Pertemuan antara Yohanes dan Silla, seorang gadis muslimah yang taat membawa keduanya pada pertemanan berbeda keyakinan.
Namun, dibalik pertemanan itu, Yohanes yakin Tuhan telah membuat satu tujuan indah. Perkenalannya dengan Sila, membawa sebuah pandangan baru terhadap hidupnya.
Bisakah pertemanan itu bertahan tanpa ada perasaan lain yang mengikuti? Akankah perbedaan keyakinan itu membuat mereka terpesona dengan keindahan perbedaan yang ada?
Tulisan bersifat hiburan universal ya, MOHON BIJAK saat membacanya✌️. Jika ada kesamaan nama tokoh, peristiwa, dan beberapa annu merupakan ketidaksengajaan yang dianggap sengaja🥴✌️.
Semoga Semua Berbahagia.
---YoshuaSatio---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
takut luar biasa
Waktu berjalan terasa lebih cepat dari biasanya. Sejak terakhir kali bertemu Yohan, Silla merasa hidup tapi tak bisa bernapas dengan nyaman. Kalimat terakhir yang Yohan ucapkan cukup membuatnya tertekan dengan berbagai alasan.
Dua hari yang berat bagi pak Abdi dan seluruh karyawannya. Namun rasanya lebih berat buat Silla. Ia tahu ia terlalu berani, namun ia pun tak rela jika dalam beberapa hal Yohan akan merasa lebih menang.
Namun pada kenyataannya, setiap kali ia berusaha menjatuhkan Yohan, justru dirinya sendiri yang harus mengalami kesulitan.
“Dia yang ngeselin, tapi kenapa dia yang selalu beruntung!” gerutunya malam itu.
Silla berdiri di antara meja produksi, menatap frustasi pada pegawai yang satu persatu meninggalkan pabrik kecil itu untuk beristirahat, karena waktu telah menunjukkan jam sembilan malam.
Pak Abdi berjalan mendekati Silla, menepuk pundak gadis yang terlihat kuyu dan lelah itu dengan tatapan lembut.
“Produksi sudah selesai, tinggal finishing, itupun tinggal sedikit,” ucapnya penuh rasa terimakasih. “Sebaiknya kamu istirahat, besok bisa kita lanjutkan pagi-pagi, paling ntar Pak Yohan ngirimnya siangan,” imbuhnya.
Namun ekspresi Yohan saat terakhir mengucapkan ‘Kamu jaminannya’, nyatanya sangat mengganggu ketenangan Silla.
“Dikit lagi Om, aku belum ngantuk … Om aja istirahat duluan,” tutur Silla dengan senyum terkembang. Senyum lelah yang sedikit dipaksakan.
“Kalau gitu paman tinggal beli gas bentaran ya, Om mau selesaikan setrika malam ini, biar besok tinggal ngejar packing.”
Silla menyahut dengan anggukan kecil.
“Hai … assalamualaikum … gimana PKL hari pertama Us? Seru?” cerocos Silla bahkan sebelum Usna benar-benar fokus mendengar cuitan Silla.
“Waalaikumsalam! Ih dasar kepo!” sahut Usna sembari bercanda dari sebrang panggilan. “Ngapain jam segini masih di pabrik? Emang belum selesai?”
Garis bibir Silla terkulai ke bawah, mata yang merah dan membengkak, serta ekspresi wajah yang terlihat sangat lelah. Ia menjawab pertanyaan Usna dengan suara yang lemah, "Hmm, kurang dikit sih, ini mau lanjut dulu bentar lagi, kalau kuat ya sampai jam sebelas,"
“Duuh, jadi merasa bersalah kalau begini, mana Ibu juga harus pergi!” sesal Usna.
“Dih, sok perhatian … lagian kita udah biasa kan dikejar-kejar setoran. Kan malah bagus kita bagi tugas, biar semua bisa teratasi. Tante Lilis mewakili hadir di kondangan Bibi, kamu mewakili nyari jodoh sama mas-mas lokal. Hahaha!” balas Silla berkelakar.
“Sialan! Hahaha!” balas Usna yang tertawa lebih keras. “Maafin yaak saudara tiriku! Kamu jadi lembur sendirian ….”
“Hush! Kita bukan saudara tiri, tapi babu yang tertukar! Hahaha ….”
Usna pun ikut tertawa dengan candaan biasa itu.
Percakapan melalui sambungan telepon pun berakhir dengan Usna yang harus segera istirahat untuk mengumpulkan energi agar kegiatan PKL hari kedua bisa berjalan dengan semestinya.
Silla yang sedari tadi duduk selonjoran bersandar tumpukan hasil jahitan yang akan masuk proses pressing atau setrika, merentangkan sekujur tubuhnya, menarik otot-ototnya yang mulai terasa kebas dan kaku.
“Hm? Perasaan tadi Om beli gas pakai motor? Kok ada suara mobil? Apa belinya banyak ya?”
Silla memutuskan segera bangkit dan berjalan keluar untuk mencari tahu. Namun betapa ia terkejut saat bukan pamannya yang datang, melainkan si pemilik ucapan ‘kamu yang jadi jaminan’.
Silla berdiri termangu di ambang pintu pabrik, menggosok matanya beberapa kali, seakan ia tak percaya dengan penglihatannya sendiri.
Pria itu berjalan menuju ke arahnya, masih dengan setelan kerja. Hal yang tak wajar bagi Silla, mengingat ini sudah malam.
“Kok sepi?” sapa si pria.
“Pak Yohan punya jam tangan kan? Terus bisa lihat dong itu bulan udah bertengger di sana!” ceplos Silla seraya menunjuk ke arah langit.
Lucunya Yohan pun reflek menoleh ke arah yang ditunjuk Silla, lalu mengangguk setuju. “Iya, memangnya kenapa?”
“Lah? Malah nanya kenapa?” Silla memutar bola matanya dengan jengah. “Itu artinya ini bukan siang hari Bapak Yohan yang terhormat, yang artinya lagi, pegawai udah pada pulang! Kalau belum jelas, artinya pabrik udah tutup!”
“Loh? Nggak ada shift malam? Kupikir kalian beroperasi dua puluh empat jam.”
“Lah! Dikira pom bensin apa, buka dua puluh empat jam!” sahut Silla membuat Yohan terkekeh dalam hati, tak pernah menyangka dengan jawaban ceplas-ceplos yang terdengar lucu.
“Tapi sudah selesai kan seperti janjimu?” tuntut Yohan seraya menutupi keinginan untuk tertawa. Entah kenapa di depan Silla Yohan merasa tak ingin menurunkan standar image-nya.
Dan pertanyaan yang ditakutkan Silla pun mencuat, membuat Silla tergagap dan tak siap dengan jawaban. ‘Duh! Kacau!’ keluhnya dalam hati.
Silla tak segera menjawab, ia sedikit tertunduk dengan kedua tangan sibuk memilin ujung jilbabnya. 'Duh, alasan apa ya, bisa mati dengan mata terbuka kalau dia tahu ada yang belum beres! Kali ini harus pikirkan baik-baik, harus dengan alasan yang tepat. Tapi apa?' pikirnya mulai frustasi.
Beruntung pak Abdi tiba dengan sepeda motornya.
“Loh? Pak Yohan? Ada apa malam-malam?”
Rasa cemas juga menghampiri batin pak Abdi, ia pun tak menyangka Yohan akan memastikan sedetail itu.
“Ah, selamat malam pak Abdi, maaf … saya pikir kalian menerapkan dua shift kerja,” sapa Yohan dengan sangat sopan sedikit membungkukkan badan.
Pak Abdi terkekeh kecil, “Oh … pesanan kami masih cukup untuk kami kerjakan di satu pembagian jam kerja, Pak.” terang Pak Abdi seraya berdoa semoga Yohan segera berpamitan.
“Kalau begitu saya pamit Pak, maaf sudah mengganggu malam-malam.” Tepat seperti yang diharapkan, doa pak Abdi terkabulkan.
“Sudah sampai di sini, apa tidak mau mampir dulu, Pak? Mungkin ada yang mau di-cek?”
Maksud pak Abdi hanya ingin berbasa-basi, agar tak terlalu kentara bahwa ia pun menahan rasa cemas dan khawatir.
“Hm, benar juga ya, baiklah saya lihat dulu ke dalam kalau begitu.”
‘Mampus!’ tanpa sadar paman dan ponakan itu berseru kompak dalam hati.
Yohan berjalan mendahului, sedangkan Silla sengaja berjalan di sisi sang paman.
“Kenapa kali ini Om seceroboh itu?” bisik Silla dengan ekspresi takut dan cemas bercampur.
“Maunya tadi cuma basa-basi, maaf!” balas pak Abdi meringis kecut. Tak dipungkiri ia pun tetap merasa takut.
“Eh, Pak Yohan mau ngopi?” ucap Pak Abdi memecah keheningan.
“Aduh Om … kenapa malah ditawarin ngopi?” Silla menepuk jidat dengan satu telapak tangan.
“Aduh, terlanjur! Maaf sekali lagi!”
“Fix … ceplas-ceplos-ku berasal dari ajaran Om!”
“Hmm … boleh, saya bisa minum kopi apa saja asal tanpa susu.”
“Dih apaan kopi apa saja, tapi ada syaratnya!” gerutu Silla lirih.
“Baik Pak, biar Silla buatkan,” sahut pak Abdi seraya meletakkan tabung gas di tempat yang seharusnya.
Yohan menghentikan langkah tepat di depan meja besar, meja finishing. Raut wajahnya berubah seketika saat melihat masih ada beberapa tumpukan kaos yang masih belum dirapikan.
“Wah! Belum selesai juga?!”
...****************...
Bersambung ....