik kompak, "ya...kamu yang pakai kaus hitam, siapa namanya?"
Bukan hanya Sekar yang mendongak, namun baik Bahureksa dan Amar tak kalah terkejut saat ibunda berkata demikian.
"Sekar, Gusti Raden ayu...nama saya Sekar Taji." Sekar mengangguk sopan.
Bahureksa dan Amar saling lirik merasakan sesuatu yang janggal.
"Oh," ucapnya, "ya. Silahkan kembali."
Sekar kembali mengangguk dan pamit undur diri bersama orang-orang sanggar Mayang.
"Amih sudah bilang, mata itu jendela hati." Ucap Mahiswar pada Bahureksa, namun kemudian tatapannya beralih pada Amar juga, "Amar juga?" ia menggeleng.
"Bunda melihatmu dan kakang Reksa menatap Sekar..." ujar Somantri kini sudah beranjak dan berlalu.
Tatapan Jembar Kasih benar-benar mengunci sosok Sekar, gadis yang berhasil mendapatkan dua tatapan sekaligus dari kedua putranya.
.
.
.
.
" jembar kisruh" aja si teh🤭🤭🤭😂😂😂🙏