Aku belum pernah bertemu atau pun berbicara dengan Komisaris di kantorku. Sampai kami bertemu di Pengadilan Agama, dengan posisi sedang mengurus perceraian masing-masing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersabar
Felix menatap kami sambil mengernyit saat Aku dan Mama, kini aku bisa memanggilnya demikian, berjalan bergandengan tangan sambil membicarakan mengenai rumahnya yang mewah itu.
Yang kami bicarakan hanya hal-hal receh sebenarnya. Seperti warna gorden yang menurut kami tidak terlalu sesuai dengan warna kulit sofa, atau bunga yang cocok di pajang di ruang tamu dan ruang keluarga.
Namun yang kami bicarakan kebanyakan adalah daftar menu makanan.
Aku lumayan bisa memasak karena tuntutan mantan suami dulu. Aku juga rutin setiap weekend membuatkan Cake atau kue basah untuk mantan mertuaku.
Dan mataku lumayan berbinar saat melihat koleksi panci dan peralatan pastry milik Mama.
Kami berjanji membuat kue bersama-sama nanti malam.
Tampak, Papa menyeringai menatapku, lalu ia melirik Felix.
Tampaknya beliau sudah tahu mengenai niat Felix ‘memperistriku’ lebih cepat.
Mau tak mau ia bicara dengan papanya, bukan? Aku jadi penasaran apa tanggapan Papa mengenai hal ini.
“Bagaimana besok pagi? Kalau ya, Aku hubungi Pak Lurah dulu,” tanya Papa padaku.
Aku dan Mama saling bertatapan, lalu saling melempar senyum kecil.
“Saya mau bicara dengan Felix dulu ya... hm... Papa?”
Sesaat Papa tampak terpaku memandangku.
Berikutnya tatapan hangat menghiasi wajahnya, tangannya tampak mengelus dadanya. “Kamu tahu, sekian lama kami ingin memiliki anak perempuan yang manis. Tapi sayangnya setelah Felix lahir, Mama mengalami komplikasi dan rahimnya harus diangkat. Felix juga dilahirkan dalam kondisi prematur. Kerusakan rahimnya di awal sebenarnya tidak memungkinnya untuk mengandung seorang anak. Jadi Felix adalah keajaiban kami,”
Papa mendekatiku dan mengambil rambut di keningku, lalu menyampirkannya ke belakang punggungku, “Walau kami hanya mertua, tolong anggap kami sebagai orang tua kamu sendiri. Saya terus terang saja merasa menyesal kenapa kami tidak menemukan kamu lebih cepat. Tapi Tuhan memiliki rencananya sendiri.”
Aku mengangguk, lalu kuambil tangannya dan kucium punggung tangannya.
Kurasakan tangan besar papa berada di atas kepalaku.
Dia pun berbisik padaku sambil melirik Mama.
“Kalau Felix benar-benar serius akan kamu, dia akan bisa bersabar sampai saatnya,”
Ah...
Ya!
Ini dia!
Kata-kata ini yang dari tadi mengganggu hatiku!
Apa Felix menganggapku hanya objek seksual semata? Sampai dia menawarkan nikah siri hanya karena tak tahan melihatku?
Seperti kata papa, kalau dia benar-benar mencintaiku, dia akan bersabar sampai kami menjalani prosesi sesuai aturan.
Ujian pernikahan
Efeknya Felix akan marah padaku dan pernikahan ini batal, atau malah sebaliknya.
Jadi sebisanya aku merayunya. Semua tergantung padaku.
Kini kembali ke diriku...
Aku lebih sayang diriku atau orang lain? Kehormatanku terletak di tanganku sendiri atau orang lain? Kualitas diriku ada di pemikiranku atau orang lain?
Aku mengangkat wajahku dan kutatap Papa.
Dia tersenyum penuh arti padaku.
“Saya... perlu bicara dengan Felix berdua saja,” gumamku selanjutnya.
**
Felix mengantarkan aku ke sebuah ruangan, kamar yang besar terletak di lantai 2. Luas sekali, dengan perabotannya yang minimalis dan modern. Berbeda dengan keseluruhan rumah yang cenderung klasik, kamar ini paling beda sendiri tampilannya.
Perabotan kamar ini kurang lebih menggambarkan sifatnya. Introvert, terorganisir, teratur dan efisien, namun warna yang dipilihnya lumayan berani. Beberapa perabotan berwarna merah terang dan Orange. Menggambarkan dirinya yang termasuk ambisius.
Ia duduk di pinggir ranjang, aku duduk di sofa di depannya.
Sejenak ia mengambil nafas panjang lalu mencondongkan tubuhnya dan menatapku dengan pandangan yang kurang bisa kuekspresikan. Ada sedikit tatapan berharap, tatapan tak sabar, juga kesinisan khasnya. Namun kesan yang kutangkap saat ini adalah... ia tidak menerima penolakan.
Aku berdiri dan mendekatinya.
Lalu duduk di pangkuannya.
Kusentuh rahangnya dan kudongakkan kepalanya.
Ia hanya bisa menurut sambil menatapku sendu.
Aku mencium bibirnya perlahan.
Aku berusaha santai, tidak mencium dengan penuh nafsu.
Tapi dengan kasih sayang yang bisa kucurahkan saat ini padanya.
Ia membuka bibirnya dan merengkuh tubuhku, ia lingkarkan sepanjang lengannya ke pinggangku, dan menarikku mendekat.
Aku melepaskan ciumannya.
Lalu berujar.
“Ciuman ini... bisa jadi pertanda awal dari sebuah hubungan paling sakral dalam hidup manusia, atau bisa jadi berakhirnya hubungan kita,”
Seperti kuduga, wajahnya berubah tegang.
“Apa?” tanyanya selanjutnya.
“Kamu mencintaiku?” tanyaku.
“Tentu,” jawabnya.
“Sebesar apa?”
“Besar sekali,”
“Kamu mencintaiku karena apa adanya aku, atau karena perasaan senasib, atau karena aku seksi?”
“Pertanyaan macam apa itu?” ia balik bertanya.
“Jawab saja, Felix,”
Ia menunduk dengan pandangan menerawang. Lalu kurasakan ia melonggarkan rengkuhannya di pinggangku.
Tampaknya, Felix mengerti maksud pertanyaanku.
“Kalau kubalik pertanyaannya bagaimana?” tanya Felix.
“Itu tidak adil bagiku,” desisku.
“Kamu tidak percaya padaku?”
“Aku percaya kalau kamu bisa menungguku. Aku tidak akan kemana-mana, tidak perlu kau ikat dengan hubungan badan. Aku bukan wanita lain yang dengan hal itu akan bisa terikat. Kalau kau sudah memiliki hatiku, aku tidak akan pergi.”
“Hm,” dia hanya bergumam demikian.
Lalu kami terdiam di posisi itu agak lama.
Aku menunggunya.
Aku bisa saja semalaman di posisi ini menunggunya berpikir.
Menikmati kokohnya tubuh Felix, pangkuannya yang hangat.
Rambut coklatnya yang lembut.
Kutundukkan kepalaku dan kucium puncak kepalanya. Tampak ia meresponku. Ia mencium bagian atas dadaku.
“Aku akan bersabar,” katanya kemudian. “Karena kamu, aku akan serahkan semuanya, termasuk kesabaranku,”
Aku sangat lega.
Ia menghormati keputusanku.
Ia benar-benar menyayangiku.
“Sebulan lagi ya sayang, apa yang bisa kubantu untuk meyakinkan dirimu?” tanyaku.
“Tak ada. Sekarang semua tergantung diriku,” katanya.
“Oh ya?”
“Hm...” ia tersenyum dan menepuk-nepuk posisi di sebelahnya. Menyuruhku untuk turun dari pangkuannya. “Belum mahram, hehe,”
Aku bagai ditampar... aku hanya bisa menurut dan berdehem.
Yaaa, itu memang keputusanku sih, tapi kok rasanya kesal ya?!
**
Hari Minggu.
“Ini... barang dari tahun kapan sih Bu Cin?” Felix mengangkat lingerieku yang bertahtakan permata.
Aku langsung merebutnya dan kulempar ke kardus bertuliskan ‘sampah untuk dibakar’.
“Beres-beres, cepat. Aku ingin cepat nonton Drakor!”
“Drakor kan rekaman, kamu bisa nonton nanti malam,”
“Nanti malam mama arisan,”
“Ya kan bisa setelah arisan,”
“Aku mau tidur cepat. Besok Meeting pagi dengan Komisaris yang maunya macam-macam, kadang minta notulen MoM diselesaikan dalam waktu setengah jam biar dia bisa segera tandatangan dan ngibrit balik ke Beaufort,”
“Siapa tuh Komisarisnya? Perlu kukasih SP nggak?”
Ia menggodaku.
“Kau SP dirimu sendiri sana,” gerutuku.
“Kamu pakai ini pas acara apa?” ia mengangkat baju SMAku.
“WOh, akhirnya ketemu benda memorabilia!” aku merebutnya lalu membolak-baliknya, dan kumasukkan ke koper ‘benda berharga’. “Eh tunggu...” aku mengernyit menatapnya, “Apa maksudmu dengan ‘acara apa’?”
“Yaaa kupikir tadinya itu baju cosplay,”
Aku menatapnya dengan malas.
Ia menyeringai.
“Boleh juga dipakai pas adegan... biar kesannya aku Sugar Daddy,” desisnya pelan sambil melanjutkan membereskan barang-barangku.
“Kamu pedo ya?” tembakku.
“Kalau aku pedo, aku nggak milih kamu kali...”
Aku melemparnya dengan komik.
Kami sedang di Kosanku, beres-beres.
Mama bersikeras kalau aku harus pindah ke rumahnya hari ini juga. Ia khawatir dengan keadaanku, karena aku bisa jadi dalam posisi masih diincar oleh mantan iparku.
Felix sudah mengganti kerusakan mesin ATM yang penyok karena hantaman tubuh orang yang ia lempar, kulihat rekaman CCTV sampai ingin ngakak sendiri. Orang sebesar itu dengan mudahnya ia jungkir balikan sampai jatuh terbalik menimpa mesin ATM. Polisi dan Pengacara saat ini menunggu tersangka di rumah sakit. Ada kemungkinan dia akan masuk Rutan juga untuk pembebasan bersyaratnya.
Ia tidak terbukti menculik, karena Hani dalam kondisi baik-baik saja. Kesalahannya adalah menyerang Felix lebih dulu. Kondisi Felix dikategorikan membela diri.
Walau pun Felix tidak berkewajiban untuk membiayai seluruh biaya rumah sakit mantan iparku, tapi nyatanya ia berikan juga dana untuk itu. Tentunya disertai ancaman, kalau jangan sekali-kalinya lagi menggangguku.
Walau pun sudah mendengar versi lengkapnya, Mama masih khawatir dengan keadaaanku. Ia tak ingin ambil resiko, katanya. Di rumah Permata Hijau lebih aman, dengan penjagaan 24 jam.
Aku sih oke-oke saja.
Tapi Felix harus extra sabar menghadapiku.
sesuka itu aq pada karyamu thor
cuma 4 kata tapi paham kan maksudnya apa/Facepalm//Facepalm/
cari novel dengan gaya penulisan seperti ini yg susah, makanya sambil nunggu update novel terbaru aku baca ulang novel yg dah tamat.
aku terlalu dimanjakan , gk kerja , mau belanja di kang sayur tinggal teriak dari luar rumah " mas habis segini , bayarin ya.." belanja kebutuhan pokok , beli skincare, aku yg ambil dia yg bayarin. gk pernah ngerti harga beras berapa sampai harga gincu aku gk tau.. suami yg bayarin.
aku gk takut dia selingkuh tapi aku takut dia gk ada di bumi untuk selama lamanya.. telat aku mau mandiri , suami yg ambil alih sini aku aja.
definisi UJIAN yang mengENAKkan
Tommy : kamu bekerja juga atas ridho dariku
Cintya : ya karena klo aku gk kerja kamu yg mati
Tommy udah mokondo , toxic, manipulatif pula
novel ini dibuat tahun 2023, tahun 2025 ada kasus yg mirip banget , kasus perselingkuhan suami dilan janiar.
wes mokondo(modal Ko**ol doangl) gak kerja, ngikut istri kerja minta digaji , digugat cerai karena ketahuan selingkuh , malah minta harta Gono gini. kevarat bener lakik nya