Gita terjatuh saat merenovasi balkon bangunan yang menjadi tempatnya bersekolah saat SMA.
Saat terbangun, ia berada di UKS dan berada dalam tubuhnya yang masih berusia remaja, di 20 tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Verlit Ivana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sisi Lain Gio
Tengkuk Gita meremang kala mengingat pria bertato, yang ia temui sebelum dirinya yang berusia 37 tahun jatuh terenggut gravitasi bumi.
Gita menelan salivanya. Orang bertato, kepala tukang itu ... ya, dia yang terakhir yang gue temuin, sebelum kembali ke masa ini.
Dia juga yang mengarahkan gue untuk mengecek balkon ... lalu kecelakaan itu terjadi. Jangan-jangan dia sengaja mau bikin gue celaka waktu itu?
Apa gue terlalu galak atau negepotin waktu di proyek? Hal yang bisa membuat orang jadi sebenci itu sampai mau mencelakakan gue?
Stop Gita! Ah pikiran gue jadi kemana-mana, bisa aja kan itu murni kecelakaan ... atau bukan?
Gita merinding membayangkan kecurigaannya yang muncul perlahan. Seiring stimulus yang dihadirkan oleh masa ini.
Bik Rosma kembali berjalan dalam diam, karena yang ia ajak bicara tak menanggapi, tampak sibuk dengan pikirannya sendiri.
Sementara itu Gita pun kembali berjalan. Menyeret langkahnya pelan, sembari mengedarkan pandangan ke sekitar. Tangannya menyingkirkan helaian rambut yang tertiup angin, menyapu wajahnya. Gelap. Berangin. Saat itu pun suasananya kayak begini.
Terbayang lagi suasana balkon sekolah di tahun 2024, membuat Gita gemetar ... telapak tangannya terasa dingin dan tegang, seakan tengah mencengkram railing besi di balkon lantai empat pada saat itu. Sebelum segalanya menjadi tidak terkendali.
Tetes gerimis menyentuh kulit wajah Gita. Gadis itu mengerjapkan mata. Tanpa sadar ternyata dia sudah berada di gang depan kosan Wulan. Tampak Yuli dan Gio pun terdiam mengamati langit seraya menadahkan tangan, memastikan bahwa memang sudah mulai turun hujan. Sedangkan Bik Rosma sudah tidak terlihat, sudah kembali ke rumah majikannya.
"Ayo, nanti keburu deras!" seru Gio memimpin jalan dengan langkahnya yang lebar.
Yuli dan Gita mengekori lelaki tinggi itu, mereka berdua sama-sama berpikir bahwa sepertinya Gio mengenal perumahan tersebut dengan baik.
Hujan mulai turun deras, para remaja itu berlarian memasuki pekarangan rumah dengan Helliconia berbunga merah dan jingga. Tanpa banyak tanya, Gita dan Yuli tetap mengikuti Gio karena petir di atas sana menggelegar, membuat hati mereka gentar.
Usai melintasi halaman, sebuah rumah kini terlihat, seolah menunggu kedatangan mereka. Ketiga remaja itu pun lalu berteduh di teras berlantai granit putih tulang, bertekstur pasir.
"Alhamdulillah, kita belum kebasahan banget," ucap Yuli penuh syukur.
Gita menepuk-nepuk roknya yang kaku terkena air hujan. "Ini kita gak apa-apa neduh di sini? Gak izin dulu?" tanya Gita.
Gio melepas kaca matanya yang basah, dan meletakkannya di atas meja kaca di teras itu. "Gak apa-apa, pasti diizinkan sama yang punya rumah," jawabnya meyakinkan.
Gita menautkan alis, lalu menoleh pada Yuli yang menggelengkan kepalanya sambil mengangkat bahu.
"Assalamu'alaikum." Gio mengetuk daun pintu cokelat tua dengan kencang.
Gita menutup kedua telinga dengan tangan, dan Yuli jadi khawatir didamprat pemilik rumah.
"Gio. Ih, pelan-pelan ketok pintunya!" tegur Yuli.
"Kalau pelan gak kedengeran," jawab Gio sambil terus mengetuk dengan semangat, bersaing dengan suara hujan yang kini kian deras.
Lalu kemudian terdengar suara anak kunci diputar, dan daun pintu itu pun terbuka.
Di antara kusen pintu, muncul seorang pria berawakan seperti pesumo, dengan headset terkalung di lehernya. Sepasang matanya menyipit melihat Gita dan Yuli, lalu melotot ke arah Gio.
Tanpa diduga, pria bertubuh gempal itu langsung menyerbu Gio dan mengapit kepala sang ketua OSIS dengan pangkal lengannya.
Bukannya melawan, Gio malah cekikikan, membuat Gita dan Yuli melongo heran.
"Pemandangan ganjil macam apa ini?" Gita menaikkan sebelah alisnya.
Kemudian pria gempal dengan pipi bulat itu melepaskan Gio dan menyapa dua gadis tersebut dengan ramah, sementara Gio berdiri sambil melemaskan lehernya kembali.
"Kalian temen-temennya Gio, ya? Gue Glen, abangnya dia," ujar Glen memperkenalkan diri seraya mengalami Gita dan Yuli yang masih nampak sedikit shock.
Sedangkan Gio tampak duduk di kursi teras, lalu membuka sepatunya.
"Kasih minuman anget, Yo. Kasian abis kehujanan," titah Glen, lalu kembali masuk ke dalam rumah.
"I-ini rumah Lo?" tanya Yuli. Gak mungkin kan orang tadi ngaku-ngaku jadi abang Gio doang. Gio juga pasrah aja diapit pake ketek tu orang.
Gio mengangguk untuk menjawab Yuli.
"Bilang sih dari tadi, kalau kita mau ke rumah Lo!" ketus Yuli.
"Kan emang gak ada rencana juga tadinya, Yuli," ujar Gio sambil berdiri menuju pintu.
"Abang Lo unik, gak kaku kayak adeknya," komentar Gita, yang sudah raib rasa terkejutnya.
Gio tersenyum simpul, kemudian mengajak Gita dan Yuli masuk ke dalam rumah.
Gita dan Yuli pun membuka sepatu mereka dan meletakkannya di tempat yang tidak terkena tampias air hujan.
Mereka masuk ke dalam rumah Gio, cahaya hangat menyambut mereka di ruang tamu yang sederhana namun tampak apik dengan interior bergaya minimalis perpaduan cokelat dan putih.
Demikian pula sepanjang mata mereka memandang, semua tampak tertata dengan pilihan warna yang jauh dari kesan 'tabrak lari tidak bertanggung jawab'.
"Kalian di sini dulu ya, saya ganti baju sebentar," tutur Gio sambil memberikan dua handuk kering pada Gita dan Yuli.
Gita dan Yuli menerima handuk tersebut dan langsung mengeringkan rambut mereka, sementara Gio sudah menghilang ke ruangan lain di sana.
"Gio ... gak orangnya, gak rumahnya, rapih semua," komentar Yuli.
Gita pun tanpa malu-malu berkeliling ruang tamu tersebut seraya mengecek material furniture serta dekorasi dinding di sana. Sebuah kebiasaan insan desain yang susah hilang ke mana pun mereka pergi.
Tak lama kemudian, datang seorang wanita paruh baya dengan sebagian rambut yang sudah beruban. Membawa tiga cangkir dan teh panas dalam teko kaca.
"Kita ngobrol di ruangan saya aja," ajak Gio yang sudah berganti pakaian dengan kaos dan celana jogger bernuansa hijau tua.
"Bik, tolong dibawa ke sana aja," pinta Gio sopan.
Gita dan Yuli pun berdiri dan mengikuti Gio, bersama dengan bibik tersebut.
"Weh gambar gue dipajang di sini. Ngefans Lo ternyata?" Gita berkacak pinggang di depan meja belajar Gio.
Yuli yang penasaran langsung mendekat, melihat ke arah yang sama dengan Gita. Sketsa wajah Gio buatan Gita terpampang di atas meja belajar yang terlapis oleh kaca transparan.
"Bikin saya sadar kalau saya ada yang suka," sahut Gio spontan dan tak terduga.
Gio dan Yuli spontan menengok ke arah Gio yang selonjoran di atas lantai, bersandar pada dinding.
"Ih gue sampe gak bisa berkata-kata," ucap Yuli, yang diangguki Gita.
Gio hanya terkekeh saja.
"Ini bukan kamar tidur ya?" tanya Gita mengalihkan topik, sebelum Yuli berniat menggodanya.
"Iya, ini ruang belajar saya." Gio menjelaskan sambil menunjuk meja belajar, serta rak beris buku-buku.
Sebuah komputer yang tergolong baru di tahun itu pun tersedia dia meja lainnya.
"Wih, udah punya komputer sendiri." Gita berucap kagum sekaligus iri, tanpa sadar ia spontan mengecek spesifikasi pada CPU di samping monitor LCD. Wih ini sih bisa gue pake buat kerja.
Seolah bisa membaca pikiran Gita, Gio tersenyum dan berkata, "Ayah saya punya teman pemilik toko komputer, jadi kalau ada barang baru dan tertarik, beliau menawarkan ke ayah saya dengan harga miring."
Gita mengangguk, ia berencana kelak akan menghubungi Gio jika hendak membeli komputer atau laptop di masa mendatang.
"Gue gak nyangka Gio ternyata rumahnya gak jauh dari kak Denting," ujar Yuli sambil meminum teh hangat yang tadi disediakan bibik rumah Gio.
Sementara itu Gita sudah gatal ingin mencoba komputer yang dulu belum mampu ia miliki saat SMA, tangannya menyalakan CPU dan monitor bergantian. Tak lama terdengar deruman halus saat CPU tersebut beroperasi.
Gio yang hendak menanggapi Yuli mengobrol, tiba-tiba tertegun. Ia tampak panik dan berbalik hendak menghampiri Gita yang sudah duduk manis di depan monitor.
Gio menelan ludah. Rahasia saya ... tidak! Jangan sampai Gita lihat! Apalagi Yuli si bawel itu!
Terlambat.
Monitor telah menyala. Cahayanya menerpa wajah Gita yang tampak terkejut.
"Gio ini ... ini apa?" tanya Gita seraya menunjuk background desktop Gio.
Di sana terpampang kolase foto Denting, yang tampaknya diambil secara sembunyi-sembunyi.
"I-itu ... saya bisa jelaskan," ucapnya lirih.
Kemudian Gio langsung menekan tombol power pada monitor dan layar berhias Denting dalam beragam suasana itu pun kembali gelap.
"Jelasin. Se-ka-rang!" tegas Gita. Gue gak mau berprasangka sama Gio. Enggak! Ini terlalu di luar prediksi gue.
***