Gita terjatuh saat merenovasi balkon bangunan yang menjadi tempatnya bersekolah saat SMA.
Saat terbangun, ia berada di UKS dan berada dalam tubuhnya yang masih berusia remaja, di 20 tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Verlit Ivana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan
Yuli yang tidak sempat melihat layar monitor, hanya menatap heran pada dua temannya yang tiba-tiba berselisih. Gita menatap Gio dengan tajam, menunggu jawaban. Sedangkan Gio seperti maling yang tertangkap basah, tak bisa mengelak dan berkata-kata. Wajah tampannya tampak frustasi.
Setelah beberapa saat mempertimbangkan situasi, Gio akhirnya menghela napas pasrah. "Baiklah ... saya akan ceritakan."
"Good." Gita bangkit dari kursi dan mengambil tempat di samping Yuli yang duduk di depan meja kayu lesehan.
Gita bersila dengan punggung tegak. "Duduk!" titahnya dengan tenang namun tegas. Ia sungguh berharap tak mendengar pengakuan buruk atau menjijikan dari teman yang baru ia percaya itu.
Gio berjalan lunglai dan duduk di hadapan dua gadis yang entah sejak kapan terasa karib baginya, ia harus merelakan kehancuran imej ketua OSIS yang pintar, dan berdedikasi, akibat keteledorannya sendiri dalam menjaga barang-barang pribadi.
Gio membetulkan letak kaca matanya yang sebenarnya sudah di tempat yang benar.
Kemudian lelaki muda itu melonggarkan tenggorokkannya dan mulai bertutur, "Saya ... saya sebenarnya pengagum kak Denting. Saya suka dengan tulisan dia yang dimuat di sebuah majalah. Rasanya seperti mimpi ketika tahu dia tinggal gak jauh dari rumah saya," ungkap Gio. Ah ternyata setelah diobrolin rasanya gak terlalu memalukan.
"Tapi gak boleh lho, Lo ngambil foto orang tanpa izin." Gita mengingatkan.
Gio mengangguk, ia paham akan hal itu tapi pesona Denting baginya begitu menggoda untuk diabadikan.
"Kayak orang mesum," lirih Yuli berdecak tak percaya dan langsung dihadiahi lirikan sinis Gio.
"Iya ih, gak nyangka gue juga." Gita ikut memanas-manasi.
"Enggak sopan juga ya, main otak-atik komputer orang," balas Gio kesal. Ini kan ketahuan juga gegara si Gita yang iseng.
Gita menyeringai.
"Yaudah, apus ih fotonya. Emang Lo kira Denting ikhlas dipandangin terus sama Lo?" titah Gita.
"Eciye ... cemburu, Bu?" ejek Yuli.
Gita melotot pada Yuli dan langsung membuat gadis itu menutup mulutnya.
Gio menganguk paham, mungkin sudah saatnya mengakhiri kesalahannya itu. Tapi ada sesuatu yang mengusik benaknya sejak tadi, dan itu tentang orang yang ia kagumi.
"Sekarang gantian, ceritain soal maksud tulisan di kaca mata saya," pinta Gio, menunjuk ke arah meja belajar, di mana sketsa buatan Gita berada.
Gita tampak terlihat mempertimbangkan, apakah ia harus melibatkan Gio atau tidak dalam penyelidikannya bersama Tomy dan Yuli.
"Tolonglah Gita, kak Denting orang yang berarti buat saya. Dia sudah memberi saya keberanian untuk bisa berada di titik ini lewat karyanya." Gio memohon dengan mata sendu.
Yuli menjadi iba, namun keputusan tetap pada Gita. Gadis berhidung bangir itu memainkan handuk kering, memutarnya hingga berbentuk seperti tambang. Otaknya memikirkan, hal apa yang kiranya bisa Gio berikan untuk perkembangan kasus ini. Lalu ia mendapat pencerahan.
"Oke. Akan gue ceritain, tapi gue minta informasi soal Denting sebanyak yang Lo tau," ujar Gita.
"Setuju." Gio sepakat.
Kemudian Gita menceritakan secara singkat tentang dirinya yang menyaksikan penyerangan Denting, serta Tomy yang menyimpan ponsel gadis itu dan menggunakannya untuk menghubungi pemilik kosan tadi.
Gio menyerap informasi tersebut tanpa filter, karena ia percaya Gita tidak sedang mengarang indah saat ini.
"Nah, sekarang coba kasi tau gue, apa Lo tau kalau Denting punya pacar?" tanya Gita, "Lo kan sering stalking dia. Mungkin pernah lihat cowok mana yang sering berinteraksi sama Denting."
Gio menangkupkan kedua telapak tangannya di depan mulut, menyangga wajahnya yang tampak serius. Lelaki pengagum Denting itu mencoba mengingat orang tampaknya punya hubungan istimewa dengan penulis muda tersebut.
"Saya pernah melihat kak Denting beberapa kali berbicara berdua di perpustakaan dengan pak Rudi," ujar Gio.
"Wah apa itu ya yang jadi pemicu gosip soal pak Rudi?" gumam Yuli.
Gita menggeleng. Ia berpikir agaknya terlalu terbuka dan terang-terangan interaksi seperti itu, jika untuk mencerminkan sebuah hubungan pribadi. Apalagi sepasang kekasih.
"Apa mereka pernah pergi berdua di luar sekolah?" tanya Gita.
Gio menggaruk belakang telinganya. "Saya gak tahu kalau itu. Tapi ... eh?"
"Kenapa? Pernah mergokin?" Yuli membolakan mata penasaran.
"Bukan ... bukan itu, ini orang lain," sanggah Gio.
"Kak Denting, kadang diantar pulang oleh seseorang dengan motor. Motornya selalu sama, jadi pasti orang yang mengantar sama. Saya pernah berusaha mengikuti, tapi dia ngebut, dan saya tidak suka melanggar peraturan lalu lintas, dima—"
"Stop! Intinya aja ya, Gio," potong Gita sebelum lelaki itu mengoceh tentang peraturan lalu lintas dan statistik kecelakaan di jalan raya.
Gio berdehem. "Karena kehilangan jejak, saya putuskan untuk pulang ke rumah, lalu ketika akan sampai di gerbang depan. Motor yang tadi membonceng ka Denting kelihatan baru berbalik arah untuk kembali ke jalan raya."
"Itu Lo terus terusan liat kayak gitu?" tanya Yuli.
"Beberapa kali aja tapi cukup sering, karena saya tidak selalu pulang di jam yang sama dengan kak Denting. Tapi, yang bisa saya simpulkan ... motor itu tidak pernah sampai ke tempat kos kak Denting dan pengendara tersebut enggak tau kak Denting kos di mana. Karena selalu putar balik di bundaran dekat gerbang."
"Kalah dong sama Lo," tukas Gita.
Gio meringis, ingin bangga tapi terasa salah.
"Pemilik motornya ... Lo udah cari tau?" tanya Gita.
Gio mengangguk mantap, "Udah."
Gita terkejut dan menggberak meja, membuat cangkir di sana berderak.
"Siapa?" tanya Gita.
Gio memejamkan matanya sejenak, lalu menatap lurus manik Gita. "Remi. Anak kepala sekolah Pelita."
Gita mundur, terduduk lemas. Ini ... mulai masuk akal. Rumor Denting yang pindah sekolah, pemberkasan yang terkait dengan hal itu. Data-data itu pasti dengan mudahnya dimanipulasi.
"Anak kepala sekolah itu bukannya seangkatan sama kita?" tanya Yuli yang mengenal Remi sebagai salah satu siswa tampan yang diidolakan banyak siswi di sekolah.
"Emang kalau seangkatan sama kita kenapa? Gak bisa berbuat jahat?" sinis Gita.
"Bu-bukan gitu ... dia pacaran sama temen seangkatan kita juga, anak ekskul cheerleader. Lo pada ga inget apa, waktu Remi nembak Aurel sampe bikin love pake barisan anak paskibra?"
Gio menautkan alis kemudian menepuk kakinya sendiri. "Ah saya inget. Waktu itu saya baru keluar dari laboratorium, setelah eksul sains!"
Gita pun menganggukkan kepalanya. Ah iya yang niru-niru adegan live show di tipi. Gue gak bisa liat soalnya rame yang ngumpul di pinggir lapangan. Oh itu si Remi yang lagi nembak cewek.
"Jadi si Remi selingkuh?" Gio kini geram.
"Wah jadi bingung gue, pacar benerannya dia yang mana. Orang-orang pasti taunya Remi itu cowoknya Aurel, di sekolah juga nempel terus." Yuli menggoyang-goyangkan kepalanya.
Gita membuang napas kasar. "Kita cek urutannya, atau kita labrak aja si Aurel?"
"Kenapa gak labrak Remi?" tanya Gio yang sudah panas karena Denting diselingkuhi meski itu baru dugaan.
"Emosi boleh, otak jangan mandek Gio ... ya kali gue labrak anak kepala sekolah dengan bukti yang masih belom valid." Gita mencebik.
Gadis itu mengambil sebuah bantal besar dan menyandarkan punggungnya ke dinding dengan benda empuk itu. Matanya terpejam. Fakta-fakta yang baru ia temui ini memberikan petunjuk meski menimbukan pertanyaan-pertanyaan baru.
"Jika Remi adalah cowok Denting, yang janjian dengan dia sebelum Denting diserang dan menghilang. Kenapa ... kenapa gue masih merasa takut sama Rudi?" gumamnya pelan.
***