Season kedua dari "Two Promises"
Musim panas telah berlalu, dan Minamoto Haruki akhirnya berhasil menjalin hubungan dengan Yoshimoto Sakura. Namun, perjalanan waktu Haruki untuk menyelamatkan kekasihnya baru saja dimulai.
Seiring berjalannya waktu, bayang-bayang masa lalu mulai mengancam kebahagiaan mereka. Haruki harus menghadapi konflik internal keluarga Yoshimoto yang gelap, dan yang lebih mengerikan, rahasia besar yang selama ini disembunyikan Sakura mulai terungkap perlahan.
Akankah Haruki mampu mengungkap kebenaran dan mengubah takdir yang menanti? Atau, akankah usahanya sia-sia, membawa mereka pada akhir yang tragis seperti di masa lalu?
Saksikanlah perjuangan mereka dalam 'Two Promises 2"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulis Anonim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
(Part 2) Ch. 23 - Orang yang Dicintai Akari
[14 April — 2014]
[•] SMP Sakurazaka
Hari itu adalah hari pertamaku di SMP—serta hari pertamaku bertemu dengannya.
Aku berhasil masuk di SMP Sakurazaka ini karena usahaku sendiri—belajar sampai aku berhasil lulus ujian masuk sekolah ini.
Dengan begitu—aku bisa belajar di sekolah yang dekat dengan rumahku.
Pada saat hari pertamaku—aku hampir tidak memiliki satu orang pun teman.
Aku menundukkan kepalaku—menutup rasa maluku.
"Kenapa ya... aku tidak bisa mendapatkan seorang pun teman di hari pertamaku?"
Tak lama kemudian, dia datang menghampiri dan menyapaku...
"Hei, kamu... siapa namamu?"
Aku mengangkat kepalaku—melihat wajah orang yang mengajakku.
Di sana, aku melihat seorang laki-laki berambut pirang berdiri di depan mejaku. Dia tersenyum ke arahku.
Saat melihat sosoknya—seperti cahaya harapan bagiku.
Hangat sekali... senyuman yang dia berikan padaku.
"...Akari. Yoshimoto Akari."
"Ah, Akari, ya... nama yang indah."
Saat dia menyebut kalau namaku adalah nama yang indah—dia tersenyum lebar.
Kemudian dia mengulurkan tangannya—aku pun menerima uluran tangan tersebut.
"Namaku Natsuki Akane. Salam kenal, Akari."
Mungkin... pada saat itulah aku jatuh Cinta.
"Salam kenal juga... Akane-kun."
Setelah kami berkenalan—Akane-kun berbalik—mengangkat tangan kanannya.
"Oi, semuanya! aku dapat teman baru nih!"
Suara keras Akane-kun membuatku merasa malu karena sudah diperlakukan sangat akrab olehnya.
Tak lama setelah Akane-kun memanggil temannya yang lain—datang 3 orang yang menghampiri kami.
Satu orang laki-laki berambut merah menyala dengan tatapan yang berani—Kabuki Kyo-kun.
Perempuan bertubuh pendek dengan rambut pendek berwarna coklat gelap, pembawaan karakternya yang selalu ceria—Kirishima Mana-chan.
Dan seorang perempuan berambut pirang panjang dengan sikap yang dewasa—Natsuki Rika-san, adik dari Akane-kun.
Ditambah aku, Yoshimoto Akari, serta Akane-kun—kami berlima telah menjadi sahabat yang tak terpisahkan sejak hari itu.
Sampai kapan pun, apa pun yang terjadi nantinya—hubungan pertemanan kami akan selalu menjadi pelindung bagi kami berlima.
* * *
Hari itu... aku melihat sebuah mimpi.
Mimpi yang sangat panjang... di mana aku melupakan sosok yang sangat berharga bagiku.
Di dalam ruang tamu, aku berdiri di depan sofa—memandangi bayangan dari sosok yang berharga itu.
"Kenapa... kenapa aku bisa melupakannya?"
Bayangan sosok itu berdiri di antara meja dan televisi—tersenyum pahit—melepaskan semua beban yang telah dia tanggung sendirian selama ini.
"Terima kasih karena sudah mengingatnya, Akari-chan... selamat tinggal."
Bersamaan dengan kata 'Selamat tinggal'—sosok itu menghilang tepat di depanku.
Saat sosok itu menghilang—air mataku menetes tanpa aku sadari.
Sebuah pisau yang sangat tajam seolah menancap tepat di hatiku.
Jauh di dalam relung hatiku—aku berpikir dengan pasti.
Syukurlah... aku masih sempat mengingat sosoknya.
Setelah melihat mimpi itu—aku terbangun tanpa membawa ingatan tentang mimpi itu sama sekali.
* * *
[23 Desember — 2015]
[•] Kediaman Keluarga Yoshimoto
Saat aku membuka mataku—yang aku lihat adalah langit-langit kamarku yang biasanya.
Namun entah mengapa, hari ini pandanganku terlihat agak kabur.
Bersamaan dengan itu—kepalaku pusing, napasku sedikit terengah.
Apakah aku terkena demam?—kalau ya, ini pertama kalinya sejak 9 tahun yang lalu.
Sudah selama itu aku terus bertahan untuk tidak sakit sampai kondisi keluargaku membaik.
Dan setelah semuanya membaik—aku jadi sedikit lengah.
Tak lama kemudian—ibuku datang dari balik pintu kamarku.
Saat ibu melihat ke arahku—wajah ibu menjadi sangat khawatir.
"Kamu kenapa, Akari? wajahmu terlihat sangat pucat."
Dengan suara yang berat dan lemah—aku menjawab pertanyaan ibu semampuku.
"Mungkin aku... terkena demam, ibu."
"Gawat kalau begitu... "
Kemudian ibu melangkah menghampiriku secara perlahan.
Setelah berdiri di depan kasurku—ibu menyentuh dahiku dengan telapak tangannya.
"Benar. Sepertinya kamu memang terkena demam, Akari."
Setelah memastikan suhu tubuhku—ibu berbalik dan melangkah keluar kamarku.
"Ibu akan mengambil kompres dulu, Akari. Kamu tunggu saja di sini dan jangan dulu pergi ke sekolah untuk hari ini ya!" ujar ibuku sebelum meninggalkan kamarku.
"Baik bu!" balasku.
Setelah itu, ibu pergi meninggalkan kamarku untuk mengambil kompres untukku.
Bersamaan dengan perginya ibu dari kamarku—mendadak aku merasakan sakit jauh di dalam relung hatiku.
Tak lama setelah rasa sakit itu datang—air mataku berjatuhan tanpa aku ketahui sebabnya.
Eh?—kenapa aku menangis?
Aku bangun dan menyeka air mataku yang tak kunjung berhenti jatuh itu.
•Beberapa menit kemudian...
Setelah beberapa menit keluar dari kamarku—ibu kembali dengan membawa ember kecil berisi air dan handuk untuk mengompresku.
Ibu berjalan pelan membawa ember itu ke arahku—lalu meletakkannya di dekat dinding dan kasurku.
Ibu mengambil handuk kompres dari ember itu—lalu memerasnya dan meletakkannya di dahiku.
Ibu merawatku dengan sepenuh hati—senyumannya sangat hangat terasa di dalam hatiku.
"Kamu istirahat dulu ya, Akari. Biar ini saja yang membangunkan kakakmu."
"Terima kasih, ibu."
Ibu tersenyum atas ucapan terima kasihku. "Sama-sama, Akari."
Setelah itu, ibu kembali keluar dari kamarku dan pergi untuk membangunkan kakak di kamarnya.
Aku pun tidur dan mengistirahatkan tubuhku untuk saat ini supaya cepat sembuh.
"Benar juga... apa ya, yang akan mereka lakukan jika tahu kalau aku tidak masuk karena sakit?"
Aku memejamkan mataku dan kemudian tertidur.
•Beberapa jam kemudian...
Ibu membangunkanku dan memberikan bubur serta obat dan air minum untukku—semuanya diletakkan di atas meja.
"Cepat kamu makan bubur yang ibu buat sebelum dingin, Akari. Setelah itu, minumlah obat yang ibu letakkan di atas meja dan istirahatlah setelah itu semua."
Dengan suara lembutnya—ibu memberitahuku secara perlahan.
Setelah mengatakan itu—ibu pergi meninggalkan kamarku.
Aku pun bangkit dari kasur untuk memakan bubur buatan ibu dan meminum obat yang ibu berikan untukku.
Setelah itu, aku kembali merebahkan tubuhku di atas kasur—kemudian memejamkan mataku dan beristirahat untuk memulihkan tubuhku.
* * *
•Beberapa jam kemudian...
Aku terbangun dari tidurku saat mendengar suara seseorang memanggil namaku.
"Akari-chan! Akari-chan!"
Suara itu terdengar samar—namun terdengar familiar di telingaku.
Aku pun membuka mataku, lalu menoleh ke samping.
Di sana aku melihat seorang perempuan dengan rambut pendek berwarna coklat gelap—memandangku dengan wajah cemas.
"Mana-chan?—"
Dia adalah Mana-chan, teman sekelasku—di belakangnya juga terdapat 3 orang temanku lagi.
"Akane-kun, Rika-chan, dan juga Kyo-kun... kalian bertiga juga datang menjengukku ya?"
Akane-kun tersenyum tipis—kemudian menjawab pertanyaanku.
"Tentu saja, Akari. Itu karena kami sangat cemas saat mendengar kabar kalau kamu tidak masuk karena sakit."
"Itu benar Akari-san. Aku juga sangat mengkhawatirkan kondisimu, kamu kan belum pernah izin sakit selama ini," sambung Rika-chan.
"Selain itu, kami juga membawa buah tangan untukmu, Akari. Benar kan, Akane?" ujar Kyo-kun.
Setelah perkataan Kyo-kun—Akane-kun mengangkat keranjang berisi berbagai macam buah yang dari tadi dia bawa di kedua tangannya.
"Terima kasih, semuanya. Aku pasti akan sembuh dengan segera!"
Setelah itu, aku berbincang selama beberapa menit dengan mereka semua—Akane-kun pun mau mengupaskan apel untukku.
Perbincangan kami berlima sama seperti hari-hari biasanya—hanya untuk mengisi kekosongan hari ini.
Beberapa menit yang aku habiskan untuk mengobrol dengan mereka berempat—membuat hatiku terasa hangat.
•Beberapa menit kemudian...
"Kami pulang dulu ya, Akari-chan!" ucap Mana-chan.
Mereka semua sudah harus pulang ya...
Mana-chan, Kyo-kun, dan Rika-chan berdiri di depan kasurku—sementara Akane-kun masih duduk di kursi dekat kasurku.
Kemudian Akane-kun menoleh menatap mereka bertiga, lalu berkata.
"Kalian bertiga duluan saja, masih ada hal yang ingin aku bicarakan dengan Akari."
Mereka bertiga hanya diam tidak membalas perkataan Akane-kun—kemudian mereka bertiga berbalik dan pergi keluar dari kamarku, meninggalkanku bersama dengan Akane-kun.
"Apa yang ingin kamu bicarakan denganku, Akane-kun?"
Akane-kun diam termenung selama beberapa saat setelah aku bertanya.
Apa yang sedang Akane-kun pikirkan saat ini?
Setelah termenung selama beberapa saat—Akane-kun mengangkat kepalanya—memandangku sambil tersenyum tipis.
Tak lama kemudian, Akane-kun menggelengkan kepalanya, lalu menjawab pertanyaanku.
"Tidak jadi, Akari. Semoga kamu lekas sembuh dan dapat mengikuti upacara penutupan besok!"
"T-tidak jadi?—memangnya apa yang tadi ingin kamu bicarakan padaku?!"
Wajah Akane-kun manjadi agak merah saat aku bertanya padanya.
"Kan sudah aku bilang tidak jadi, Akari!—jadi kamu tidak perlu mengetahuinya!" ujarnya menaikkan pundak.
Eh?—kenapa wajah Akane-kun menjadi merah?
Tahanlah dirimu Akari, tidak mungkin kalau yang ingin dibicarakan Akane-kun adalah itu!
Aku menarik selimutku dengan cepat menutupi wajahku yang mulai memerah.
"Bodoh!"
Setelah mengatakan itu aku mengalihkan pandanganku dari Akane-kun.
Akane-kun menaikkan pundaknya dengan mulut menganga—terkejut dengan tindakanku yang tiba-tiba.
"Eh?!—kenapa kamu malah mengalihkan pandanganmu seperti itu, Akari?!"
Aku tidak menghiraukan pertanyaan Akane-kun sama sekali—sementara Akane-kun kebingungan dengan sikapku.
Bodoh... justru aku seperti ini karena tidak ingin kamu mengetahuinya, Akane-kun. Kalau aku mencintaimu....
Setelah itu... tanpa aku sadari aku pun tertidur dengan lelap tak lama kemudian.
Namun, saat aku tertidur—aku merasakan belaian tangan seseorang yang mengelus kepalaku dengan lembut. Aku tak tahu tangan siapa itu.
Saat aku membuka mataku—aku tidak dapat melihat wajah orang itu dengan jelas karena rasa kantuk yang menguasaiku.
Siapa dia?—Kakak?
Sepertinya orang itu mengatakan sesuatu padaku. Tapi apa yang dikatakan olehnya?
Aku tak dapat mendengarnya dengan jelas—tetapi...
Sepertinya orang itu mengatakan sesuatu yang membuat hatiku terasa hangat dan bahagia.
Aku pun kembali terlelap dengan senyuman di wajahku.
Bersambung....