Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Deni sangat perundung sekolah
Bela, Ayu, Ani, dan Yesi melangkah keluar dari kelas. Suasana koridor yang ramai seketika terasa terpusat pada satu titik: kerumunan siswi yang padat mengelilingi sosok seorang pemuda.
Digerakkan oleh rasa penasaran, Ani, Yesi, dan Ayu sontak menghampiri kerumunan itu. Saat mereka berhasil menembus barisan dan menangkap pandangan jelas wajah sang pemuda, seruan kekagetan yang nyaris sinkron meluncur dari bibir mereka.
"Astaga, tampan sekali!"
Suara serempak itu cukup lantang hingga menarik perhatian Bela. Ia ikut mengalihkan pandangan, dan sesaat setelah matanya menemukan sosok pemuda di tengah kerumunan, langkah kakinya berubah cepat dan pasti, menerobos kerumunan tanpa ragu.
"Kak Rama," panggil Bela, suaranya sedikit tercekat karena emosi. "Kenapa baru sekarang Kakak datang?"
Mengabaikan puluhan pasang mata yang kini tertuju padanya, Bela memajukan diri dan memeluk Rama, tepat di hadapan semua orang.
Ani, Yesi, dan Ayu terperangah. Mereka berdiri mematung, mulut sedikit terbuka, menyaksikan pemandangan tak terduga itu—gadis yang baru saja memeluk pemuda rupawan itu adalah teman mereka sendiri.
"B-Bela..."
Mereka berseru bersamaan, tanpa sadar menoleh ke samping, ke tempat Bela seharusnya berdiri. Pemandangan di depan telah mengkonfirmasi segalanya: itu memang teman mereka.
"Bela, ka-kamu...?" Ani segera mendekat, wajahnya penuh ketidakpercayaan. Tidak disangka, teman sebangkunya bisa seberani ini menunjukkan afeksi di depan umum.
Mendengar suara terkejut temannya, Bela tersentak, seolah baru tersadar akan tindakannya yang impulsif. Ia segera melepaskan pelukan itu dan mendongak, menatap Rama yang kini tersenyum hangat padanya.
"Rupanya, kamu sudah seberani ini sekarang," ujar Rama, nadanya geli.
"A-aku... Maaf, Kak Rama. Aku hanya terlalu senang melihat Kakak datang," jawab Bela, rona merah malu menjalar hingga ke telinganya. Terlebih, seluruh pasang mata di koridor kini memfokuskan perhatian padanya.
"Gadis bodoh," Rama mengusap puncak kepala Bela dengan lembut. "Ini masih jam istirahat, kan? Ayo, temani Kakak menemui Kepala Sekolah."
"Bela... k-kamu mengenalnya?" Yesi, yang kini sudah berdiri dekat di hadapan Rama dan Bela, bertanya hati-hati.
"Siapa dia, Bela?" Ayu ikut menimpali.
"Dia, dia Kak Rama. Murid kelas 12 di sekolah ini, masa kalian lupa?" jawab Bela.
Ayu, Ani, dan Yesi sontak saling pandang.
"Ra-Rama... murid kelas 12?"
Mereka meneliti Rama dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mereka memang ingat adanya murid bernama Rama dari kelas 12, tetapi sekeras apa pun mereka mencoba, pemuda di depan mereka ini terasa berbeda dari Rama yang mereka kenal dulu. Posturnya kini lebih tinggi, kulitnya tidak lagi kecokelatan, dan tubuhnya tidak sekurus yang mereka ingat.
"Bela, kamu tidak sedang bercanda, kan?" desak Ani. Ia tahu Bela memang dekat dengan Rama, tetapi Rama sudah tidak masuk sekolah sejak beberapa bulan lalu setelah insiden tertentu, dan mereka mengira Rama telah keluar.
Bela menggelengkan kepala. "Ya, dia adalah Kak Rama, murid kelas 12," jelas Bela lagi, dengan nada penuh keyakinan.
Para siswi yang tadi mengerumuni Rama ikut terkejut mendengarnya. Mereka ingat betul Rama—murid yang dulu sering menjadi korban perundungan, terutama oleh Deni, putra Kepala Sekolah.
"Wow... rupanya si anak miskin yang baru tiga bulan lalu jadi yatim piatu yang datang. Kukira siapa yang bikin ribut di sekolah, ternyata kau, Rama."
Tepat pada saat itu, sosok yang baru saja terpikirkan oleh sebagian mereka muncul: Deni, bersama teman-temannya.
Deni adalah sosok yang ditakuti. Selain berstatus putra Kepala Sekolah, ia juga punya banyak pengikut yang biasa ia gunakan untuk menekan siswa lain, dan Rama adalah salah satu korbannya.
Rama langsung menoleh ke arah Deni. Mata Rama memancarkan kilatan permusuhan yang dingin. Dulu, ia hanya bisa diam saat Deni mengganggunya. Tetapi kali ini...?
"Semuanya, lihat! Dia adalah Rama, si ana
k miskin yang kehilangan kedua orang tuanya beberapa bulan lalu. Lihatlah baik-baik—dia orang yang sama yang dulu pernah merangkak di bawah kakiku, memohon belas kasihan!"
Suara Deni sengaja dibuat keras, memastikan seluruh siswa di sana mendengarnya. Mereka pun kembali menatap Rama, dan barulah mereka menyadari kesamaan itu, meskipun penampilannya kini memang jauh berbeda.
"Hahaha! Aku masih ingat, dulu kamu sampai menangis agar Kak Deni mengampunimu!" seru seorang pengikut Deni.
"Astaga... jadi dia orang itu? Kenapa aku baru menyadarinya," bisik seorang siswi yang sebelumnya meminta kontak Rama.
"Hmph. Aku hampir saja tertipu dengan perubahannya. Sial, ternyata dia si orang miskin itu."
Satu per satu, siswi yang tadi mengerumuni Rama mulai menjauh, ekspresi kekaguman di wajah mereka perlahan berganti menjadi sinis. Mereka mengakui ketampanan Rama yang sekarang, tetapi setelah mendengar statusnya yang yatim piatu dan mengandalkan beasiswa, bagi mereka, status dan masa depan tetaplah hal utama.
"Hahaha! Kenapa kamu diam saja, Rama? Apa kamu tidak mau bicara denganku? Oh, biar kutebak. Kamu pasti datang ke sekolah ini karena ingin memohon dan menangis kepada Ayahku, agar beliau tidak membatalkan beasiswamu dan mengeluarkanmu, kan?"
"Rama, oh Rama. Setelah tiga bulan kamu bolos, apa kamu pikir beasiswamu masih bisa dipertahankan? Aku sarankan, lebih baik kamu pulang saja, karena percuma. Ayahku sudah menentukan beasiswa itu untukku, sebagai murid dengan nilai terbaik di sekolah ini."
Deni berkata penuh kemenangan. Semua orang tahu Deni adalah murid pandai, tetapi mereka juga tahu bahwa Rama adalah pemegang nilai terbaik, di atas Deni. Itulah alasan Deni selalu mencari masalah dengan Rama: ia merasa tersaingi dan tidak ingin ada yang lebih unggul darinya.
"Deni! Kamu jangan keterlaluan!" Bela yang merasa tak terima Rama direndahkan seperti itu, langsung maju dan menatap Deni dengan tatapan tajam penuh amarah.
"Oh, kau mau membela si anak miskin ini, Bela?" Deni menyeringai, menatap gadis itu. "Aku ingat sekarang. Kudengar, beberapa waktu lalu dia dipukuli bawahan Tuan Kohar karena tak mampu melunasi utang orang tuanya. Lalu, Tuan Kohar membakar rumah gubuknya, dan saat itulah Ayahmu datang dan membawanya tinggal di rumahmu."
Deni memandang Bela sesaat, senyum jahatnya makin melebar. "Jadi... apakah benar yang kudengar itu, Bela? Lalu, apa dia tinggal satu kamar denganmu? Aduh, jika memang benar begitu, tidak heran kamu begitu membelanya."
Semua orang yang mendengar ucapan Deni langsung gempar. Bisik-bisik menyebar, dan mereka menatap Bela dengan pandangan menghakimi dan penuh rasa ingin tahu yang berbeda.
"Deni... ka-kamu... jangan asal bicara!" Bela berteriak marah, tangannya terkepal erat. Namun, Rama segera menyentuh pundaknya dengan lembut.
"Kenapa? Bukankah faktanya memang seperti itu? Kenapa kamu harus marah? Lagipula, kalian berdua memang sangat cocok untuk menjadi sepasang kekasih," Deni membalas, raut wajahnya menunjukkan ejekan murni.
"Kamu—" Bela baru saja maju satu langkah, berniat menampar Deni, ketika Rama kembali menyentuh pundaknya dengan lembut, menahannya.
"Jangan kotori tanganmu untuk sampah sepertinya," ucap Rama, matanya lurus menatap Deni tanpa gentar.
"Kak! Tapi dia sudah keterlaluan mengatai Kakak," ujar Bela tak terima, apalagi Deni juga menuduhnya di depan umum.
"Hei! Siapa yang kau bilang sampah, hah?" Deni membentak seketika, wajahnya memerah karena amarah yang tersulut.
lanjut thorrrr💪💪💪