Apa jadinya jika impian mu hancur di tangan orang yang paling kamu benci, tapi juga tak bisa kamu hindari?
"Satu tesis gagal, Karena seorang dosen menyebalkan, Semua hidup ku jadi berantakan"
Tapi siapa sangka semuanya bisa jadi awal kisah cinta?
Renatta Zephyra punya rencana hidup yang rapi: lulus kuliah, kerja di perusahaan impian, beli rumah, dan angkat kaki dari rumah tantenya yang lebih mirip ibu tiri. Tapi semua rencana itu ambyar karena satu nama: Zavian Alaric, dosen killer dengan wajah ganteng tapi hati dingin kayak lemari es.
Tesisnya ditolak. Ijazahnya tertunda. Pekerjaannya melayang. Dan yang paling parah... dia harus sering ketemu sama si perfeksionis satu itu.
Tapi hidup memang suka ngelawak. Di balik sikap jutek dan aturan kaku Zavian, ternyata ada hal-hal yang bikin Renatta bertanya-tanya: Mengapa harus dia? Dan kenapa jantungnya mulai berdetak aneh tiap kali mereka bertengkar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 28
Tanpa banyak dialog, dokter Dirga mempersilakan mereka pulang. Kondisi kakek sudah stabil, dan meski begitu, Dirga berjanji akan tetap mengusahakan donor jantung yang cocok. Suasana yang tadinya agak sendu, coba dicairkan oleh Dirga yang tiba-tiba nyeletuk sambil melirik nakal ke arah Zavian.
“Ini siapa? Pacarmu, kah?” godanya dengan senyum jahil.
Renatta langsung menggeleng cepat, hampir bersamaan dengan Zavian.
“Bukan… saya bukan pacar Pak Zavian,” ucap Renatta buru-buru.
Zavian menimpali tenang, “Dia ini mahasiswi saya, bukan pacar saya.”
Dirga masih dengan ekspresi nakalnya menatap keduanya. “Ah, mahasiswi, ya? Tapi kelihatan seperti pasangan kekasih. Terlihat cocok, lho…”
Zavian menghela napas kecil. “Dokter Dirga, sebaiknya kembali ke ruangan saja.”
Dirga tertawa ringan. “Kebetulan aku sedang kosong.”
Zavian tak menggubris. “Kalau begitu kami pamit. Ayo, Renatta.”
Saat hendak melangkah, Dirga tiba-tiba merangkul Zavian sambil tertawa kecil. “Ayolah, Zavian. Udah lama kita nggak ngobrol.”
“Selamat malam, Dokter Dirga,” sahut Zavian, memilih tetap berjalan, meninggalkan Dirga yang masih tertawa geli.
Renatta mengikuti di belakangnya. Dalam langkah mereka yang teratur di lorong rumah sakit, Dirga sempat berkomentar pada Renatta, suaranya masih dibumbui candaan.
“Zavian itu memang nggak suka bergaul. Kamu harus bisa bikin makhluk itu betah tinggal di bumi.”
Renatta tersenyum samar. “Sepertinya dokter sangat dekat dengan Pak Zavian, ya?”
“Ah, dia? Tentu aja kami dekat… Banget malah. Dia keponakan saya,” jawab Dirga sambil terkekeh.
Renatta tampak terkejut. “Ah, keponakan dokter ya…?” Ia tersenyum kecil, seolah mulai memahami hubungan mereka.
Dirga melirik iseng. “Kenapa? Kamu mau jadi keponakan saya juga?”
Renatta tertawa pelan. “Ah, nggak Pak Dokter. Tapi… sepertinya latar belakang keluarga Pak Zavian itu keren-keren, ya…”
Dirga hanya membalas dengan senyuman penuh arti. Sementara itu, malam pun semakin larut, tapi kehangatan percakapan mereka masih tertinggal di lorong rumah sakit itu. Saat itu juga Zavian menoleh ke belakang. "Renatta? Kamu mau tinggal disini? Atau ikut saya pulang?"
Renatta dan Dirga menoleh, Renatta segera pamit pulang pada dokter Dirga.
"Pak dokter saya pamit pulang ya..." ucap Renatta sambil tersenyum sopan.
"Ah iya hati-hati di jalan ya..." Dokter Dirga melambaikan tangannya.
Renatta berlari kecil menghampiri Zavian. Zavian menatap sinis kepada dokter Dirga, dan dokter Dirga hanya memberikan finger heart pada Zavian.
Zavian memutar bola matanya kesal, lalu membalikkan badan dan berjalan lebih dulu. Renatta mengekor di belakangnya, melirik sebentar ke arah dokter Dirga yang hanya tertawa kecil melihat reaksi Zavian.
Langkah kaki mereka berdua menyusuri lorong rumah sakit yang mulai sepi. Renatta melirik ke arah Zavian yang berjalan dengan langkah tenang di depannya.
“Pak Zavian,” panggil Renatta lirih.
Zavian menoleh, ekspresinya datar seperti biasa. “Hm?”
“Dokter Dirga itu... lucu juga ya,” gumam Renatta, mencoba mencairkan suasana yang sempat canggung tadi.
Zavian hanya mengangguk pelan. “Ah... Dia memang begitu. Suka bercanda... Tapi Maaf ya kalau candaannya dokter Dirga yang tadi buat kamu tersinggung, nanti saya akan tegur dia”
Renatta mengangguk paham. “Nggak apa-apa kok pak, aku nggak tersinggung. Tapi... aku baru tahu kalau dokter Dirga itu paman Pak Zavi.”
Zavian menatap lurus ke depan. “Iya, dari pihak ibu.”
“Pantas saja terlihat akrab"
Zavian akhirnya menoleh, menatap Renatta dengan sorot mata tenang tapi dalam. “Nggak juga, dia memang sok akrab. Maaf kalau dia buat kamu nggak nyaman"
Renatta cepat-cepat menggeleng. “Nggak kok! Aku justru... merasa dihargai. Maksudnya, berada di tengah-tengah keluarga yang hangat seperti itu, rasanya... menyenangkan. Keluarga nya pak Zavi pasti sangat baik...”
Zavian tak menjawab, tapi ada senyum tipis yang muncul di ujung bibirnya.
Zavian membuka pintu keluar, menahan agar Renatta bisa lewat lebih dulu. Renatta hanya mengangguk singkat sebagai ucapan terima kasih.
Mereka berjalan keluar dari rumah sakit malam itu, angin lembut menerpa wajah, membawa keheningan yang justru terasa nyaman.
Sesampainya di parkiran, Zavian membuka pintu mobil tanpa menatap Renatta. Gadis itu masuk dan duduk diam, menunggu Zavian ikut masuk dan menyalakan mobil.
Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam. Tidak ada percakapan, hanya suasana hening yang sesekali dipecahkan oleh suara klakson kendaraan lain di jalanan malam itu.
Zavian hanya fokus menatap jalan, sementara Renatta menatap ke luar jendela, berusaha mengusir gugup yang perlahan muncul. Mereka baru saja mengalami situasi yang... aneh. Atau mungkin lucu? Renatta sendiri belum bisa memutuskan.
Mobil berhenti di depan rumah Renatta. Zavian mematikan mesin, tapi tak langsung bicara. Ia hanya duduk diam, memegang kemudi, masih tanpa menoleh.
Renatta ragu sejenak, lalu membuka sabuk pengamannya.
“Terima kasih sudah mengantar,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Zavian mengangguk, tapi belum juga menoleh.
Renatta membuka pintu, lalu berdiri dan menunduk sedikit ke arah Zavian. “Sampaikan salamku untuk kakek nya pak Zavi ya...”
Baru saat itu Zavian menoleh. “Iya.”
Renatta menutup pintu mobil perlahan, lalu berjalan menuju pintu rumahnya. Tapi belum sampai dua langkah, suara klak-klak kaca mobil diketuk dari dalam membuatnya menoleh.
Jendela mobil diturunkan.
“Kamu...” Zavian agak ragu. “Kamu nggak marah soal tadi?”
Renatta mengerutkan dahi, lalu tersenyum kecil. “Soal apa?"
"Soal dokter Dirga yang ngira kamu pacar saya?” Tatapannya seperti sedang menilai ekspresi Renatta.
Renatta menyilangkan tangan di depan dadanya, ekspresinya datar tapi sorot matanya menyimpan rasa ingin tahu.
"Nggak sih, kan dokter Dirga cuman bercanda... kalau pak Zavi gimana?" tanyanya sambil sedikit mencondongkan tubuh ke arah jendela mobil.
Zavian mengernyit. "Apanya yang gimana?"
Renatta menyipitkan mata, Makin mendekat. "Pak Zavian marah atau nggak? Atau mungkin..."
Zavian masih menatapnya tanpa banyak reaksi. "Mungkin apa?"
Renatta tersenyum penuh tantangan, lalu menatap mata pria itu dalam-dalam. "Pak Zavian baper ya?"
Sekian detik berlalu dalam diam. Tatapan Zavian tidak berubah sedikit pun datar, nyaris tak terbaca. Lalu tanpa peringatan, tangannya terangkat dan plak! menyentil dahi Renatta dengan cukup kuat.
"Aduh!" Renatta langsung mundur selangkah sambil memegangi dahinya. "Pak Zavian! Itu sakit tau!... Awww"
Memang tak bisa dipungkiri, tangan sekekar itu mustahil memberi sentilan yang lembut. Pria itu benar-benar keterlaluan.
Zavian hanya menatapnya, lalu menurunkan kaca jendela sedikit lebih rendah, memperlihatkan setengah wajahnya yang kini dihiasi senyum miring smirk yang jarang sekali muncul.
"Kalau Saya baper, kamu mau tanggung jawab?" ucapnya ringan, tapi sukses membuat wajah Renatta memerah dalam sekejap.
"Aku udah punya pacar tauu"
Ia langsung menunduk, pura-pura sibuk merapikan tas, lalu tanpa menoleh lagi buru-buru berlari kecil masuk ke dalam rumah.
Zavian masih duduk di balik kemudi, menggeleng pelan sambil terkekeh kecil. Entah kenapa, wajah malu Renatta barusan seperti terputar ulang di kepalanya... dan lucunya, itu cukup membuat suasana hatinya yang tadi berat jadi terasa ringan.
“Selamat malam, mahasiswi yang banyak omong.”
Zavian menatap pintu rumah yang baru saja tertutup. Sekilas, senyum tipis menghiasi wajahnya sebelum ia kembali menyalakan mesin mobil dan kembali ke parkiran.