Asha, seorang gadis muda yang tulus mengabdikan diri di sebuah rumah Qur'an, tak pernah menyangka bahwa langkah ikhlasnya akan terseret dalam pusaran fitnah. Ia menjadi sasaran gosip keji, disebut-sebut memiliki hubungan gelap dengan ketua yayasan tempatnya mengajar. Padahal, semua itu tidak benar. Hatinya telah digenggam oleh seorang pemuda yang berjanji akan menikahinya. Namun waktu berlalu, dan janji itu tak kunjung ditepati.
Di tengah kesendirian dan tatapan sinis masyarakat, Asha tetap menggenggam sabar, meski fitnah demi fitnah kian menyesakkan. Mampukah ia membuktikan kebenaran di balik diamnya? Atau justru namanya akan terus diingat sebagai sumber aib yang tak pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nclyaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika dunia menyudutkan, pelukan lah yang menjadi penenang
Setelah kejadian di sekolah beberapa hari lalu, Asha memutuskan untuk pulang menemui kedua orangtuanya. Meskipun berusaha kuat, ia tetap tidak bisa menahan sakit hati dan malu secara bersamaan sendirian. Ia butuh pelukan ibunya, ia juga butuh ucapan penenang dari ayahnya.
"Kenapa? Kok murung gitu?" tanya ayahnya saat melihat Asha yang sudah pulang 3 hari, tapi terlihat sangat murung.
"Aku pengen cerita, tapi aku malu." jawabnya menimang ia harus mulai darimana saat ingin menyampaikan kegundahan nya.
"Malu kenapa? Kan sama ayah kamu sendiri, emang tentang apa?" kata ayahnya menatap sang putri.
"Ayah inget gak, waktu ayah ngasih tau aku tentang temen ayah yang mau jadiin aku istri keduanya?" akhirnya Asha memulainya
"Oh iya ayah inget, kenapa?" balas ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.
"Sebelum aku pulang kerumah, aku sempet didatengin istrinya ke sekolah." ujar Asha yang tiba-tiba merasa sedih kembali saat mengatakan kalimat tersebut.
"HAH?" ibunya yang sedang melipat pakaian tiba-tiba berjalan kearah keduanya.
"Datengin kamu ke sekolah? Ngapain?" kata ibunya dengan sedikit amarah.
Asha pun menceritakan kronologi saat itu, tanpa menambah ataupun mengurangi kejadian dan perkataan dari dirinya ataupun wanita itu. Ibunya yang memang sudah merasa kesal pada teman ayah itu, kini bertambah kesal saat putrinya didatangi istri dari temannya, yang tak lain adalah temannya sendiri.
"Kurang ajar emang! Berani banget ngelabrak anak aku yang gak tau apa-apa!" benar, emosi ibunya sudah memuncak.
Sementara sang ayah berusaha tak emosi, karena jika dirinya juga emosi, maka kasian Asha. Niat hati ingin menenangkan diri, tapi ketika datang ke rumah harus melihat kejadian kedua orangtuanya yang marah-marah, itu sangat tidak adil baginya.
Setelah menceritakan hal tersebut pada kedua orangtuanya, Asha merasa lebih tenang dan lega. Kini Asha memutuskan untuk sesaat tinggal bersama kedua orangtuanya sampai masa perkuliahan selesai, ia merasa takut jika harus tinggal sendiri di kamar kosnya sendirian.
...----------------...
Hari ini adalah hari keempat Asha tinggal bersama orangtuanya, ia bahkan mengajukan cuti di tempatnya mengajar karena masih merasa takut dan malu akan kejadian beberapa waktu lalu.
Namun belum habis rasa malu itu, beberapa hari kemudian, ibunya mendapat telepon dari seorang wanita. Ternyata itu adalah istri Ustadz Alam, suaranya terdengar tajam di ujung sambungan.
"Bu, tolong jaga anak ibu. Apa gak malu punya anak perempuan yang suka goda suami orang? Di mana harga diri dia sebagai perempuan? Kalo bukan karena anak ibu yang kecentilan, suami saya juga gak akan kegoda!" kata-katanya terdengar sangat tajam dan menusuk kedalam hati ibunya.
Ibu Asha terdiam lama, hanya mampu mendengarkan hujatan itu dengan hati bergetar.
"Padahal keliatannya anak ibu ini orang baik-baik ya, tapi kok bisa godain suami saya!" cercanya.
"Emang belum puas ya dua tahun setengah bikin gosip kalo suami saya mau sama anaknya situ? Kalo tau anaknya situ ada main sama suami saya, waktu itu pas ketemu di nikahan Naira sama Rayna udah saya maki-maki anak situ!" ia mengolok-olok Asha tepat di telinga ibunya.
"Tolong di didik ya, takutnya masih ada mangsa lain yang mau dia deketin. Untungnya keburu ketauan sama saya kalo suami saya mau jadiin anak situ suami saya, kalo enggak mungkin udah nikah diem-diem kali di belakang saya." setelah mengatakan kalimat panjang itu, dia langsung menutup panggilan tersebut tanpa menunggu jawaban dari ibu Asha terlebih dahulu.
Setelah telepon terputus, ia memeluk Asha erat-erat, berusaha menguatkan putrinya yang kini menangis dalam diam.
"Aku gak begitu bu," katanya dalam isak tangisnya.
"Ibu percaya," gumam ibunya sembari mengusap punggung putrinya.
"Ibu percaya sama kamu, ayah juga percaya sama kamu. Tenang aja, ibu sama ayah pasti ada di pihak Asha. Lagipula kan anak ayah ini udah ada yang punya laki-laki muda, trus ganteng lagi, masa iya mau sama laki-laki yang seumuran sama ayah." hibur ayahnya yang sedang duduk di kursi.
Sebenarnya tak bisa dipungkiri, bahwa ayahnya sangat sedih mendengar perkataan wanita tadi. Apalagi beberapa hari lalu mendengar anaknya yang didatangi istri dari temannya, kemudian mempermalukan putrinya di depan umum. Hatinya terluka, tapi ia tahu bahwa putrinya lebih terluka lagi dengan kejadian tersebut.
Sejak saat itu, cemoohan mulai menghampiri Asha. Ada yang menatapnya dengan sinis, ada pula yang terang-terangan berbisik ketika ia lewat. Padahal Asha sama sekali tak pernah menginginkan semua itu. Ia merasa dunianya runtuh, seakan semua kerja keras dan nama baik yang ia jaga hancur dalam sekejap oleh fitnah yang tak pernah ia lakukan.
"Kejadian di Rumah Qur'an terulang lagi," gumam Asha.
Benar, mengingat dulu ia pernah menjadi sumber fitnah bagi para asatidz di tempatnya mengajar. Ia juga mengalami hal seperti saat ini, cemoohan, bisikan-bisikan dari orang-orang sekitar sangat mengganggu nya.
Malam itu, rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Ayah sudah masuk kamar lebih dulu, hanya tersisa Asha dan ibunya di ruang tamu. Lampu temaram memantulkan bayangan di wajah Asha yang tampak letih. Matanya sembab, bekas tangis tadi masih belum hilang. Ia menatap ibunya, lalu menunduk lagi, berulang kali memainkan jari-jarinya.
"Ibu…" suaranya lirih, hampir tenggelam oleh suara detik jam dinding.
Ibunya menoleh, menatap Asha penuh kelembutan.
"Kenapa sayang?"
Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya kembali membasahi pipinya. Asha menggenggam erat jemari ibunya.
"Bu, aku capek! Aku beneran capek sama semua fitnah yang mereka tunjuk ke aku. Mereka bilang aku perusak rumah tangga orang, bilang aku nggak punya harga diri. Padahal aku nggak pernah sekalipun punya niat kayak gitu." katanya dengan gemetar.
Ibunya mengusap punggung tangan Asha, menenangkan. Namun Asha melanjutkan dengan suara bergetar, seolah takut kalimatnya tak sempat keluar.
"BBu jujur aja aku masih nunggu Afkar. Meskipun dia ilang tanpa kabar, meskipun orang lain bilang aku bodoh, aku yakin sama dia. Aku nggak bisa nerima lamaran siapa pun, Bu... meskipun yang dateng punya nama besar kayak ustadz Alam, meskipun mereka orang terhormat di mata orang kayak temen ayah itu, aku cuman mau nunggu Afkar, Bu." sambungnya mengusap air mata yang semakin deras.
"Gak ada niatan buat jadi perusak rumah tangga orang lain, ataupun godain suami orang bu." katanya yang sudah merasakan nafasnya tercekat.
Dan akhirnya tangisnya pun kembali pecah. Kepalanya ia sandarkan di pangkuan ibunya, seakan semua beban yang selama ini dipikul jatuh begitu saja.
Ibunya ikut meneteskan air mata, membelai lembut rambut putrinya.
"Nak, ibu tau hati kamu masih terpaut sama Afkar. Sejak awal, ibu juga rasa dia yang terbaik buat kamu. Karena itu, setiap lamaran yang datang, ibu sama ayah selalu tolak. Bukan karena ibu mau kamu terus nunggu, tapi karena ibu percaya Afkar emang udah Allah takdirin buat kamu. Meskipun sekarang dia ngilang gak ada kabar, ibu yakin Allah sedang uji kesabaran kamu." kata ibunya.
"Adapun perihal fitnah di luaran tentang kamu, ibu pasti percaya sama kamu. Kamu anak ibu yang ibu tau karakter kmau dari kecil, apalagi pas pertama kali kamu nolak dengan tegas lamaran dari temen ayah waktu itu, ibu yakin kalo kamu emang gak mau." katanya dengan lembut sembari mengusap kepala Asha pelan.
"Ibu gak bilang kamu harus tenang, harus sabar, karena ibu gak ada di posisi kamu sekarang. Intinya, ibu sama ayah pasti ada di pihak kamu, selalu nemenin kamu. Makanya sekarang semangat belajarnya, tinggal berapa semester lagi kan, semoga pas kamu lulus nanti, Afkar juga udah bisa dihubungi." ujar ibunya lagi dengan senyuman menghiasi wajahnya teduhnya.
Asha mengangkat wajahnya, menatap ibunya dengan mata basah.
"Tapi gimana kalau dia masih gak bisa dihubungi, Bu?" tanya Asha dengan cemas.
Ibunya tersenyum tipis, meski jelas ada getar di bibirnya.
"Kalau itu takdirnya, berarti Allah udah siapin yang lebih baik. Tapi sebelum semuanya jelas, jangan goyah. Tetap berdoa. Biarin waktu yang jawab semuanya." lagi lagi kata penenang ibunya membuat Asha meneguhkan hatinya.
Asha terisak lagi, tapi kali ini ia merasa lebih ringan. Pelukan ibunya menjadi sandaran yang membuatnya sedikit lebih kuat. Di balik kepedihan dan fitnah yang menimpa, ia menemukan ketenangan bahwa keluarganya tetap percaya padanya, dan masih ada doa yang mengikat dirinya dengan nama Afkar.
SEMOGA PENANTIAN ASHA N AFKAR INDAH PADA WAKTUNYA, JGN BERUBAH ARAH ASHA