NovelToon NovelToon
Dion (1)

Dion (1)

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat / Cintapertama / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Murni / Anak Lelaki/Pria Miskin
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26: “Kecoak Kampung, Mampus lah!”

Apa yang sebenarnya terjadi pada Dion? Dua hari sebelumnya, Sabtu dini hari, Dion meninggalkan kantornya dengan sepeda motor pinjaman dengan bersemangat. Paginya ia sudah ada janji bertemu dengan kekasihnya Wina.

Jalanan lengang, lampu-lampu jalan berpendar samar, menciptakan bayangan panjang di aspal. Angin malam menyusup ke jaketnya, membuatnya sedikit menggigil. Namun, di tengah perjalanan menuju kontrakannya, suasana tenang itu berubah menjadi mimpi buruk.

Dion sudah menempuh separuh jarak dari kantor menuju kontrakan ketika tiba-tiba satu unit sepeda motor yang diboncengi dua orang pria menyalip dan memintanya berhenti.

Keduanya kemudian turun dari sepeda motor dan mencoba berbicara. Mulanya Dion mengira keduanya bukan ancaman karena nada bicaranya ramah dan pelan.

Karena masih mengenakan helm dan tidak bisa mendengar dengan jelas perkataan kedua pria itu, Dion lalu melepas helmnya. Tapi begitu melepas pelindung kepala, salah seorang diantaranya langsung melayangkan tinjunya ke arah Dion.

Meskipun kaget, Dion masih sempat mengelakkan tinju itu dengan menyurutkan langkahnya. Tapi pukulan kedua yang datang terlalu cepat tak bisa ia elakkan. Pukulan itu dengan telak menghantam kepala Dion.

Dion masih berusaha mengajak kedua pria itu berbicara, tapi pria kedua yang berbadan kecil dan berkepala plontos sudah menerjangnya.

Merasa tak ada cara lain, Dion menapaki serangan itu dengan tendangan sehingga kaki mereka beradu. Karena tubuh Dion yang lebih besar dan jangkung, pria berbadan kecil terlempar terhuyung-huyung.

Dion kembali kaget karena pria pertama yang berbadan tegap kembali menyerangnya. Kali ini dengan sebilah pisau kecil di tangan. Ia beberapa kali mengayunkan pisau, tapi Dion selalu berhasil mengelakkannya dengan bergerak mundur.

Serangan bertubi-tubi terus saja dilancarkan bahkan beberapa kali hampir mendarat di badan Dion.

Dion yang merasa tersudut lalu melayangkan pukulannya ke arah dada penyerang mendahului tikaman yang datang padanya. Karena Dion memiliki jangkauan lebih panjang, pukulan Dion mendarat lebih dahulu dengan telak di dada pria itu membuatnya mundur sempoyongan.

Tapi Dion tak sempat menarik napas lega karena tiba-tiba ia merasakan pukulan keras pada bagian belakang kaki membuatnya jatuh berlutut. Nafasnya tersengal. Dari belakang, terdengar suara ejekan, dingin dan meremehkan.

“Wah hebat! Kau masih masih melawan. Sudah mau mati rupanya malam ini.”

Dion menoleh ke arah sumber suara di belakangnya. Dua orang pria sudah berdiri di sana. Seorang pria yang mengenakan jaket hitam memegangi sebilah balok kayu, sementara yang lainnya hanya dengan tangan kosong.

Dion segera menyadari bahwa ia sedang menghadapi bahaya yang mengancam jiwanya. Keempat orang itu pasti sudah merencanakan serangan itu. Dion yang ketakutan mencoba menguatkan hati. Ia bersikeras tak akan menyerahkan nyawanya tanpa perlawanan.

Meskipun kaki sangat kesakitan akibat pukulan balok kayu tadi, Dion mencoba bangkit. Ia belum berdiri sempurna ketika pria kekar dengan pisau kembali menyerangnya. Dion yang tidak siap hanya bisa menarik kepala berharap pisau itu akan luput.

Kali itu pisau berhasil mencapai wajah Dion dan menggores pipi atas, mulai dari bawah sudut mata kiri, melewati puncak tulang pipi ke arah bawah telinga.

Dion mencoba meraba wajahnya yang terasa perih, tapi pukulan dengan balok kayu sudah mendarat di punggung, memaksa tubuhnya terhempas ke tanah.

Dion hanya bisa pasrah dan menyebut nama Tuhan dalam hati berulang kali ketika seorang dari antara keempatnya mengangkat Dion berdiri.

Tangan kuat mencengkeram kedua bahunya, menahannya agar tetap tegak. Pria bertubuh kurus kecil dan berkepala plontos menghujani tubuh dan wajah Dion dengan tinjunya.

Dion merasa kepalanya berdenyut hebat. Darah mengalir dari sudut bibirnya. Ia mulai kehilangan pandangan, sesuatu membuat matanya perih. Kakinya melemah seolah tak mampu lagi menopang beban tubuh, namun pegangan di bahunya tetap erat, memaksanya tetap menjadi sasaran.

Pria yang memegangi balok sempat melarang pria berbadan tegap yang ingin menusukkan pisaunya ke tubuh Dion. “Hei, jangan sampai mati dia. Tangan kosong saja,” larangnya.

Pria kekar kemudian menggantikan si plontos yang sudah lelah untuk menghajar Dion, menjadikan pemuda itu sebagai samsak tinju.

Setelah beberapa saat, si plontos yang sudah mengumpulkan tenaga kembali menerjang Dion dengan lompatan. Kakinya menghantam rusuk Dion dengan keras membuat pegangan terhadap Dion terlepas.

Tubuh Dion pun kembali terhempas.

Naas, kali ini kepalanya menghantam pembatas trotoar jalan dengan aspal. Dion yang mulai kehilangan kesadaran akibat siksaan itu hanya bisa pasrah sambil berusaha mengucapkan doa dalam hati.

Dengan sisa-sisa kesadaran dan kepala rebah di aspal ia melihat sorot lampu menyilaukan dari sebuah mobil yang mendekat dan kemudian berhenti di dekatnya.

Dion masih sempat mendengar seseorang yang turun dari mobil mengucapkan kata-kata makian. “Dasar kecoak kampung, mampus kau!” ketus pria itu. Dion lalu merasakan sesuatu menghantam mata kanannya disusul rasa sakit yang tajam menusuk kepala. Lalu, segalanya gelap.

...***...

“Itu saja yang saya ingat, Pak. Setelah itu, saya sadar-sadar sudah berada di sini,” ujar Dion dengan suara pelan. Tenggorokannya masih terasa kering, dan ia belum sepenuhnya leluasa untuk berbicara dengan jelas.

“Keterangan korban sesuai dengan kondisi lukanya, Pak,” lapor Sersan Mulyadi kepada Pelda Saragih. Keduanya adalah personel reserse kriminal di salah satu Polsek di Medan.

“Apa ada ciri-ciri lain dari para pelaku yang mungkin bisa ditambahkan?” Saragih mengharapkan keterangan tambahan dari Dion.

“Saya tidak bisa melihat dengan jelas Pak. Apalagi lampu jalan terhalang oleh dahan-dahan dan dedaunan pohon,” sahut Dion.

“Baiklah, Dion ingatlah pelan-pelan. Bila nanti teringat sesuatu harap beritahu kami secepatnya,” pinta Saragih kemudian.

Di dalam kamar perawatan, Wina yang duduk di samping Oppung terus menangis saat mendengar penuturan Dion. Hatinya perih membayangkan bagaimana kekasihnya diperlakukan dengan begitu kejam tanpa alasan yang jelas.

“Hmm, Pak! Bolehkah saya mencabut atau mengganti keterangan terakhir mengenai orang kelima?” tanya Dion pada Saragih.

“Keterangan yang mana?” tanya perwira polisi itu heran.

“Saat itu saya setengah sadar. Saya tidak yakin apa dia sendiri atau ada orang lain yang turun dari mobil. Saya juga tidak yakin dengan kalimat yang dia ucapkan dan…,” kalimat Dion terputus karena ia merasakan sakit di dadanya.

“Kalau merasa sakit, tunda dulu memberi keterangannya,” tukas Dokter Thomas yang berdiri di samping ranjang Dion.

“Dan saya tidak yakin apa orang kelima itu yang menyerang saya terakhir kalinya,” Dion melanjutkan kalimatnya.

“Oh, baiklah,” sahut Saragih pendek lalu menuliskan sesuatu pada buku catatannya.

“Pak, biarlah pasien beristirahat. Dia belum sehat benar. Mungkin ingatannya masih akan kembali disegarkan setelah beberapa hari istirahat,” kata Dokter Thomas mengkhawatirkan pasiennya.

“Saya kira juga cukup untuk sementara ini. Kami akan kembali lagi meminta keterangan bila dibutuhkan,” pungkas Pelda Saragih lalu pamit meninggalkan ruangan itu.

“Sekarang giliran saya yang memberi keterangan,” ujar Dokter Thomas setengah bercanda sepeninggal petugas kepolisian kepada Dion, Wina dan Oppung.

“Ada kabar baik dan ada juga kabar buruk, saya mulai dari kabar buruk saja yah!” lanjutnya Dokter.

“Tulang kering kaki kanan mengalami keretakan akibat benturan benda keras, butuh waktu untuk penyembuhannya, sekitar 2-3 bulan,” Dokter Thomas memaparkan keadaan Dion.

“Berikutnya, tulang rusuk juga mengalami keretakan tapi tak begitu besar. Butuh waktu sekitar 3-6 minggu untuk penyembuhannya, jadi Dion tidak boleh beraktivitas berat,” imbuh Dokter membuat Dion menunduk khawatir.

“Saya kira hanya itu kabar yang buruk. Selanjutnya kabar baik, karena masih muda, Dion tentu saja bisa pulih total asalkan patuh terhadap petunjuk terapis. Luka di wajahmu juga tidak membahayakan meskipun pasti akan meninggalkan bekas.”

“Kami juga tidak menemukan hal lain yang terlalu mengkhawatirkan, termasuk pendarahan di kepala. Hasil CT-scan tidak menunjukkan adanya kerusakan berarti. Meskipun begitu saya sarankan untuk memeriksa kembali setelah beberapa bulan walaupun tidak ada keluhan,” sambung Dokter Thomas tersenyum.

“Apa saya bisa tetap bekerja?” tanya Dion yang khawatir kehilangan mata pencaharian.

“Tidak bisa setidaknya dalam sebulan ini. Nanti akan ada surat keterangan, perusahaanmu pasti akan memberi keringanan,” jawab Dokter yang mengerti kekhawatiran Dion.

“Ayo Dion yang semangat dong! Ada Oppung dan gadismu di sini, masakan kau tidak senang. Lagipula banyak temanmu, apalagi yang sekantor itu. Mereka menungguimu selama tiga hari ini. Kau fokus saja ke penyembuhanmu yah!” Dokter Thomas menyemangati Dion yang lesu.

“Iya Dok, terima kasih!” sahut Dion sembari melirik ke arah Wina dan Oppung.

...***...

Seminggu penuh Dion menjalani perawatan di rumah sakit. Beruntung minggu itu Wina dan si kembar sedang libur. Mereka bergantian menemaninya di rumah sakit. Wina pada siang hari sementara Oscar dan Tian malam harinya.

Oppung juga menutupi kekurangan biaya perawatan, bahkan membayar biaya fisioterapi sampai 3 bulan ke depan, yang jumlahnya tidak kecil.

Dion sempat menolak bantuan Oppung dan mengatakan akan menjadi terapi tradisional, tapi nenek Wina itu bersikeras ingin Dion mendapatkan perawatan terbaik.

Meskipun harus berjuang melawan rasa sakit setiap hari, Dion merasa bahagia mendapat perhatian dari Wina yang setia mendampinginya. Sepanjang minggu itu keduanya menjadi populer di kalangan perawat karena selalu mendapati keduanya bermesraan dengan cara yang konyol dan lucu.

Para perawat juga senang karena Dion selalu berguyon meskipun mereka tahu pemuda itu menahan rasa sakit luar biasa akibat luka benturan di kepala dan pukulan-pukulan di sekujur tubuh belum lagi tulang kaki dan rusuk yang patah retak.

“Tadi dokter tanya apa kau bisa tahan rasa sakitnya. Apa perlu ditambah dosisnya?” tanya seorang perawat sambil mengganti pembalut luka kepala Dion.

“Sebenarnya sakit, Sus. Tapi karena gengsi di depan pacar terpaksa ditahan-tahan,” jawab Dion membuat perawat itu tertawa.

“Sebenarnya pengeroyok itu cuma beruntung. Coba saat itu pacarku ada di sana, mereka pasti lari tunggang langgang,” tambah Dion lagi.

“Wah kok bisa?” tanya petugas itu sambil merawat Dion.

“Iya, soalnya si Wina pacarku ini atlet kickboxing. Dia pernah tendang kakiku. Sampai dua bulan masih terasa. Tendangan preman-preman itu tak seberapa dibanding tendangannya,” kata Dion.

“Wah, hebat juga Mbak Wina yah. Trus bagaimana kakimu waktu itu? Masuk rumah sakit?” tanya perawat itu penasaran.

“Nggak. Sebenarnya tendangannya sangat terasa karena aku terbayang-bayang dengan wajah yang nendang. Sampai dua bulan susah tidur, kasmaran!” kata Dion membuat perawat itu tertawa cekikikan sementara itu wajah Wina tampak memerah karena malu.

“Serius lah! Gimana rasa sakitnya?” tanya perawat setelah tertawa puas beberapa saat.

“Masih bisa tahan, Sus. Nanti kalau sudah nggak tahan aku akan beritahu,” Dion menjawab dengan serius.

“Setiap menerima obat penahan rasa sakit, aku jadi ngantuk. Masakan waktu berharga berduaan sama pacar dihabiskan dengan tidur. Kapan lagi punya waktu begini,” Dion kembali bercanda membuat perawat itu kembali tertawa.

“Iyah, makanya Dion harus setia dan baik sama pacar. Dijagain gitu,” ujar perawat itu.

Wina yang posesif membayangkan andai dirinya tidak ada di situ. “Pasti perawat-perawat muda yang cantik itu merayu Dion. Apalagi setiap hari, lebam di wajah Dion mulai hilang secara bertahap,” pikirnya.

Membayangkan itu, Wina jadi cemburu dan tak ingin meninggalkan Dion sendirian di situ. Sore harinya ia bahkan bersikeras tidak pulang. Dion pun harus membujuk agar gadisnya mau pulang dan beristirahat di rumah karena sudah seharian Wina menemaninya.

“Wina harus pulang, istirahat. Supaya besok pagi-pagi datang lagi dengan keadaan segar. Eh, bawakan aku sarapan pagi yah. Bosan makanan di sini. Aku rindu masakanmu,” bujuk Dion membuat Wina menganggukkan kepala.

“Satu lagi, kalau datang jangan terlalu cantik. Nanti aku jadi pengen cium. Never mind, Wina selalu terlalu cantik membuatku selalu ingin mencium, seperti sekarang,” bisik Dion membuat Wina malu lalu memberi cubitan pada lengan Dion.

Minggu berikut, ketika perkuliahan kembali aktif, Wina selalu menyempatkan diri mengunjungi Dion di rumah sakit pada pagi dan sore sepulang kuliah.

1
Anonymous
Bikin baper... /Drool//Drool//Drool/
Desi Natalia
Ingin baca lagi!
Type2Diabetes
Terharu...
Anonymous
/Drool//Drool//Smile//Smile/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!